Perjanjian Nenek Moyang 'Raga'' zaman dahulu telah membawa pemuda ' Koto Tuo ini ke alam dimensi ghaib. Ia ditakdirkan harus menikahi gadis turunan " alam roh, Bunian."
Apakah ia menerima pernikahan yang tidak lazim ini ? ataukah menolak ikatan leluhur yang akan membuat bala di keluarga besarnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ddie, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Perempuan Sama Saja
Malam kembali menyelimuti Koto Tuo. Angin dari arah hutan membawa bau tanah basah dan kembang liar—yang seharusnya tidak mekar di musim itu. Rumah gadang keluarga Raga sunyi, hanya suara papan lantai yang sesekali merintih menahan beban berat yang tersembunyi.
Di kamar belakang, Raga tersentak bangun, matanya mendelik menatap sekelilingnya,
bukan karena mimpi buruk seperti biasanya bukan pula karena bau melati yang tiba-tiba muncul begitu saja entah dari mana datangnya.Tetapi karena sensasi lain—halus, asing, seperti jemari dingin menyentuh udara di sekitar badannya.
Ia duduk, memegang dadanya terasa sakit dan sesak, merasakan aura makhluk melintas di balik kepalanya…berdenyut samar.
" Ada apa ini …?” gumamnya bingung melihat dirinya sendiri.
Raga tercekat, sensasi tidak seperti sentuhan gadis bayangan Arumi, dingin lembut, terkadang membuat bulu tengkuk panas. Tapi ini… berbeda, terasa hangat membingungkan, ringan, tapi punya kekuatan memaksa perhatian.
Ia tidak mengenal sentuhan itu, tidak tahu namanya, wajahnya, atau dari mana arahnya, namun satu hal pasti: ada seseorang di luar rumah menatap mengarah ke sudut koto tuo, ke rumahnya sendiri, ke jantungnya.
Raga menelan ludah susah payah yang tersangkut di kerongkongannya. “Siapa…?” Ia mencoba menangkap bunyi memanggil jiwanya, sekian detik memanjang, menit mengambang dan rasa itu semakin lama semakin jelas— sepasang langkah kaki perlahan memasuki batas dunia kecil yang ia huni.
Dan Ia tidak tahu bahwa langkah itu adalah milik Nadira, rekan satu kerjanya, kedekatan perempuan itu justru membuka pintu yang selama ini dijaga mati-matian oleh Angku dengan doa pemutus.
Di ruang depan laki laki tua itu iba-tiba berhenti meraut kayu memejamkan matanya. Dedaunan di pohon luar rumah bergetar—menari nari memberi tanda samar.
“Anak itu… sudah lewat batas yang kita tetapkan,” gumamnya dengan nada serius.
Ayah muncul dari dapur, tangannya masih basah karena mencuci piring, karena ibu beberapa hari ini dalam keadaan sakit, “Apa yang Angku rasakan?”
Laki-laki tua itu tidak langsung menjawab. Suaranya rendah, berat bebatuan tua bergeser perlahan dari dasar sungai.
“Bukan Arumi kali ini yang mendekatinya.”
Ayahnya menegang, rahangnya mengeras. “Raga… apakah dia dalam bahaya?”
“Bukan.” Angku menggeleng perlahan. “Ada orang asing yang datang. Tapi… dia bukan datang dengan keinginan sendiri. Dia ditarik oleh aura magnetis misteri.”
Ayahnya menghela napasnya. “Dit… tarik oleh apa?”
Angku menatap kamar Raga gelap tak bermaya, seolah bayangan hitam panjang berdiri di ambang pintu kamar menutupi.
“Takdir yang seharusnya sudah kita putuskan dengan ritual. Tapi rupanya… masih ada yang tidak mau menerima pemutusan itu.”
Sejenak sunyi menyelimuti rumah, sepi yang mencekam, pepohonan di luar ikut menahan napas tercekat di kerongkongan.
Tidak lama angku berucap lirih: “Karena itu, gadis Bunian mulai gelisah.”
Di tengah kabut yang tebal di hutan kecil di belakang rumah, sesuatu bergeser. Tidak sepenuhnya makhluk asral, tidak sepenuhnya hilang dari pandangan, gadis itu, Arumi—atau dari sisa kesadaran namanya melayang pelan, mendekati, meresapi setiap sudut udara di sekitarnya.
Dia tidak tahu siapa manusia asing yang mendekat. Tidak tahu bagaimana perempuan itu menemukan jalan menuju rumah ini. Yang dia tahu hanya satu hal: ada perempuan mendekati cahaya selama ini ia anggap miliknya sendiri. Dan rasa itu menusuk jiwanya bagaikan retakan kaca tajam.
Ia tidak perlu mengenal siapa Nadira hanya karena cemburu, bukan tentang “siapa” yang menjadi saingan—melainkan tentang apa yang terancam akan hilang dari genggaman.
Sementara itu didalam kamar Raga mengusap wajahnya berkeringat dingin. “Aku kenapa, ya…?” Didalam kamar tidak ada siapa- siapa, tidak ada suara yang terdengar, tidak ada bayangan yang terlihat. Akan tetapi jantungnya berdegup kencang, seolah-olah rohnya memanggil seseorang yang tidak ia inginkan.
Jendela tertutup rapat, gelisah tanpa alasan yang jelas. Untuk pertama kalinya semenjak ritual pemutus yang dilakukan Angku, ia merasakan dunia selama ini diam dan beku… mulai bergerak pelan, pintu tertutup rapat perlahan-lahan dibuka oleh kekuatan jarak jauh.
\=\=\=
Koto Tuo mulai diselimuti kabut sore ketika Angku berhenti memotong batang kayu di halaman. Tangan tuanya terhenti begitu saja, matanya tertuju ke arah lembah—arah barat, di mana jalan lintas memanjang jauh sampai ke pusat Ranah.
Ada desisan halus masuk ke telinganya, Bukan suara angin, bukan suara binatang. Lebih seperti… gelombang magnetik dari alam arwah.
“Hmm…” gumam Angku, keningnya mengerut dalam keraguan.
Lak laki muda itu sedang duduk termenung di anjung rumah tiba-tiba dadanya terasa sesak, ada sentuhan lembut mengalir melewati tulang belakangnya—sentuhan asing, bukan milik Arumi, bukan milik keluarganya, suatu… yang tidak seharusnya ada.
Ia berdiri perlahan, mendekati pintu. “Angku?” ujarnya lirih.
Laki laki tua bersorban itu masih memandang di kejauhan. “Raga… kamu merasakannya?”
Ia menelan ludah dengan susah payah. “Ada… sesuatu yang datang, Angku.”
Angku mengangguk pelan, matanya seolah bisa menembus batas gunung dari kejauhan. “Bukan sesuatu…” Ia menoleh, tatapannya lekat. “Seseorang.”
Raga merinding tubuh menggigil. “Siapa?”
Laki laki bersorban itu menutup mata sejenak, mencari frekuensi energi yang tersembunyi, tidak lama terbuka perlahan suaranya terdengar berat dari pada biasanya. “Perempuan, jauh dari pulau ini, jauh dari darah kita.” Ia memberi jeda singkat. “Dia… mencarimu, Raga ”
Raga terhenyak, jantungnya berdegup kencang, tapi bukan perasaan senang—tapi takut begitu besar menyerang. “Tidak mungkin Angku… Tidak ada yang tahu Raga di sini.”
Dia menarik napas dalam. “Anak itu bukan tahu, Raga tapi dia dipanggil.”
“Dipanggil? Oleh siapa?”
Angin turun dari atap rumah—dingin seperti embun dini menyentuh jiwa. Raga mengenal hawa itu, pertanda kehadiran gadis keturunan moyangnya, Arumi. Dia hadir bukan dalam wujud manusia, bukan berbentuk shiluet gadis cantik, tapi bisikan rintih tepat didaun telinganya, membuat bulu kuduknya berdiri.
“Yang datang itu… bukan dari dunia kami.”
Raga menoleh kebelakang, tapi tidak ada siapa -siapa, hanya udara dingin menempel erat di kulitnya.
Angku mendengus pelan. “Kamu mendengar itu, Nak ?”
“Arumi…” bisiknya takut. “Dia sepertinya memberi tanda akan kedatangan seseorang, tapi nada suaranya tinggi, aura kemarahan."
Angku diam menatap nya lekat, " Apa yang kamu rasakan ? "
"Kenapa gadis itu tahu padahal pikiran Raga sendiri masih membayang ? "
“Karena Arumi sudah lebih dulu merasakan gelombang itu datang, jauh sebelum sebelum kamu menyadari kehadirannya.”
Raga mengepalkan tangan, bingung dan cemas bersarang didalam dadanya. “Tapi kenapa Arumi marah kalau dia mendekatiku? Kenapa justru Arumi mengatakan… bahwa aku bukan sumbernya?”
Angku menatap langit petang yang mulai berubah warna menjadi ungu gelap. “Karena Arumi tidak terikat kepadamu saja.” Ia menghembuskan napas berat. “Yang ia takutkan adalah… leluhur yang memanggilmu, juga memanggil perempuan itu.”
Laki laki itu terdiam, dunia di sekelilingnya rasanya seketika berubah bentuk menjadi bola basket..