Violetta Madison gadis 20 tahun terpaksa menyewakan rahimnya demi membayar hutang peninggalan kedua orangtuanya. Violetta yang akrab dipanggil Violet itupun harus tnggal bersama pasangan suami istri yang membutuhkan jasanya.
"Apa? Menyewa rahim ?" ucap Violet,matanya melebar ketika seorang wanita cantik berbicara dengannya.
"Ya! Tapi... kalau tidak mau, aku bisa cari wanita lain." ucap tegas wanita itu.
Violet terdiam sejenak,ia merasa bimbang. Bagaimana mungkin dia menyewakan rahimnya pada wanita yang baru ia kenal tadi. Namun mendengar tawaran yang diberikan wanita itu membuat hatinya dilema. Di satu sisi, uang itu lebih dari cukup untuk membayar semua hutang-hutangnya. Namun disisi lain,itu artnya dia harus rela kehilangan masa depannya.
"Bagaimana... apakah kau tertarik ?" tanya wanita itu lagi.
Violet tesentak,ia menatap wanita itu lekat. Hingga akhirnya Violet mengangguk tegas. Tanpa ia sadar keputusannya itu akan membawanya kepada situasi yang sangat rumit.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irh Djuanda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Akhirnya
Mark menjawab cepat, suaranya terdengar tenang namun jelas tegang.
“Kami akan segera ke sana. Jangan lakukan apa pun sampai polisi datang.”
Namun Adrian tak bisa hanya duduk diam. Ia memeluk Helena, memastikan ibunya baik-baik saja. Violet membantu menghentikan darah dengan handuk kecil. Meski lukanya tak dalam, Helena mulai pucat.
“Vio, tolong ambil kotak P3K. Cepat,” ujar Adrian, suaranya serak. Violet mengangguk dan berlari ke arah kamar.
Sementara itu, di luar rumah, pria bertopi itu kembali ke tempat persembunyian, kesal karena tembakannya meleset. Ia menyalakan telepon burner dan menghubungi Ramon.
"Maafkan kami,Tuan. Target selamat. Tapi... istri anda" ucap pria itu. Ramon terdiam di ujung telepon. Namun kemarahannya seperti api yang menyala di balik diam itu.
“Mundur!” katanya.
"Selesaikan besok" lanjutnya dingin.
Di rumah Adrian, suara sirene polisi akhirnya terdengar. Beberapa mobil berhenti di depan rumah, dan petugas segera masuk setelah Adrian membuka pintu. Helena dibawa ke rumah sakit terdekat oleh paramedis, meski ia sempat menolak terlalu keras. Violet tetap menemaninya, sementara Adrian diminta membuat laporan.
Di ruang tamu, seorang detektif berpakaian preman, bernama Letnan Jace, duduk berhadapan dengan Adrian.
“Kami sudah dapat video dari kamera pengintai rumah tetangga Anda,” ujarnya sambil membuka ponsel.
“Kami mengenali pelaku. Namanya Kurt Valez. Pembunuh bayaran kelas atas. Sudah lama kami pantau.” lanjutnya. Adrian mengepalkan tangan.
“Ayah saya yang menyuruhnya.” lirih Adrian. Letnan Jace menatap Adrian, menimbang kalimat itu.
“Kami tidak bisa menangkap Ramon hanya berdasarkan itu.”
Adrian berdiri, membuka flashdisk yang sebelumnya diberikan oleh Berta. Ia menghubungkannya ke laptop, lalu memutar beberapa file video, rekaman transaksi gelap, suara Madison yang menceritakan tentang pabrik, hingga pengakuan Berta sendiri.
“Kalian mau bukti? Ini dia. Semuanya ada di sini. Ramon bukan hanya menyuruh orang membunuh saya, dia membakar pabrik, membungkam saksi, dan menghancurkan hidup puluhan keluarga.” ungkap Adrian. Jace menatap layar, matanya membesar saat satu demi satu file ditampilkan.
“Kami akan evaluasi semua ini. Tapi Adrian… kalau ini benar, maka kita sedang bicara tentang menjatuhkan salah satu pengusaha paling berpengaruh di negeri ini.” ucap letnan. Adrian mengangguk.
“Aku tahu. Dan aku tak akan mundur.”
Sementara itu, di rumah sakit, Violet duduk di sisi ranjang Helena. Wanita itu sudah sadar, meski masih lemas. Ia tersenyum tipis saat melihat Violet menggenggam tangannya.
“Maafkan aku, Vio… karena selama ini aku... ikut dalam terlalu keras padamu." ucap Helena pelan. Violet menggeleng, matanya berkaca-kaca.
“Kau ibu bagi Adrian. Dan sekarang kau risikokan nyawamu untuknya. Itu cukup.” ucap Violet. Helena menutup mata sebentar, lalu membuka lagi.
“Ramon akan menghancurkan siapa pun yang melawannya. Tapi anak itu… Adrian… dia cahaya di tengah semua kegelapan ini. Aku yakin… dia akan membawa semuanya pada akhir yang benar.” ucap Helena lagi. Violet menggenggam tangan Helena lebih erat.
“Dan kita akan berdiri bersamanya.” sahut Violet.
***
Di gedung McKenna Corporation, Ramon berdiri di depan jendela kaca besar, menatap langit kota yang mulai diliputi hujan. Ia tahu jamnya berdetak makin kencang. Media mulai mencium darah. Kepercayaan investor mulai goyah. Dan kini, anak yang selama ini ia anggap tak lebih dari alat, justru jadi ancaman terbesar. Namun Ramon bukan pria yang mudah tumbang. Ia memutar tubuh, memanggil asistennya.
“Bersihkan semua. Siapkan jet. Jika semuanya jatuh, aku tidak akan ikut jatuh bersama mereka.” titah Ramon dingin. Asisten itu ragu.
“Pak… kalau kita kabur sekarang, mereka akan yakin semua tuduhan itu benar.” jelas Bruno. Ramon tersenyum miring.
“Kebenaran itu hanya milik mereka yang bertahan hidup. Dan aku belum selesai.” ucap Ramon. Tapi untuk pertama kalinya… ketakutan terlihat samar di matanya.
Di tengah badai yang menggulung, Adrian berdiri di depan layar konferensi pers. Media dari berbagai penjuru negeri telah berkumpul. Mikrofon-mikrofon diarahkan padanya. Di belakangnya berdiri Eva, Dores, Berta, dan Violet—saksi-saksi dari luka yang tak bisa ditutup lagi.
Dengan suara tegas, Adrian membuka pidato singkatnya:
“Aku bukan Adrian McKenna yang kalian kenal. Dan ayahku… bukanlah pahlawan seperti yang selama ini diberitakan. Hari ini… kebenaran akan bicara.”
Dan dengan satu klik, semua dokumen dalam flashdisk itu dikirim ke media. Live.
***
Ramon sudah bersiap menaiki jet pribadinya. Namun saat bersamaan seluruh jajaran kepolisian yang dipimpin letnan Jace mengepungnya.
"Jangan bergerak!"
Ramon mematung di tangga jet pribadinya. Matanya menyapu ke sekeliling—pistol-pistol teracung, sirene meraung, kilatan lampu biru memantul di tubuh pesawat mewahnya. Letnan Jace melangkah maju, jaketnya basah oleh hujan yang mulai turun deras.
“Ramon McKenna, Anda ditangkap atas tuduhan pembunuhan berencana, pembakaran, penyalahgunaan kekuasaan, dan serangkaian kejahatan korporat. Anda punya hak untuk diam,” ucap Jace tegas, suaranya tenggelam di antara petir dan kilatan kamera para wartawan yang ikut menyaksikan. Bruno, sang asisten, melangkah mundur pelan. Ia tahu—ini akhir dari segalanya.
Ramon sempat menoleh ke belakang, seolah masih mencari celah untuk kabur. Namun tak ada jalan lagi. Jetnya tak akan lepas landas. Kekaisaran yang dibangunnya dari kebohongan telah runtuh. Ia mengangkat kedua tangan perlahan, lalu menatap Jace dengan senyum dingin.
“Aku akan bebas dalam seminggu,” gumamnya.
Letnan Jace tak menjawab. Ia hanya memborgol pria itu dan menyerahkannya kepada dua petugas lain yang segera membawanya pergi. Ramon sempat menatap kamera yang menyorot wajahnya—wajah yang dulu dikenal sebagai tokoh bisnis paling berjaya, kini dipajang sebagai penjahat negara.
Di rumah sakit, Helena menyaksikan siaran langsung itu dari layar kecil di sudut ruangan. Ia tersenyum tipis. Air matanya mengalir perlahan—campuran lega dan luka yang tak bisa disembuhkan hanya dengan waktu. Violet yang duduk di sampingnya menggenggam tangannya lagi.
“Ia berhasil,” ucapnya lirih,air matanya menetes akhirnya tuduhan ayahnya terpatahkan.
Di kantor media utama, layar-layar besar menayangkan pengakuan Madison, rekaman suara Ramon, dan testimoni korban yang telah lama bungkam. Nama McKenna kini bukan lagi simbol kekuasaan, tapi simbol kejatuhan. Saham perusahaan anjlok. Para investor menuntut jawaban. Para korban kini berani bicara.
Di ruang belakang panggung konferensi, Adrian berdiri sendiri. Tangannya sedikit gemetar, bukan karena takut—tapi karena semua emosi yang ia tahan selama ini akhirnya tumpah. Dores masuk pelan, menatap Adrian dengan senyum bangga.
“Kau melakukan sesuatu yang bahkan banyak orang tua pun tak mampu lakukan, Nak,” katanya.
Adrian menatap Dores, lalu memeluknya. Tak banyak kata yang keluar. Tapi di pelukan itu, ada pengakuan, penerimaan, dan kelegaan. Berta datang tak lama kemudian, berdiri di ambang pintu. Ia tak berkata apa pun, hanya menatap putranya dengan mata yang penuh air, lalu mengangguk pelan.
“Maaf… untuk semuanya.”ucap Berta. Adrian mengangguk.
“Terima kasih… karena akhirnya memilih kebenaran.”
Malamnya, rumah Adrian kembali hening. Tapi kali ini, heningnya tak mengandung rahasia. Violet duduk di teras, bersandar di bahu Adrian. Hujan telah reda. Bintang mulai bermunculan di langit.
“Kau akan baik-baik saja?” tanya Violet pelan. Adrian mengangguk.
“Aku kehilangan segalanya… tapi untuk pertama kalinya, aku merasa punya kendali atas hidupku.” lirih Adrian. Violet tersenyum, lalu menyandarkan kepalanya.
“Dan kau tidak sendiri.”
Adrian menatap bintang, lalu menutup mata sebentar. Di sana, di tengah sunyi yang baru, ia tahu: badai telah berlalu. Luka masih ada. Tapi kini, kebenaran telah menang.
Dan dari reruntuhan nama besar McKenna, lahirlah seorang pria… yang akhirnya memilih jadi manusia.
Adrian junior sudah otw blm yaaa 🤭
Semoga tuan Adrian, vio ,, Eva dan mama Helena akan baik2 saja dan selamat dari niat jahat papa Ramon
Vio,, kamu harus percaya sama tuan Adrian,, Krn aq juga bisa merasakan ketulusan cinta tuan Adrian utk mu....
Vio..., kamu skrg harus lebih hati-hati dan waspada,, jangan ceroboh yaaa
Qta tunggu kelanjutan nya ya Kaka othor
Tolong jagain dan sayangi vio dengan tulus,, ok. Aq merasa ad sesuatu yang kau sembunyikan tentang vio, tuan Adrian. Sesuatu yg baik,, aq rasa begitu....
Dia takut bukan karna takut kehilangan cintanya tuan Adrian,, tapi takut kehilangan hartanya tuan Adrian.