Ketika seorang jenderal militer yang legendaris menghembuskan napas terakhirnya di medan perang, takdir membawanya ke dalam tubuh seorang wanita polos yang dikhianati. Citra sang jenderal, kini menjadi Leticia, seorang gadis yang tenggelam di kolam renang berkat rencana jahat kembarannya. Dengan ingatan yang mulai terkuak dan seorang tunangan setia di sisinya.
Pertempuran sesungguhnya dimulai, bukan dengan senjata, melainkan dengan strategi, intrik, dan perjuangan untuk memperjuangkan keadilan untuk dirinya...
apakah Citra akan berhasil?
selamat datang di karya pertamaku, kalau penasaran ikuti terus ceritanyaa...
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon kegelapan malam, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
22
Setelah dua minggu pemulihan di rumah sakit, Max akhirnya diizinkan pulang ke apartemen mereka. Ketenangan kembali menyelimuti hidup Leticia dan Max. Apartemen mewah itu, yang kini terasa lebih seperti rumah, menjadi saksi bisu kembalinya kebahagiaan dan kehangatan.
Leticia tak henti-hentinya bersyukur atas kesembuhan Max. Setiap hari adalah anugerah, momen yang mereka isi dengan tawa, cerita, dan sentuhan lembut.
"Kau yakin tidak apa-apa, Max? Jangan terlalu banyak bergerak dulu," Leticia mengingatkan, saat Max mencoba mengambil cangkir kopi sendiri dari meja dapur.
Max tersenyum, menarik Leticia ke dalam pelukannya. "Aku sudah baikan, sayang. Bahuku memang masih sedikit nyeri, tapi tidak selemah dulu. Lagipula, aku kan punya perawat pribadi yang paling cantik dan galak di dunia." Ia mencium puncak kepala Leticia.
"Terima kasih, Tia. Aku tidak tahu apa jadinya tanpamu."
"Jangan bicara begitu," Leticia membalas pelukannya erat, menyandarkan kepalanya di dada Max. "Aku hanya melakukan apa yang harus kulakukan." Hatinya menghangat.
Ia merasa begitu utuh saat bersama Max. Perasaan asing namun kuat yang dulu ia kira hanya ilusi, kini telah berakar dalam.
Mereka menghabiskan hari-hari berikutnya dengan rutinitas sederhana namun penuh kebahagiaan.
Leticia sering memasak masakan kesukaan Max, meskipun sesekali hasilnya masih kurang sempurna. Max akan tertawa, tapi tetap menghabiskannya. Mereka menonton film bersama di sofa, Max memeluk Leticia erat.
Leticia kadang membaca buku, sementara Max sibuk dengan tabletnya, sesekali melirik dan tersenyum pada Leticia. Ketenangan ini terasa sangat berharga, sebuah hadiah setelah badai yang menerpa.
Suatu sore, Nyonya Clara menelepon, mengundang Max dan Leticia untuk makan malam dan menginap di mansion keluarga Anderson. Beliau ingin merayakan kepulihan Max dan menghabiskan waktu bersama mereka. Max setuju, dan Leticia pun merasa sedikit rindu dengan suasana mansion yang megah.
Saat mereka tiba di mansion, Nyonya Clara langsung memeluk Max dan Leticia dengan penuh kasih sayang.
"Syukurlah kalian berdua baik-baik saja," kata Nyonya Clara, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih nak. Kau sudah menjaga Max dengan sangat baik."
"Itu sudah tugasku, Ma," Leticia tersenyum lembut.
Malam itu, setelah makan malam yang hangat, Max dan Leticia memutuskan untuk menginap. Leticia, yang merasa sedikit bosan di kamar, memutuskan untuk menjelajahi perpustakaan pribadi di mansion yang luas itu. Ia selalu tertarik pada buku-buku lama.
Saat mencari-cari, tangannya tak sengaja menyentuh sebuah album foto lama yang terasa sudah usang di salah satu rak tersembunyi. Rasa penasaran mendorongnya untuk membukanya, sampulnya terbuat dari kulit dengan hiasan bunga mawar kering.
Ia membuka album itu perlahan. Foto-foto di dalamnya adalah potret-potret keluarga Anderson dari puluhan tahun yang lalu. Ada foto Tuan William Anderson saat muda, Nyonya Clara yang masih sangat belia, dan banyak wajah-wajah yang tidak ia kenali. Namun, saat membalik halaman ke tengah album, jantung Citra mendadak berdebar kencang. Matanya terpaku pada sebuah foto hitam putih yang agak pudar.
Di foto itu, terlihat seorang wanita tua yang sangat anggun, dengan rambut digelung rapi dan senyum penuh kehangatan. Wanita itu sedang duduk di sebuah kursi taman, dan di sampingnya, seorang gadis kecil dengan wajah kurus dan mata besar yang penuh ketakutan sedang memegang tangannya. Ada bekas luka samar di lengan gadis kecil itu, dan rambutnya yang berantakan.
Citra merasakan getaran aneh menjalari tubuhnya. Wajah gadis kecil itu... begitu familiar. Terlalu familiar, seolah ia melihat dirinya sendiri di masa lalu, meskipun ia tidak punya ingatan tentang masa lalu Leticia yang asli. Jantungnya bergemuruh.
Ia segera menutup album itu dan bergegas mencari Nyonya Clara, yang saat itu sedang duduk di ruang keluarga bersama Tuan Anderson, berbicara ringan.
"Ma! Papa!" panggil Leticia, suaranya sedikit terengah-engah, album foto itu di tangannya.
Nyonya Clara menoleh.
"Ada apa, sayang? Kau terlihat tegang."
Leticia mendekat, membuka album itu ke halaman foto wanita tua dan gadis kecil tadi.
"Ma, ini... ini siapa?" Ia menunjuk ke arah wanita tua di foto. "Dan gadis kecil ini?" Ia menunjuk ke gadis kecil yang kurus.
Nyonya Clara tersenyum lembut saat melihat foto itu. "Oh, ini nenekmu, sayang. Nenek Sophia Anderson. Beliau sudah meninggal dunia saat kau masih sangat kecil. Beliau adalah wanita yang sangat baik hati, penyayang, dan dermawan." Nyonya Clara mengusap foto ibu mertuabya.
"Dan gadis kecil di sampingnya itu... hmm, itu bukan kau, Tia. Nenek Sophia memang sering membantu anak-anak yatim piatu di panti asuhan dulu. Mungkin ini salah satu dari mereka."
Mendengar nama Nenek Sophia Anderson, tubuh Leticia membeku. Sebuah gelombang ingatan, seolah bendungan pecah, membanjiri benaknya. Ingatan yang bukan milik Leticia Anderson, melainkan milik seorang gadis yatim piatu yang miskin bernama Citra.
...~flashback on~...
Gadis kecil kurus itu meringkuk di sudut jalanan yang basah, kedinginan dan kelaparan. Orang tuanya sudah meninggal beberapa bulan lalu akibat penyakit parah, meninggalkannya sendirian di dunia yang kejam. Ia mencuri sedikit makanan untuk bertahan hidup, selalu diusir, selalu dipukul.
Suatu sore yang dingin, saat ia hampir pingsan karena kelaparan, sebuah mobil mewah berhenti di dekatnya. Seorang wanita tua dengan rambut yang digelung, dengan sorot mata lembut, turun dari mobil itu.
Wanita itu memandangnya dengan iba. Itulah Nenek Sophia Anderson.
"Nak, kau baik-baik saja?" suara lembut itu bertanya, mengulurkan sapu tangan bersih. "Kau terlihat sakit."
Gadis kecil itu, Citra, hanya bisa menatap takut-takut. Ia tidak pernah menerima kebaikan seperti ini.
"Mari ikut denganku," Nenek Sophia berkata, tangannya yang keriput mengulurkan sepotong roti. "Kau butuh makan."
Nenek Sophia tidak hanya memberinya makan hari itu. Beliau membawanya ke sebuah panti asuhan yang didanainya, memastikan Citra mendapatkan perawatan dan pendidikan yang layak. Beliau sering mengunjungi Citra, berbicara dengannya, dan menanamkan nilai-nilai kebaikan dan kekuatan.
Suatu hari, saat Nenek Sophia menjenguknya, Citra menggenggam tangan wanita tua itu.
"Nenek Sophia," katanya, suaranya kecil namun penuh tekad. "Citra tidak akan pernah melupakan kebaikan Nenek. Citra akan belajar dengan sangat keras, akan menjadi wanita yang sangat kuat, dan Citra bersumpah akan melindungi Nenek dan keturunan Nenek, di kehidupan ini atau di kehidupan berikutnya, sebagai bentuk balas budi Citra."
Nenek Sophia tersenyum, mengusap kepala Citra. "Kau gadis yang baik, Citra. Tapi kau tidak perlu bersumpah seperti itu. Cukup hiduplah dengan baik."
Namun, sumpah itu tertanam kuat di hati Citra. Ia berlatih keras, belajar segala hal, menjadi kuat, tak terkalahkan, sampai akhirnya ia menjadi seorang jenderal. Jenderal Citra.
Ingatan itu menghantam Citra seperti gelombang tsunami. Ia terkesiap, foto di tangannya, wajah Nenek Sophia yang lembut, gadis kecil yang adalah dirinya... itu semua adalah kebenaran yang tak terbantahkan. Sumpah itu. Sumpah yang ia buat sebagai Citra, kini terpenuhi. Ia berada di raga Leticia, keturunan dari Nenek Sophia, untuk melindungi mereka, inilah takdirnya.
Nyonya Clara dan Tuan Anderson menatap Leticia dengan khawatir. "Tia, kau tidak apa-apa?" Nyonya Clara bertanya, melihat
Leticia memegang kepalanya dan matanya berkaca-kaca.
"Ma... Pa..." Leticia mengangkat wajahnya, air mata mengalir membasahi pipinya.
"Gadis kecil ini... ini aku." Ia menunjuk ke foto gadis kecil itu.
"Aku... aku mengingatnya sekarang. Masa laluku."
Nyonya Clara dan Tuan William Anderson saling pandang, bingung. Mereka tidak bisa memahami apa yang baru saja diucapkan putri mereka.
"Apa maksudmu, sayang? Itu tidak mungkin," kata Nyonya Clara lembut, mendekat, mengira Leticia masih kebingungan karena amnesia atau syok pasca kejadian Max tertembak.
"Mungkin kau terlalu lelah, Nak. Kau pasti kelelahan merawat Max."
"Tidak, Ma! Aku bersumpah!" Leticia mencoba bersikeras, suaranya sedikit meninggi karena frustrasi.
"Ini aku! Aku adalah gadis kecil itu! Yaa gadis kecilndi foto itu adalah aku!"
Tuan William Anderson meletakkan tangannya di bahu Leticia.
"Sayang, kami tahu ini sulit bagimu. Trauma setelah Max tertembak pasti sangat berat. Kau harus istirahat. Jangan memaksakan diri mengingat sesuatu yang bukan ingatanmu." Nada suaranya penuh pengertian, namun jelas-jelas tidak percaya.
Nyonya Clara memeluk Leticia erat dengan perasaan yang sedih.
"Istirahatlah, sayang. Ibu akan meminta pelayan menyiapkan teh herbal untukmu. Kau terlalu banyak berpikir."
Leticia hanya bisa mengangguk pasrah dalam pelukan Nyonya Clara. Ia tahu tidak ada gunanya bersikeras sekarang. Mereka tidak akan percaya. Bagaimana mungkin mereka bisa percaya pada hal yang di luar nalar seperti ini?
Namun, di dalam hatinya, sebuah kebenaran baru telah terungkap. Ia adalah Jenderal Citra. Dan ini adalah takdirnya.
Setelah disuruh beristirahat, Leticia kembali ke kamarnya, ia melihat Max yang kini terlelap damai. Ia duduk di samping jendela, menatap bintang-bintang di langit malam. Album foto itu masih digenggamnya erat. Kilas balik itu begitu jelas, begitu nyata. Sumpah itu.
Sumpah seorang gadis kecil yang miskin kepada wanita tua baik hati yang telah menolongnya. Kini ia berada di tubuh cucu wanita itu, melindungi keluarganya.
"Ini memang takdirku," bisik Leticia pada dirinya sendiri, air mata menetes. Air mata itu bukan lagi air mata kebingungan, melainkan air mata penerimaan dan tekad.
Ia akan melindungi keluarga ini, keluarga Anderson, dengan seluruh kekuatannya, dengan seluruh jiwa Jenderal Citra-nya. Ini adalah balas budinya. Dan ini adalah takdirnya.
NU salah gegedug tilihur tapi kabawa Ampe cicit na 🤦