“Gue gak akan pernah sudi nerima lo sebagai suami gue!”
“Saya tidak keberatan, Maha. Bagaimanapun kamu tidak menganggap, saya tetap suamimu.”
“Sialan lo, Sas!”
•••
Maharani tidak pernah meminta untuk terlibat dalam pernikahan yang mengikatnya dengan Sastrawira, pewaris keluarga Hardjosoemarto yang sangat tenang dan penuh kontrol. Sejak hari pertama, hidup Maha berubah menjadi medan pertempuran, di mana ia berusaha keras membuat Sastra merasa ilfeel. Baginya, Sastra adalah simbol patriarki yang berusaha mengendalikan hidupnya.
Namun, di balik kebencian yang memuncak dan perjuangannya untuk mendapatkan kebebasan, Maha mulai melihat sisi lain dari pria yang selama ini ia tolak. Sastrawira, dengan segala ketenangan dan kesabarannya, tidak pernah goyah meski Maha terus memberontak.
Apakah Maha akan berhasil membuat Sastra menyerah dan melepaskannya? Atau akankah ada simfoni tersembunyi yang mengiringi hubungan mereka, lebih kuat daripada dendam dan perlawanan?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nonaserenade, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Saya Ini Punya Batasan Toleransi
Seperti yang sudah dijanjikan, Maha akhirnya tiba di sebuah kafe untuk bertemu dengan Dylan. Ia melihat laki-laki itu sudah duduk di sudut ruangan, ditemani secangkir kopi yang belum disentuh. Kafe itu cukup sepi sore itu, hanya ada beberapa pengunjung yang sibuk dengan urusan mereka masing-masing.
Maha menarik napas dalam sebelum berjalan menuju meja Dylan. Ketika akhirnya sampai ia duduk di hadapan Dylan, pria itu menatapnya dengan senyum tipis.
"Lo tepat waktu," ucap Dylan sambil mengaduk kopinya. "Gue kira lo bakal batalin lagi."
Maha hanya mengangkat bahu, "kemarin ada urusan mendadak."
Maha langsung pada inti pertemuan, "Jadi, langsung aja. Apa yang mau lo omongin?"
Dylan mengangkat alis, sedikit terkejut dengan pendekatan langsung Maha. Dia meneguk kopinya perlahan sebelum meletakkannya kembali ke meja. "Santai aja, Maha. Gue ajak lo nongkrong kayak gini cuma pengen ngobrol, kita kan baru mulai kenal. Gue pengen lebih dekat aja."
Maha melipat tangan di depan dada, menatap Dylan dengan sorot penuh rasa ingin tahu. "Lo beneran mau temenan sama gue?"
Dylan tersenyum tipis, seakan heran dengan pertanyaan itu. "Lho, emang kenapa? Iya, gue mau kok."
Maha mengerutkan kening, masih belum yakin. "Lo emang gak tau siapa gue ya?"
Dylan mengangguk, matanya tetap tenang. "Iya, gue tau. Tapi memangnya kenapa? Bukan karena hampir satu sekolah musuhin lo gue harus ikut pola pikir hina mereka dong?"
Maha tersenyum sinis mendengar jawaban itu. "Yakin? Lo anak orang penting lho, gimana kalau lo kena isu negatif gara-gara berteman sama gue?"
Dylan tertawa kecil. "Santai aja kali, gue bodo amat soal begituan. Dengan siapa gue kenal itu bukan urusan orang lain," Dylan menjawab dengan santai, tatapannya tak berubah. "Gue anak orang penting, tapi itu nggak bikin gue harus hidup sesuai ekspektasi semua orang. Gue punya keputusan sendiri."
Maha cukup menerima alasan itu. "Oke, lo boleh jadi temen gue," ucapnya dengan nada setengah serius.
Dylan tersenyum lebar, tampak puas dengan jawaban Maha. "Akhirnya! Gue kira lo bakal lebih lama bikin keputusan. Eh by the way Lo pesen dulu deh, apapun."
Maha melirik ke arah menu yang ada di meja, lalu menghela napas pelan. "Gue nggak lapar. Cuma minum aja kali, ya."
Dylan mengangguk sambil memanggil pelayan. "Terserah lo. Pesan aja yang lo mau."
Setelah pelayan datang, Maha memesan kopi latte. "Itu aja," katanya singkat sebelum mengalihkan tatapan ke Dylan. "Jadi, lo serius mau temenan sama gue? Nggak takut kena masalah?"
Dylan tertawa kecil, santai seperti biasa. "Udah gue bilang, gue nggak peduli sama omongan orang. Kalau lo asyik, gue asyik. Simple,
kan?"
Maha mengedikan bahunya, mereka mulai berbicara banyak dan beberapa kali Maha tertawa karena Dylan, laki-laki ini ternyata tidak membosankan.
•••
Maha pulang diantar Dylan dengan senyum tipis menghiasi wajahnya. Dalam hati, ia tahu betul apa yang ia lakukan. Tujuannya jelas, ia sengaja ingin melihat bagaimana reaksi Sastra.
Mobil berhenti tepat di depan rumah setelah pak Jo membuka gerbang, dan Maha keluar dengan gaya santai. Dylan, yang masih di balik kemudi, melambaikan tangan sambil tersenyum. Ia mengamati rumah Maha, namun begitu ia tak mau ingin tahu.
"Thanks udah nganter," kata Maha sambil melirik sekilas ke arah jendela rumahnya, berharap Sastra memperhatikan.
"Tentu, anytime," jawab Dylan, masih dengan senyum ramahnya. "See you soon, Maha."
Maha melambaikan tangan sebelum berjalan masuk ke dalam rumah. Saat Maha membuka pintu tentu Sastra sudah terduduk diatas sofa dengan sebelah kaki yang bertopang sambil menatap layar iPad nya dengan serius.
Pria itu tidak kunjung membuka suara, sampai Maha tepat menaiki anak tangga pertama barulah suaranya terdengar.
"Saya dibohongi nih?"
Maha terhenti di anak tangga pertama ketika mendengar suara Sastra yang tenang namun penuh sindiran. Pria itu tetap duduk di sofa, tidak mengalihkan pandangannya dari layar iPad, seolah-olah tak ada yang berubah dalam suasana rumah.
"Saya dibohongi nih?" ulang Sastra, suaranya lebih tegas kali ini.
Maha menghela napas pelan, lalu berbalik menghadapnya. "Apa maksud lo?"
Sastra akhirnya menurunkan iPad-nya, menatap langsung ke arah Maha dengan tatapan tajam. "Kamu bilang pergi dengan Keana, ternyata kamu bohong. Saya percaya karena saya tidak mau berpikir buruk tentang istri saya, tapi kamu berani bohongi saya."
Maha mengangkat alis, berusaha terlihat tenang namun didalam hatinya bergejolak, apakah tandanya ia berhasil menarik emosi Sastra? Sepertinya begitu. "Ya Lo pikir sendiri aja lah, kalau gue jujur mau ketemu cowok lain pasti lo larang kan? Ya gue sih gak peduli tapi bakal panjang deh kalau apa-apa harus bilang sama lo dulu."
"Itu pemikiran kamu Maha. Salah kamu tidak jujur sama saya, toh kalau kamu bicara baik-baik saya akan beri kamu waktu. Saya tidak mempersalahkan dengan siapa kamu bertemu, entah itu perempuan atau laki-laki, tapi kamu tidak jujur pada saya."
Sastra bangkit dari sofa dan berjalan perlahan mendekat ke arah Maha. Tatapannya dingin, tapi ada ketegasan yang sulit diabaikan. Maha berdiri kaku di tangga, merasa perdebatan yang ia coba picu kini berhasil menarik sentimen Sastra.
Sastra semakin melangkah mendekat dengan tenang, sorot matanya tajam namun tak terbaca sepenuhnya. Ketika sudah cukup dekat, tangannya yang besar namun terasa hangat menyentuh dagu Maha dengan lembut, gerakan itu halus namun penuh kendali. Ia mengangkat dagu Maha perlahan, memaksa tatapan perempuan itu terkunci pada matanya.
Maha tak punya pilihan selain menatap Sastra. Netra mereka saling bertemu—tatapan Sastra begitu dalam, seolah tak memberi celah bagi Maha untuk bersembunyi di balik kata-katanya yang biasa tajam. Sorot matanya memancarkan ketegasan yang tak bisa disangkal, tapi juga ada sesuatu yang membuat Maha terperangkap—sebuah emosi yang jarang dia lihat dari pria itu.
Maha menelan ludah lagi, tatapannya mulai goyah, tapi ia tetap bertahan, meskipun getaran halus sudah terasa di dalam dirinya. "Kamu sudah mengunjungi jauh sekali batas kesabaran saya, itu cukup membuat saya berterimakasih padamu." Aura Sastra yang sebelumnya dingin dan tenang kini berubah menjadi menakutkan. Pria itu tak perlu meninggikan suara, tak perlu mengancam dengan kata-kata kasar, karena tatapannya saja sudah mampu menghancurkan perlawanan Maha.
Dalam diamnya, Maha tahu. Ia lebih baik dimarahi dengan keras, diteriaki, atau dipaksa berargumen, daripada harus berhadapan dengan ketenangan intens yang dipancarkan Sastra saat ini. Perkataan pria itu seolah memanipulasi jiwanya, membuat Maha merasa kecil dan tak berdaya di bawah tatapan yang penuh dengan kuasa itu.
Maha akhirnya melepaskan emosinya, meski dengan nada bergetar. "Kenapa gak sekalian lo marahin gue dengan keras sih, jangan tatap gue kaya gitu, Sastra!" katanya, suaranya pecah oleh ketegangan. Ia mencoba terlihat tak mau kalah, tapi bohong sekali kalau ia tidak takut. Bahkan tangannya, yang selalu ia banggakan sebagai tanda keberaniannya, kini sedikit gemetar di sisi tubuhnya. Hanya dengan tatapan dan ucapan tenang yang penuh racun, Sastra sudah bisa membuatnya tak berkutik.
Sastra tidak mundur, dan tatapannya tetap terpancang pada wajah Maha, seolah setiap inci ekspresi gadis itu sedang dipelajari. "Saya tidak perlu marah dengan cara yang kamu inginkan, Maha," ucapnya dingin. "Saya perlu kamu mengerti barang sedikitpun bagaimana saya memperingati kamu. Tolong didengarkan setelah ini, dan saya tidak masalah kamu bersikap seperti biasanya pada saya, tapi untuk yang satu ini... saya tidak suka."
Maha ingin membalas, tapi lidahnya terasa kelu. Ia tidak pernah menyangka bahwa ketenangan Sastra bisa begitu menakutkan—lebih dari amarah apapun yang pernah ia hadapi.
Maha masih berdiri kaku di anak tangga, seolah masih memproses kata-kata Sastra yang begitu dingin namun tajam. Rasanya seperti dipukul telak tanpa perlu suara keras atau amarah yang meledak-ledak. Sastra hanya melayangkan peringatannya, cukup kuat untuk menusuk jauh ke dalam pusat pertahanan Maha.
Setelah mengatakan itu, Sastra berbalik dengan tenang, berjalan kembali ke sofa, mengambil iPad-nya, dan melanjutkan aktivitasnya seolah tak ada yang terjadi. Seakan percakapan barusan hanyalah percakapan biasa, sementara Maha masih dibekap oleh ketidaknyamanan yang menggantung di udara.
Sastra, dengan caranya yang tenang dan terkontrol, telah memegang kendali penuh atas situasi ini. Dan Maha, untuk pertama kalinya, merasa kecil di hadapan pria itu—terjebak dalam kesunyian yang lebih menyiksa daripada argumen apapun.
"Sialan!"