Sebuah novel dengan beragam jenis kisah horor, baik pengalaman pribadi maupun hasil imajinasi. Novel ini terdiri dari beberapa cerita bergenre horor yang akan menemani malam-malam mencekam pembaca
•HOROR MISTIS/GAIB
•HOROR THRILLER
•HOROR ROMANSA
•HOROR KOMEDI
Horor Komedi
Horor Psikopat
Horor Mencekam
Horor Tragis
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ayam Kampoeng, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 21 TEROR LEAK Part 21
Enam bulan telah berlalu sejak Bagus meninggalkan Banjaran, desa kecil yang telah mengubah hidupnya secara tak terduga. Ketika dia kembali ke Jakarta, yang bagus rasakan adalah seperti mendarat di planet yang asing. Bukan karena dia terlalu lama di Banjaran, tetapi karena jiwanya tak lagi selaras dengan denyut nadi kota metropolitan ini.
Jalanan di Jakarta yang dulu akrab dengan Bagus, kini terasa bising dan tak bernyawa. Lampu-lampu neon yang gemerlap, gedung-gedung yang menjulang, dan hiruk-pikuk manusia yang berlalu-lalang seolah-olah menyesakkan jiwanya.
Bagus MEMANG berjalan di antara mereka, tapi hatinya tertinggal di tempat lain. Desa Banjaran telah mengukir luka dan cahaya dalam dirinya, dan kehidupan metropolitan kini tampak seperti sandiwara kosong yang tak lagi mampu menghibur.
Dalam kesunyian batinnya, Bagus menyelesaikan skripsi dengan segera dan tergesa. Dia tak mau membuang waktu sedetik pun. Bagus mengabaikan rencana awalnya untuk menulis disertasi antropologi yang kaku dan akademis. Sebagai gantinya, dia menciptakan sebuah narasi personal yang dalam, sebuah etnografi yang lahir dari pengalaman nyata dan luka batin.
Bagus menulis tentang Leak bukan sebagai mitos belaka, tetapi sebagai simbol ketakutan yang sifatnya kolektif, sebuah trauma yang diwariskan, dan kekuatan pengorbanan yang tak bisa dijabarkan dengan kata-kata.
Nama-nama dan lokasi dia samarkan, demi melindungi rahasia desa Banjaran, namun esensi kebenaran tetap mengalir kental di setiap kalimat skripsinya.
Dosen pembimbing Bagus, seorang akademis tua yang dikenal sinis dan skeptis, terdiam lama setelah membaca naskah itu. Dengan suara pelan, ria menyebut karya Bagus sebagai “kedalaman filosofi yang imajinatif,” lalu memberinya nilai tertinggi tanpa banyak komentar atau revisi.
Namun, pencapaian akademis itu terasa hampa baginya. Bagus berjalan di trotoar Jakarta yang ramai, tetapi matanya secara tak sadar mencari bayangan yang tak wajar di sudut-sudut gelap kota itu. Dia kadang terbangun di malam hari, mendengar suara atau gema gamelan dari kejauhan, atau terkadang merasakan sentuhan dingin di kulitnya yang membuat bulu kuduk Bagus berdiri.
Dunia tak kasat mata tidak melepaskan Bagus begitu saja. Desa Banjaran telah membuka mata batinnya, dan dia tak bisa kembali menjadi orang yang buta terhadap keberadaan entitas yang tak terlihat.
Hari-hari Bagus dipenuhi antisipasi. Dia selalu menghitung waktu, menandai kalender, menunggu saat dia bisa kembali lagi ke Bali. Panggilan telepon mingguan dengan Marni adalah penopang hidupnya. Suara perempuan itu, yang selalu terdengar merdu di ujung panggilan, adalah pengingat bahwa surga yang pernah dia tinggalkan masih nyata adanya.
Mereka berbincang tentang hal-hal biasa, tentang Pak Wayan yang kesehatannya semakin membaik, tentang hasil panen yang melimpah, tentang upacara kecil yang kembali digelar dengan khidmat.
Namun, di balik semua kata-kata itu, Bagus bisa merasakan sesuatu yang tak beres. Ada kesedihan yang mendalam, seperti air mata yang bersembunyi di balik senyuman dan gurauan Marni.
Suatu malam, saat Bagus mengunjungi Marni di Desa Banjaran, dia bertanya, “Apakah kau baik-baik saja, Marni?”
Ada jeda yang terlalu lama, dan Marni tampak menatap ke rimbunan pohon dengan mata kosong. Namun akhirnya Marni pun menjawab, “Aku merindukanmu, Mas. Tapi... ada hal lain. Kadang-kadang, aku merasa dia... ibuku... memanggil. Bukan dengan suara menakutkan seperti dulu. Tapi seperti bisikan dari seberang sungai. Dia bilang bahwa tugasku hampir selesai.”
Kalimat jawaban dari Marni itu seketika membuat Bagus merinding. “Apa maksudnya, ya?”
“Aku juga tidak tahu,” bisik Marni. “Tapi kekuatan keseimbangan itu... terasa berbeda akhir-akhir ini. Lebih tipis. Seperti kain tua yang mulai robek.”
Rasa takut yang familiar menyelimuti Bagus. Dia tahu bahwa sesuatu yang mereka hadapi bukanlah berasal dari dunia ini. Bagus memutuskan untuk mempercepat rencana kepulangannya ke Jakarta. Dia akan menyelesaikan urusan administrasi kampus dan kembali lagi ke Bali dalam kurun waktu sebulan, dan akan menetap di sana untuk selamanya.
Ketika Bagus menyampaikan keputusannya itu kepada Marni, Bagus bisa melihat Marni menarik nafas lega.
“Dengan senang hati,” kata Marni. “Ayah juga sudah mempersiapkan kamar untukmu.”
Sayangnya, dua minggu sebelum kembali ke Bali sesuai yang direncanakan, panggilan telpon itu datang. Bukan dari Marni, melainkan dari Mang Dirga. Suara tua itu terdengar pecah dan hancur, seperti seseorang yang baru saja kehilangan separuh jiwanya.
“Bagus... anakku... pulanglah. Sekarang.”
Jantung Bagus berhenti. “Apa yang terjadi? Apakah Marni baik-baik saja?”
Ada suara isakan di ujung telepon. “Dia... dia menghilang, Nak. Semalam. Dia pergi ke Pura Kahyangan untuk melakukan persembahyangan seperti biasa. Tapi dia tidak pernah pulang. Kami telah mencari Marni ke mana-mana. Hanya... hanya ini yang kami temukan.” Suara Mang Dirga tercekik. “Selendang merahnya. Terlipat rapi di altar utama Pura Kahyangan. Dan... Sepucuk surat untukmu.” terang Mang Dirga dengan pedihnya.
Dunia Bagus seketika runtuh. Dia tidak ingat bagaimana dia mengemas koper atau sampai di bandara. Semuanya seperti kabur, seperti mimpi buruk yang tak bisa dibangunkan. Penerbangan ke Denpasar terasa seperti perjalanan menuju neraka. Setiap detik adalah siksaan, diisi dengan bayangan mengerikan tentang apa yang mungkin terjadi pada Marni.
Bagus membayangkan wajahnya, senyumnya, dan suara lembutnya yang kini mungkin telah menjadi gema di antara pepohonan dan perlahan hilang dalam hembusan angin.
Bagus akhirnya tiba di desa Banjaran. Desa itu memang tenang dan damai, tetapi kedamaiannya terasa seperti kepasrahan yang suram. Warga desa menyambutnya dengan wajah-wajah muram dan tatapan prihatin. Rumah Marni dipenuhi bunga dan dupa, seperti rumah orang meninggal. Aroma melati dan cendana memenuhi udara desa Banjaran, namun tidak mampu menutupi rasa kehilangan yang dirasakan Bagus.
Pak Wayan terlihat sepuluh tahun lebih tua, duduk di kursi, memeluk erat selendang merah Marni. Matanya kosong, seperti telah kehilangan cahaya kehidupan. Mang Dirga duduk di sampingnya, wajahnya berkerut oleh kesedihan dan kelelahan yang mendalam.
Mang Dirga mengulurkan selembar kertas pada Bagus. Kertas itu adalah kertas tua yang dilipat dengan rapi. Tulisan Marni yang halus menghiasi kertas itu, seperti bisikan terakhir dari dunia yang tak lagi bisa Bagus disentuh.
“Baca sendiri, anakku,” bisik Mang Dirga. “Dia meninggalkan surat ini untukmu.”
Dengan tangan gemetar, Bagus membuka lipatan kertas itu. Kata-kata pertama membuat air matanya mengalir tanpa bisa dibendung.
"Bagus, cintaku...
Surat itu bukan sekedar pesan perpisahan. Surat ini adalah pengakuan, pengorbanan, dan penyerahan diri kepada takdir yang tak bisa aku hindari..."
Dalam surat itu Marni menulis tentang panggilan yang semakin kuat, tentang suara Ida Rengganis yang membimbingnya menuju akhir. Dia juga menulis tentang cinta mereka, tentang harapan yang tak sempat tumbuh, dan tentang tugas yang harus diselesaikan demi menjaga keseimbangan dunia yang tak terlihat.
Dalam kalimat Marni di surat itu, Bagus menemukan kekuatan untuk melanjutkan hidup. Bukan untuk melupakan Marni, tetapi untuk menjaga nyala api yang telah Marni nyalakan untuknya. Dan cinta mereka, meski terpisah oleh dua dunia yang berbeda, belum berakhir...
*
Sebelum ikut-ikutan nge-bully, coba deh tanya ke diri sendiri. Apa yang akan aku rasakan jika ini terjadi padaku atau adik/keluargaku?
☺️🥰