Rindi, seorang perempuan berusia 40 tahun, harus menelan pahitnya kehidupan setelah menjual seluruh hartanya di kampung demi membiayai pendidikan dua anaknya, Rudy (21 tahun) dan Melda (18 tahun), yang menempuh pendidikan di kota.
Sejak kepergian mereka, Rindi dan suaminya, Tony, berjuang keras demi memenuhi kebutuhan kedua anaknya agar mereka bisa menggapai cita-cita. Setiap bulan, Rindi dan Tony mengirimkan uang tanpa mempedulikan kondisi mereka sendiri. Harta telah habis—hanya tersisa sebuah rumah sederhana tempat mereka berteduh.
Hari demi hari berlalu. Tony mulai jatuh sakit, namun sayangnya, Rudy dan Melda sama sekali tidak peduli dengan kondisi ayah mereka. Hingga akhirnya, Tony menghembuskan napas terakhirnya dalam kesedihan yang dalam.
Di tengah duka dan kesepian, Rindi yang kini tak punya siapa-siapa di kampung memutuskan untuk pergi ke kota. Ia ingin bertemu kedua anaknya, melepas rindu, dan menanyakan kabar mereka. Namun sayang… apa yang dia temukan di sana.........
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon akos, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
03. MELARIKAN DIRI
Sri memberi isyarat pada pria itu agar bersabar. Ia berjanji akan mendandani Rindi terlebih dahulu sebelum melayaninya.
Pria itu mengangguk, lalu kembali bergabung bersama teman-temannya sambil tertawa pelan.
Sri menggandeng tangan Rindi menuju sebuah kamar. Begitu pintu terbuka, aroma parfum menyengat langsung memenuhi ruangan — harum, tapi menusuk hidung.
Di dalamnya, tempat tidur dipenuhi taburan bunga mawar merah, seperti kamar pengantin yang disiapkan untuk malam pertama.
Sri menyuruh Rindi masuk, lalu melangkah ke arah lemari dan mengeluarkan sehelai pakaian tipis berwarna mencolok. Dengan suara datar namun tegas, ia menyuruh Rindi untuk mandi dan mengenakan pakaian itu. Malam itu, katanya, akan menjadi malam pertama Rindi bekerja di tempat tersebut — kalimat yang membuat tubuh Rindi seketika gemetar, seolah darahnya berhenti mengalir.
Rindi menatap gaun itu dengan bingung.
“Sri, aku datang ke kota ini bukan untuk bekerja. Aku hanya ingin mencari anak-anakku….”
Sri tersenyum tipis, senyum yang entah mengandung iba atau tipu daya.
“Tenang saja. Setelah kamu bekerja, aku akan bantu menemukan mereka. Lagipula, pekerjaan ini hanya sementara. Setelah dapat uang, kamu bisa bebas.”
Rindi menatap Sri dengan mata penuh harap. Ia percaya begitu saja, sebab Sri adalah teman lamanya — bahkan mengenal baik ibunya di kampung.
Tanpa curiga, Rindi menuruti perkataan Sri. Ia masuk ke kamar mandi, membasuh wajah dan tubuhnya yang lelah setelah perjalanan panjang.
Sementara itu, di luar kamar, Sri berbicara pelan melalui telepon.
Ia memberi tahu seseorang bahwa wanitanya sudah siap dan memintanya untuk segera datang.
Dari seberang sana terdengar tawa berat seorang pria — tawa yang penuh nafsu dan kesenangan jahat.
Sri menutup teleponnya dengan senyum puas. Ia tahu malam ini akan menjadi malam yang panjang — bukan untuk Rindi, tapi untuk isi kantongnya sendiri.
Di dalam kamar mandi, Rindi menatap bayangannya di cermin. Wajahnya tampak lelah, tapi hatinya masih menyimpan harapan kecil kalau setelah ini, ia bisa bertemu anak-anaknya.
Selesai mandi, Rindi mengenakan baju yang diberikan Sri. Gaunnya sangat pendek, membuatnya merasa tidak nyaman. Ia memandangi dirinya di cermin dan menghela napas panjang.
“Demi anak-anakku… aku harus kuat,” gumamnya pelan.
Saat Rindi keluar dari kamar mandi, Sri langsung menatapnya dari atas sampai bawah.
“Cantik sekali. Kamu cocok sekali pakai baju itu,” kata Sri dengan senyum yang membuat Rindi agak gugup.
“Aku nggak biasa pakai pakaian seperti ini, Sri,” ucap Rindi lirih.
Sri mendekat dan menepuk bahunya.
“Tenang saja, Rind. Setelah malam ini, aku janji bantu cari anak-anakmu. Tapi kamu harus nurut dulu, ya.”
Rindi mengangguk lagi. Ia percaya saja apa yang dikatakan Sri.
Tak lama kemudian, terdengar ketukan di pintu kamar. Seorang pria masuk dengan langkah gontai, wajahnya merah akibat mabuk. Tatapan matanya liar, dan senyumannya tampak aneh. Sri mengangguk pelan, lalu berpesan agar pria itu memperlakukan Rindi dengan baik, karena ia masih baru.
Rindi mulai curiga.
“Sri, siapa dia? Maksudmu apa?” tanyanya pelan.
Tapi Sri tidak menjawab. Ia malah berbalik dan keluar dari kamar. Suara pintu terkunci dari luar membuat Rindi panik.
Pria itu berjalan mendekat sambil tersenyum miring.
“Jangan takut, aku cuma mau bersenang-senang. Kamu butuh uang, kan?” katanya dengan suara mabuk.
Rindi mundur ketakutan.
“Jangan dekat! Aku nggak tahu apa-apa!”
Rindi berlari ke arah pintu dan mengetuk keras. Meminta tolong pada Sri agar membuka! Aku mau pulang!”
Dari luar kamar terdengar tawa Sri.
Menyuruh Rindi segera menyelesaikan tugasnya. Setelah itu, ia akan mempertemukannya dengan anak-anaknya.
Air mata Rindi jatuh. Ia merasa hancur, marah, dan takut. Ia menatap meja kecil di dekat tempat tidur dan melihat vas bunga.
Dengan cepat, ia mengambil vas itu dan melemparkannya ke arah pria tersebut. Vas pecah, darah menetes dari pipi si pria.
“Dasar perempuan gila!” teriaknya marah.
Rindi tak peduli. Ia menendang pintu sekuat tenaga hingga kuncinya rusak, lalu berlari keluar kamar.
Dari belakang terdengar suara Sri berteriak,
“Tangkap dia! Jangan biarkan kabur!”
Rindi berlari sekencang-kencangnya melewati lorong, lalu keluar dari rumah. Hujan turun deras, membasahi seluruh tubuhnya hingga menggigil.
Ia terus berlari tanpa arah, hanya ditemani rasa takut, dingin, dan air mata yang tak kunjung berhenti.
Setelah cukup jauh, Rindi berhenti di bawah pohon besar di pinggir jalan. Ia duduk sambil memeluk lututnya, mencoba menenangkan diri di tengah hujan yang semakin lebat.
Dari kejauhan terdengar bunyi klakson. Sebuah mobil berhenti tepat di depan Rindi. Dari dalam, seorang perempuan berteriak menyuruh Rindi segera masuk sebelum orang-orang itu datang menangkapnya.
Awalnya, Rindi hanya menatap dengan waspada. Ia takut kejadian buruk yang baru saja menimpanya terulang lagi.
Namun perempuan itu kemudian mengangkat sebuah tas dari kursi samping.
“Ini punyamu, kan? Cepat masuk! Aku bukan orang jahat. Aku mau nolong kamu!” teriak perempuan itu lagi sambil melambaikan tangan.
Dengan tubuh gemetar, Rindi akhirnya berdiri dan berlari kecil mendekati mobil. Ia membuka pintu dan langsung masuk ke dalam. Mobil melaju di tengah hujan deras, meninggalkan tempat mengerikan itu.
Rindi menatap perempuan itu dengan mata penuh air mata.
“Siapa kamu?” tanyanya pelan.
Perempuan itu menoleh sebentar sambil fokus menyetir.
"Rara" jawabnya singkat lalu menjelaskan bahwa ia juga bekerja di tempat itu, namun bukan sebagai perempuan penghibur seperti yang lain. Tugasnya hanya menyediakan stok minuman untuk para tamu. Ia juga menceritakan bahwa sebagian besar perempuan di sana berasal dari kampung, sama seperti Rindi — datang ke kota dengan harapan bisa memperbaiki nasib, namun justru terjebak dalam jerat yang kejam.
Rindi terdiam, dadanya terasa sesak. Ia baru menyadari kalau semua perempuan di tempat itu dipaksa bekerja untuk melayani pria-pria hidung belang.
“Sri itu orang kejam. Dia menjual perempuan-perempuan yang datang ke kota dengan alasan bekerja.”
Air mata Rindi menetes dan berterima kasih kepada Rara — andai bukan karena dia, entah bagaimana nasibnya sekarang.
Rara menepuk bahu Rindi pelan dan mengatakan kalau sekarang Rindi aman.
Mobil terus melaju di bawah derasnya hujan malam, melewati jalanan sepi yang hanya diterangi oleh lampu jalan. Setelah beberapa saat, mobil berbelok menuju sebuah rumah sederhana namun tampak asri.
Rara mempersilakan Rindi masuk ke dalam rumahnya yang sederhana namun tampak hangat. Dengan lembut, ia membantu Rindi membawa tasnya sambil berkata bahwa rumah itu bisa menjadi tempat tinggal bagi Rindi kapan pun ia mau. Ucapan itu terdengar tulus, seolah memberi sedikit harapan bagi hati Rindi yang masih diliputi ketakutan.
Rara membawa Rindi ke sebuah kamar kecil. Kamar itu sederhana, tetapi rapi dan bersih. Aroma sabun dan kayu lembap memenuhi udara, menghadirkan rasa tenang bagi yang menghirupnya.
Rindi membuka tasnya dan mengeluarkan beberapa potong pakaian dari dalam. Setelah selesai, ia meminta izin kepada Rara untuk menggunakan kamar mandi.
Sementara Rindi berada di dalam kamar mandi, Rara memperhatikan isi tas yang masih terbuka. Pandangannya tertuju pada sebuah bingkai foto yang terselip di antara pakaian. Dengan tangan gemetar, Rara mengambil bingkai itu dan menatapnya lekat-lekat.
Krek… suara pintu kamar mandi terbuka.
“Itu foto keluargaku,” ujar Rindi, kini sudah berganti pakaian.
Rindi duduk di samping Rara dan mulai menjelaskan siapa saja yang ada dalam Poto itu, saat telunjuknya beralih ke Poto berikutnya, Rara memotong dengan cepat.
“Tuan Rudy…”