Lina dokter muda dari dunia modern, sang jenius harus meninggal karena kecelakaan tunggal, awalnya, tapi yang sebenarnya kecelakaan itu terjadi karena rem mobil milik Lina sudah di rusah oleh sang sahabat yang iri atas kesuksesan dan kepintaran Lina yang di angkat menjadi profesor muda.
Tapi bukanya kelahiran ia justru pergi kedunia lain menjadi putri kesayangan kaisar, dan menempati tubuh bayi putri mahkota.
jika ingin kau kelanjutannya ayo ikuti terus keseruan ceritanya, perjalan hidup sang putri mahkota
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon inda, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 22
Langit utara menyambut dengan sunyi. Tidak ada kicauan burung, tidak ada desir angin. Hanya putihnya salju yang membentang sejauh mata memandang. Pegunungan Salju Abadi berdiri kokoh laksana benteng langit, menjulang tinggi dan tak bersahabat, namun memanggil Shuwan seperti magnet memanggil logam.
Gadis itu berdiri di atas tebing batu, mengenakan jubah tebal berwarna biru tua. Phoenix Api dan Phoenix Es melayang di atas bahunya, saling mengitari satu sama lain. Napas Shuwan membeku di udara. Ia sudah berjalan jauh dari istana, jauh dari zona nyaman seorang putri istana, dan kini berdiri di dunia yang belum pernah disentuh peradaban manusia biasa.
Di sampingnya, Bo Zhi setia berjalan dalam diam. "Jejak makhluk sihir," bisik Bo Zhi. Ia jongkok, menunjuk tapak kaki besar berbentuk cakar yang membeku sebagian di salju. "Bukan iblis. Tapi bukan juga binatang biasa."
Shuwan mengangguk. "Jejaknya menuju celah gunung. Kita ikuti."
Ia sudah terbiasa memimpin. Tak ada kegugupan. Aura keagungan terpancar tanpa ia sadari—putri istana sekaligus Putri Cahaya, meski seluruh dunia belum tahu kebenaran itu.
Setelah berjalan sepanjang hari, mereka tiba di sebuah lembah sempit. Di antara dua tebing terjal, terdapat gua raksasa yang dindingnya berkilau seolah dilapisi kristal. Angin di tempat ini lebih tajam, menusuk kulit, namun tak menghentikan langkah Shuwan.
Di pintu gua, terdapat patung dua makhluk bersayap—satu berbentuk elang api, satu lagi berbentuk burung salju. Wajah Shuwan membeku sesaat.
"Phoenix Api dan Es," gumamnya. "Ini tempat leluhur mereka."
Phoenix miliknya menunduk hormat di depan patung-patung itu, lalu keduanya terbang ke langit, melingkari langit lembah, lalu menghilang masuk ke dalam gua, seolah dipanggil.
"Haruskah kita masuk?" tanya Bo Zhi.
Shuwan menarik napas panjang. "Jika ini panggilan dari mereka, maka aku harus menjawabnya."
Mereka melangkah masuk.
Gua itu bukan sekadar gua. Dindingnya bercerita. Ada ukiran—ribuan bahkan—yang menggambarkan kisah masa lalu. Makhluk-makhluk cahaya, prajurit langit, dan seorang gadis dengan dua burung Phoenix di sisinya berdiri menghadapi kegelapan yang tak berbentuk.
“Ini…” Bo Zhiberhenti. “Sama persis seperti—”
“—mimpi-mimpiku,” potong Shuwan.
Ia menyentuh salah satu ukiran. Tangannya bergetar. Dalam lukisan batu itu, sang gadis bersinar dengan cahaya dari dalam tubuhnya, dan dua makhluk surgawi di bahunya menyemburkan api dan es sekaligus. Di hadapannya, muncul sosok tinggi besar dengan tanduk dan jubah hitam panjang. Di balik jubah itu, hanya tampak sepasang mata merah membara. Mata itu... Shuwan pernah melihatnya—dalam penglihatannya saat meditasi.
Tiba-tiba lantai bergetar. Sebuah suara menggema dari dalam tanah.
“Pewarisku… datanglah ke altar.”
Shuwan dan Bo Zhi berpandangan. Meski ragu, mereka melangkah lebih dalam ke ruang utama gua.
Di sana, di tengah ruangan, terdapat lingkaran cahaya berlapis es dan api. Phoenix Api dan Es milik Shuwan melayang di atasnya, menatapnya lembut.
“Altar penguat,” ucap Shuwan lirih.
Tanpa aba-aba, tubuhnya tertarik masuk ke dalam lingkaran. Cahaya menyilaukan menyelubungi seluruh ruang. Bo Zhi mencoba maju, tapi tubuhnya terpental lembut seperti ditolak oleh kekuatan tak terlihat.
Dalam kesadarannya, Shuwan tiba di dunia putih.
“Di sinilah tempat kita lahir,” bisik suara lembut.
Ia menoleh. Dua makhluk Phoenix berwujud manusia berdiri di depannya. Satu dengan rambut api bergelombang, satu lagi dengan rambut putih seputih salju. Mereka anggun dan menggetarkan.
“Putri Cahaya, kekuatanmu belum sempurna,” ucap Phoenix Api. “Tapi kau telah melewati ujian pertama dengan keberanian.”
“Kami akan menyatukan sisa kekuatan kami dalam tubuhmu,” sambung Phoenix Es. “Tapi ada harga yang harus kau bayar.”
Shuwan mengangguk. “Apakah aku akan kehilangan sesuatu?”
“Bukan kehilangan,” jawab mereka serempak. “Tapi kau akan dituntut untuk menjaga keseimbangan. Api dan Es, Cahaya dan Kegelapan. Jika hatimu condong pada salah satu sisi secara berlebihan… kehancuran akan menanti.”
“Tapi aku siap.”
Cahaya membanjiri tubuh Shuwan. Phoenix Api menyatu dalam lengan kanannya, meninggalkan tanda berapi menyala. Phoenix Es menyatu di lengan kirinya, menyisakan simbol salju membeku.
Tubuh Shuwan melayang, lalu jatuh lembut ke altar.
Bo Zhi berlari ke arahnya begitu lingkaran cahaya menghilang.
“Putri!”
“Aku… baik-baik saja,” ujar Shuwan, berdiri perlahan. Tubuhnya kini lebih kuat. Kedua lengannya bersinar samar dengan simbol Phoenix.
Namun saat mereka hendak keluar dari gua, seekor makhluk berjubah hitam muncul di pintu masuk. Wajahnya tertutup kain, dan aura dingin menyelimuti sekeliling.
“Kau telah membangunkan kekuatan kuno,” ucap makhluk itu. “Kau telah memulai perang yang tak akan bisa dihentikan lagi.”
Shuwan tidak menjawab. Ia mencabut pedang Naga Ikahi dan berdiri dengan gagah.
Makhluk itu tertawa kecil. “Kau memang pantas disebut pewaris cahaya. Tapi masih terlalu muda untuk memahami harga dari kebangkitanmu.”
Dalam sekejap, makhluk itu menghilang, hanya meninggalkan kabut hitam yang perlahan menguap.
Malam itu, Shuwan duduk di luar gua, menatap langit berbintang. Angin gunung meniup rambutnya pelan. Phoenix Api dan Es beristirahat di sisi kanan dan kirinya.
“Ada sesuatu yang berubah,” gumamnya.
Bo Zhi duduk tak jauh darinya. “Bukan hanya kekuatanmu. Tapi dunia juga mulai berubah.”
Dan jauh di sisi lain pegunungan, di sebuah dataran bersalju yang dijaga ratusan penjaga berpakaian perak, seorang pria berdiri di atas menara tertinggi.
Ia mengenakan jubah panjang dari kain langit, berwarna hitam keperakan. Wajahnya tampan, namun keras dan dingin. Di punggungnya, tersarung sebuah pedang panjang dengan simbol bulan dan matahari di sisinya.
Ia menatap ke arah gunung tempat Shuwan berada.
“Cahaya itu… akhirnya kembali.”
Bersambung