"Aku hamil, Fir, tapi Daniel tidak menginginkannya,"
Saat sahabatnya itu mengungkapkan alasannya yang menghindarinya bahkan telah mengisolasikan dirinya selama dua bulan belakangan ini, membuatnya terpukul. Namun respon Firhan bahkan mengejutkan Nesya. Firhan, Mahasiswa S2, tampan, mapan dan berdarah konglomerat, bersedia menikahi Nesya, seorang mahasiswi miskin dan yatim-piatu yang harus berhenti kuliah karena kehamilannya. Nesya hamil di luar nikah setelah sekelompok preman yang memperkosanya secara bergiliran di hadapan pacarnya, Daniel, saat mereka pulang dari kuliah malam.
Di tengah keputus-asaan Nesya karena masalah yang dihadapinya itu, Firhan tetap menikahinya meski gadis itu terpaksa menikah dan tidak mencintai sahabatnya itu, namun keputusan gegabah Firhan malah membawa masalah yang lebih besar. Dari mulai masalah dengan ayahnya, dengan Dian, sahabat Nesya, bahkan dengan Daniel, mantan kekasih Nesya yang menolak keras untuk mempertahankan janin gadis itu.
Apa yang terjadi?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Moira Ninochka Margo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
DUAPULUH SATU Jujur — Firhan-Nesya
AKU duduk di ruang perawatan khusus disewakan untuk Daniel. Meski pria itu berada di ruang ICU isolasi dan masih kritis, tapi keluarganya sengaja menyewa satu kamar untuk kita semua bisa istirahat dan tidur di sini. Kamarnya cukup luas, sepertinya VIP. Tepat di sudut utara, ada tempat tidur khusus pasien yang lengkap dengan peralatannya seperti infus, mesin pendeteksi jantung, alat bantu oksigen dan lainnya, lalu tak jauh dari itu ada beberapa sofa di letakkan di sana dengan tv tentunya yang menempel di dinding. Ada kamar mandi di sebelah selatan dan di sebelah barat kamar tamu dengan 2 bed kecil di dalamnya yang hanya muat satu orang untuk satu bed.
Semalam yang hanya menginap hanya aku, Gina—adik Daniel dan Ibunya Daniel. Ayahnya semalam pulang ke rumah. Dan hari ini aku berencana untuk pulang. Firhan berjanji akan menjemputku di jam sepuluh pagi nanti.
Ibunya Daniel hanya menatapku, dan kami tersenyum ketika mata saling bertemu. Hening. Sejak beberapa menit yang lalu Gina pamit keluar membeli makanan untuk sarapan kami, ruangan ini berubah mencekam dan hening.
Entahlah, kenapa aku jadi kikuk pada wanita paruh baya ini, padahal dulu kami sangat akrab dan dekat. Bahkan saat bertemu pun, malah jadi heboh.
"Sudah berapa bulan, Nesya?"Tanya ibu setelah setelah sesaat mengelus perutku. Dia sesekali menatapku dengan senyuman.
"Um ... Hampir masuk 7 bulan, bu,"
Ibu tersenyum lebar lalu mengusap rambutku.
"Kenapa kalian tidak pernah cerita ke ibu? Kenapa tidak pernah memberitahu kalau kamu sama Daniel sudah punya anak?"
Aku hanya terdiam mendengar kalimatnya.
Ya, aku tahu, Gina apalagi pria itu, mana pernah cerita tentang hal ini ke orangtua mereka. Orangtua mereka saja tidak tahu tentang hubungan kami yang sudah lama berakhir.
"Ah, anak itu tidak pernah berubah. Setiap punya masalah, tidak pernah cerita sama Ibu. Penyakitnya ini saja, yang beritahu ibu adalah Gina, itupun baru sekarang ini Gina berani cerita ke ibu karena kakaknya melarangnya," pandangan ibu lurus ke depan, lalu menoleh ke arahku dan menatapku cukup lama.
"Maaf, ya, Nak. Maaf Daniel telah menghamilimu. Sebagai ibu Daniel, ibu sangat minta maaf karena terjadi hal seperti itu," lanjutnya dengan mata berkaca-kaca seperti sangat bersalah dan penuh penyesalan.
"Bu—"
"İbu sudah pikirkan ini semalam, begitu Daniel bangun dari komanya, pernikahan kalian akan dilangsungkan. Jangan khawatir, Nak. Ibu yang akan bertanggungjawab dengan semua ini dan Daniel harus menikahimu,"
Duh! Batinku menggerutu sambil memejamkan mata.
Kenapa malah jadi melebar kemana-mana seperti ini.
"Bu, tidak perlu seperti ini, Nesya—"
"Tidak, Nesya, jangan seperti ini. Ibu merasa bersalah padamu karena Daniel sudah menghamilimu dan malah membiarkanmu seperti ini, membuatmu menjalani sendirian tanpa ada tanggungjawab darinya. Lihat! Perutmu sudah membesar, Nak! Orang-orang akan berkata apa kalau kamu belum menikah sedangkan perutmu sudah sangat membesar. Pasti kamu lelah, kan, Nak, menghadapi orang-orang sendirian seperti ini? Apalagi teman-teman di kampusmu. Pasti mereka membicarakanmu, maaf ya.... " Tangisnya yang membuat aku langsung mendekap.
Setelah sejenak tenang dan tangisnya berhenti, ibu lalu melepaskan pelukannya, kemudian menatapku sambil mengusap rambutku.
"Nak, karena sebentar lagi kamu nikah dengan Daniel, tolong jauhi cowok yang kemarin, ya?"
Alisku mengernyit dalam tatapan bingung. "Cowok kemarin, Bu?"
Ibu mengangguk. "Iya, yang kemarin mengantarmu kemari. Gina bilang dia sahabatmu, ya? Ibu minta jangan menemuinya lagi, ya? Ibu tidak suka melihatnya bersamamu. Dia seperti suka sama kamu. Dan ibu yakin, dia pasti bukan cowok baik. Karena kalau cowok baik, tidak mungkin masih nempel begitu padahal jelas-jelas dia tahu kamu sudah punya pacar. Dia kayaknya cowok yang punya banyak pacar, mempermainkan pacarnya, memakainya lalu meninggalkannya dan—"
"Bu, maaf aku menyela ibu, tapi ibu salah paham, Firhan cowok baik, Bu,"
"Halah, cowok-cowok memang akan terlihat baik di depan cewek yang dia mau, setelah itu busuknya keluar. Sudahlah, Nes, ngapain kamu masih membela dia. Dia sepertinya juga bukan dari kalangan keluarga yang baik, apalagi orangtuanya—"
"Cukup, Bu!" Intonasi suaraku cukup meninggi hingga ibu tersentak karena terkejut. Menyadari kesalahanku karena tidak sadar membentak, aku seketika mengusap wajah dengan frustasi, menghela napas berat lalu meraih tangan ibu. "Bu, maaf, Nesya membentak ibu, tapi tolong jangan bicara buruk tentang Firhan," mohonku menatapnya dengan tidak enak hati.
"Kau ini kenapa? Kau lebih membela cowok tidak jelas seperti dia yang—"
"Dia suamiku, Bu!"
Kalimatku membuat ibu Daniel terkejut. Dia menatapku dengan syok.
"Aku minta maaf, tapi itu benar," lirihku akhirnya mengakui lalu menghela napas berat.
"Maaf kalau tidak jujur dengan ibu dari kemarin, seharusnya dari awal Nesya jujur dengan ibu." Aku menatap wajah itu yang masih syok menatapku. "Anak yang aku kandung ini bukan anak Daniel, Bu. Aku hamil karena telah diperkosa oleh preman yang mencegahku bersama Daniel, saat kami pulang kampus. Saat aku hamil, aku sempat mendiskusikan hal ini dengan Daniel, tapi dia menolak kami. Tapi begitu Firhan tahu, dia yang lansung menikahiku, untuk menjaga sisa-sisa kehormatanku dan melindungiku dari orang-orang yang berbicara buruk tentangku,"
"Jadi, kalian sudah menikah?" tatapan berkaca-kaca ibu Daniel cukup membuatku sesak.
Sejujurnya, ada rasa bersalah dalam diriku karena mungkin aku telah menyakitinya, tapi mungkin ini saatnya aku mengungkapkan semuanya.
Anggukanku membuat airmatanya menetes dan lemas.
"Bu, ibu baik-baik saja?" tanyaku yang menghampirinya. Raut wajahnya sudah pucat pasi dengan informasi yang baru diketahuinya.
"Jangan menyentuhku! Pergi kau dari sini! Bisa-bisanya kau membohongiku dan menyakiti anakku!" teriaknya mengusir.
"Bu, maafkan Nesya!" cemasku yang berusaha menggenggam tangannya, meski ditepis.
Satu sentakannya yang menepisku berhasil membuatku terdorong dan beruntung, Firhan tiba-tiba datang dan sigap menangkapku hingga tidak terjatuh. Kehadirannya bersamaaan dengan Gina. Gadis itu berusaha menenangkan ibunya yang masih berteriak mengusirku. Dan aku, aku hanya bisa menangis sambil di dekap oleh Firhan, yang membawaku pergi dari tempat itu.
...* * *...
Gadis itu terisak dalam tangisnya setelah cukup beberapa lama menangis dengan tubuh bergetar di dalam dekapanku. Ia menenggelamkan kepalanya di dadaku. Untung saja taman ini agak sepi, jadi tidak menimbulkan perhatian. Ya, setelah kejadian tadi, aku membawa Nesya ke Taman rumah sakit ini. Setidaknya untuk menenangkannya. Sejujurnya, aku cukup banyak mendengar tadi pertengkaran mereka, makanya begitu suasananya sudah kacau, aku langsung masuk dengan Gina, untung saja aku bisa dengan tepat waktu berada di sana dan menangkap istriku ini, kalau tidak dia pasti terjatuh karena di dorong.
Di sisi lain aku juga kasihan dengan ibunya Daniel, tapi di sisi lain juga aku tidak menyangka kalau gadis ini akan jujur akhirnya bahkan membelaku di depan wanita itu.
Aku tersenyum sambil masih mengusap kepalanya.
"Kau tidak perlu melakukan itu, Sayang. Bahkan saat orang salah paham padaku dan membicarakan dengan buruk, aku tidak masalah. Tapi, terima kasih, ya," gumamku yang semakin memeluk eratnya lalu menghela napas panjang.
Dia melepas pelukannya, lalu menatapku dengan mata sembab dan bengkaknya. "Kamu mendengar semuanya?"
Aku mengangguk. Ku-usap sisa airmata di pipi putih itu, lalu mendaratkan kecupan di keningnya, kemudiannya mengusap rambutnya di belakang kepala.
"maaf?" lirihnya dengan tatapan bersalah.
"Hey, sayang, bukan salahmu, tidak apa-apa," tukasku menariknya kembali dalam dekapan.
Dia masih terisak dalam dekapanku sambil menenggelamkan wajahnya di dadaku.
"kalau kamu nangis terus gini, sedih, aku jadi mikir mau daftar jadi badut." Tukasku setelah selang tak beberapa lama saling terdiam.
"Hah? Ngapain?" tanyanya bingung. Dia sedikit mendongakkan wajahnya agar bisa mengintipku di balik dada ini.
"Biar setiap hari bisa bikin kamu ketawa! Kalau tidak berhasil, ya ... setidaknya mukaku udah lucu duluan."
Kekehannya terdengar. "Kamu tuh yaa ... Dasar!"
Aku tersenyum lalu kembali mendekapnya erat yang sejenak mengecup pucuk kepalanya.
"Kamu boleh nangis, marah, sedih, semua boleh. Tapi ... jangan lama-lama, sayangnya, Firhan, Soalnya dunia aku baru hidup kalau kamu senyum," Lirihku menatap kedua mata indahnya yang mulai memandangku dengan nampak wajah penuh sambil tanganku mengelus lembut rambutnya perlahan.
Senyum Nesya muncul perlahan, tubuhnya kini sudah tidak menempel lagi kepadaku. "Halah, gombal! Nanti kalau aku udah senyum, kamu cuek lagi!"
"Astagfirullah, saya suami yang konsisten. Konsisten gangguin istri setiap hari!" timpalku sekenanya. Gelak tawanya terdengar. "Lagian mana pernah aku cuekin istri cantik seperti ini, bisa gila aku!"
Tawanya semakin menjadi-jadi sambil menyandarkan kepalanya di bahuku.
""Ya ... Kalau gitu, gangguin terus aja! Tapi jangan tinggalin, ya?" pintanya menimpali sambil menatapku teduh setelah tawanya mereda.
Tatapanku kini lebih dalam menatapnya. Rasanya hatiku menghangat, terlebih melihatnya menatapku dengan teduh dan berseri. Aku kembali merengkuhnya dengan pelukan erat sambil nyaris berbisik, "Gangguin kamu seumur hidup? Dengan senang hati, Istriku tersayang,"
Nesya membalas pelukanku lebih erat.
Saking bahagianya, kami lupa berada di mana. Enak banget, ya, pelukan depan umum, di tegur baru tahu rasa! Ha ha!
Setelah pelukan hangat itu, kami lalu memutuskan untuk pergi dari tempat itu. Taman ini suasananya sangat sejuk dan tenang, bahkan anginnya menerpa dengan lembut. Rambut Nesya mulai beterbangan di embus angin dan dia tersenyum sambil menatapku, seraya menggandeng lengan ini. Dia sepertinya mulai merasa tenang.
"Sayang mau es krim, tidak? Kayaknya aku pengen makan es krim deh!" Tanyaku di sela-sela kami berjalan menyusuri jalan setapak taman ini, menuju tempat parkir.
"Mau! Ih, mau banget, Sayang!" riangnya girang menatapku yang berhenti melangkah.
Lihat! Astaga, dia bahkan bertingkah seperti anak kecil yang seolah ditawari balon. Biasanya dia bahkan melompat-lompat dengan girang, tapi karena sekarang ini dia hamil dan perutnya mulai membesar, mungkin karena itu dia tidak melakukannya. Es krim memang kesukaannya sejak dulu, sih.
"Tapi yang rasa kamu,"
Senyum semringahnya menghilang, berubah dengan raut wajah bingung menatapku sembari mengerjap. "Hah? Rasa aku? Emang ada?"
"Ya ... manis, nyebelin, dan bikin nagih!"
Nesya mengerucutkan bibir, sepertinya kesal. "mana ada nyebelin!"
Aku tertawa. "Kadang-kadang, ha ha!"
"Lagian apaan itu 'bikin nagih', kayak pernah coba aku aja, ha ha!" Kali ini dia yang menertawakanku hingga membuat tawaku berhenti dan menatapnya kesal. Tanganku seketika refleks menyubit pipinya.
"Aw ... ampun, ampun!" ringisnya memohon saat cubitanku masih berada di pipinya, walaupun tidak keras.
Dia mendaratkan kecupan di pipi sekilas dengan sedikit berjinjit, sambil mengulum senyum ketika aku agak kaget melihat tingkahnya yang manis. Senyumanku kini merekah, kemudian mengecup punggung tangannya.
"i love you!" bisiknya di telingaku yang membuatku tersenyum lebar.
"i love you more, Cinta,"
"Jadi, kan, makan es krimnya?" tanyanya yang membuat aku tergelak lalu mengangguk seraya mengusap punggung tangannya yang bertengger menggenggam lenganku dengan setengah memeluk.
"Apapun, untuk istri cantikku," gumamku masih dalam senyuman. Dia mengecup pundakku sekilas, lalu menyandarkan kepalanya di lenganku yang masih menggenggam lenganku, sambil melangkah ke area parkiran mobil.
...* * * *...