Pernikahan seharusnya membuka lembaran yang manis. Tapi tidak bagi Nayara, dia menyimpan rahasia kelam yang akhirnya merenggut kebahagiaannya.
Suaminya membencinya, rumah tangganya hampa, dan hatinya terus terjerat rasa bersalah.
Hingga suatu hari sumber masalahnya sendiri datang dan berdiri dihadapannya, laki-laki yang kini memperkenalkannya sebagai sopir pribadi.
“Sudah aku katakan bukan. Kamu milikku! Aku tidak akan segan mengejarmu jika kau berani meninggalkanku.”
Apakah Nayara akan mempertahankan rumah tangganya yang hampa atau kembali pada seseorang dimasa lalu meski luka yang ia torehkan masih menganga dihatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Laila_Anta, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 21
Mona merebut ponsel yang masih berada di tangan Bian dan melemparnya asal ke sisi tempat tidur.
"Akh, sayang. Lebih cepat! Siapa si tadi. Mengganggu saja," kesal Mona karena merasa terganggu oleh seseorang yang menelpon suaminya ditengah pertempurannya.
Mendengar hal itu Bian menaikkan ritme kecepatan. Hingga tidak lama laki-laki itu mengejang menyemburkan benih ke dalam rahim istri keduanya.
"Sayang, kok udahan si. Aku kan belum puas," keluhnya tiba-tiba.
Bian sudah tergeletak di samping dengan nafas yang terengah. "Bukankah kau menyuruhku mempercepat ritmenya. Dan kau tau, aku sudah tidak mood lagi," jawabnya tanpa rasa bersalah. Bahkan permainan mereka saja baru dimulai.
"Ish, bukan begitu. Aku kesal karena kau malah mengangkat telepon. Lagian siapa si, sampai berani menelpon di jam seperti ini."
"Sopir pribadiku."
Kening Mona mengkerut. Ia tidak menyangka Bian rela menjeda permainan mereka hanya karena mendapat telepon dari seorang sopir. "Kamu yang benar saja, sayang. Masa hanya karena-"
"Istriku meminta izin untuk keluar rumah. Dan ini untuk pertama kalinya," potong Bian sebelum Mona melanjutkan kalimatnya.
"Kau kesal? Karena istri rumahanmu itu keluar rumah?" pancing Mona. "Kau masih perduli sama dia. Bukankah selama ini kau bilang, wanita itu tidak pernah memberikan apapun padamu. Tapi kenapa-"
"Cukup!" bentak Bian. "Aku tidak suka kau berbicara buruk tentang dia. Walau bagaimanapun dia istriku."
Laki-laki itu turun dari ranjang. Dengan tubuh polosnya ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan diri.
Ya. Saat ini mereka berada di apartemen. Bukan seperti yang Bian katakan pada sopir pribadinya kalau ia sedang berada di luar kota. Itu hanya alasan saja untuk tidak pulang ke rumah selama beberapa hari ini.
Ini karena Mona terus saja merengek untuk meminta waktu Bian selama beberapa hari ini. Jika tidak, wanita itu akan terus melakukan hal gila yang bisa membuat semua orang curiga tentang hubungan mereka.
"Sial. Apa si spesialnya wanita itu. Sampai Bian masih mempertahankannya. Bukankah wanita itu tidak pernah memberikan nafkah batin untuknya," gerutu Mona kesal. Ia memukul bantal yang berada di sampingnya.
* * *
"Bakso dua bang."
Saat ini Nay dan Dev sudah sampai di tempat tukang bakso. Nay lebih dulu keluar dan memesan.
Kebetulan tempat itu tidak terlalu ramai seperti biasanya. Jadi tanpa menunggu lama Abang penjual sigap membuatkan pesanan.
"Wah, neng ini cantik sekali. Abang seperti melihat bidadari saja," ujarnya penuh takjub. Nay hanya tersipu mendengar pujian tersebut.
"Campur gak neng?"
"Campur bang. Yang satu banyakin togenya. Eh." Nay sendiri tersentak mendengar ucapannya barusan.
Gadis itu merasa dejavu saat mengucapkan kalimat tersebut. Kenangan manis masa lalunya muncul sekelebat.
"Gak jadi deh bang. Eum, saya tanya dulu deh sama orangnya." Mata Nay celingukan mencari keberadaan Dev karena belum juga muncul.
Tidak lama seseorang itu muncul. "Maaf Nyonya. Saya memarkirkan dulu mobil."
Nay mengangguk. "Saya sudah pesan. Kamu-" Menunjuk Abang bakso yang tengah sigap membuatkan pesanan. Ada dua mangkok dihadapannya.
"Yang satunya banyakin toge ya, bang," seru Dev yang langsung duduk di kursi panjang yang kosong.
Deg.
'Apa aku tidak salah dengar. Kenapa selera Dafa dan dia sama. Ah, mungkin cuma kebetulan.' Nay berusaha membuang prasangkanya.
"Sini, Nyonya." Dev menepuk ruang kosong di sampingnya.
Tanpa berpikir panjang Nay pun ikut duduk karena semangkuk bakso sudah siap diantar.
Mata Nay berbinar saat kepulan asap menyeruak ke indra penciuman. Kuah gurih, bau kaldu dan bawang goreng membuat gadis itu menelan saliva nya.
Kini semangkuk bakso komplit mie dan sayuran sudah berada di depan mata. Saat ingin meracik kuah, Nay memikirkan sesuatu.
"Nih saosnya, Daf."
Nay mendekatkan botol saos ke hadapan Dev yang sedang meracik kuah baksonya.
Seperti dugaan Nay, pemuda itu menjauhkan botol saos tersebut. "Saya tidak suka saos, Nyonya. Saya lebih suka misdasem tapi asemnya dari cuka aja," sahut Dev yang membuat tangan Nay membeku.
Laki-laki itu tidak melihat perubahan wajah Nay saat ini. Ia sibuk menuangkan kecap dan sambal ke mangkuk nya.
"Ngomong-ngomong, kamu mengingatkanku pada seseorang, Daf," kata Nay yang membuat pemuda itu tersentak.
Saat ia menoleh, Nay tidak memperlihatkan raut wajahnya. Gadis itu juga sibuk menuangkan beberapa tambahan ke mangkuk baksonya.
"Oh ya. Siapa, Nyonya. Apakah Tuan?"
Nay menggeleng. "Makanlah. Kita bicara lagi nanti. Aku udah gak sabar, nanti kuah bakso ini keburu dingin."
Kali ini mereka menyantap tanpa adanya gangguan hingga bakso tersebut tandas tak bersisa begitupun dengan kuahnya.
"Ah, segarnya." Dev mengusap bibir yang belepotan. "Kapan-kapan saya ajak lagi Nyonya makan bakso di sini."
Sesudah itu Dev membayarnya. Nay berusaha menolak, tapi ia bilang, seorang laki-laki pantang menerima traktiran dari perempuan, jika laki-laki itu masih mempunyai uang. Tidak lupa, ia juga membungkus satu porsi untuk dibawa pulang ke rumah.
Nay mendahului Dev berjalan dengan tergesa. Saat sepeda motor melaju dengan kecepatan tinggi yang sedikit lagi menyenggol tubuh Nay, Dev berteriak nyaring.
"Awas, Nay!"
Tubuh Nay reflek mundur. Tubuhnya membeku karena terkejut akan dua hal. "Kamu tidak papa?" tanya Dev khawatir. Ia meraba tubuh dan tangan Nay secara keseluruhan.
"Lepas!"
Nay menghempaskan tangan Dev dengan kasar. Ia buru-buru masuk ke dalam mobil dengan wajah yang memerah.
Sepertinya Dev belum sadar akan situasi. Pemuda itu mengerutkan kening ketika melihat perubahan wajah istri majikannya.
Dev pun ikut menyusul dan kini duduk di belakang kemudi. "Maafkan saya. Saya sudah lancang tadi. Seharusnya-"
"Jalan!"
Nay memotong perkataan Dev yang membuat suasana menjadi canggung. Mobil melaju meninggalkan perasaan kedua insan yang saat ini sulit ditebak.
* * *
"Su-suamiku."
Nay terkejut ternyata Bian sudah ada di rumah. "Bukankah kamu keluar kota?"
Bian nampak tidak senang dengan pertanyaan Nay. "Kenapa? Apa karena aku pergi, kamu bisa seenaknya keluar rumah, begitu?"
"T-tidak." Nay menggeleng. "Bukankah Dafa sudah meminta izin padamu. Kalau aku ingin pergi keluar. Bukankah kamu tidak keberatan." Nay berusaha mencari pembelaan.
Bian mendengus. "Jadinya besok aku akan pergi." Laki-laki itu membalikkan badan. "Bersiap-siaplah. Kau juga akan ikut denganku besok," kata Bian tiba-tiba.
Tanpa menunggu jawaban, Bian langsung meninggalkan Nay yang masih diam mematung.
"Besok. Keluar kota. Kemana?" gumam Nay tidak habis pikir. Tapi ada perasaan antusias dalam hatinya. Untuk pertama kalinya suaminya ingin mengajaknya pergi keluar kota.
Dev yang berada tidak jauh dari mereka mendengar nya. 'Mau dibawa kemana Nay. Tidak bisa. Besok aku juga harus ikut,' tekad Dev.
Perasaan bahagia dan antusiasme Nay hingga melupakan kejadian sore tadi. Kini ia disibukkan membenahi pakaian yang ingin ia bawa besok.
Sedangkan Bian kini berada di kamarnya. Berkali-kali ia mengabaikan sambungan telepon yang masuk sejak tadi ke ponselnya.
Untuk saat ini dan besok ia hanya ingin fokus pada istri pertamanya. Ada perasaan yang menggelitik hatinya saat Nay meminta izin untuk keluar sore tadi. Ternyata selama ini ia sudah melupakan keberadaannya.