Reza Sulistiyo, penipu ulung Mati karena di racun,
Jiwanya tidak diterima langit dan bumi
Jiwanya masuk ke Reza Baskara
Anak keluarga baskara dari hasil perselingkuhan
Reza Baskara mati dengan putus asa
Reza Sulistiyo masuk ke tubuh Reza Baskara
Bagaimana si Raja maling ini membalas dendam terhadap orang-orang yang menyakiti Reza Baskara
ini murni hanya fanatasi, jika tidak masuk akal mohon dimaklum
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon SOPYAN KAMALGrab, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
BAB 3 BRUNO NAGA HITAM
Setelah setengah jam bermeditasi, Reza menghembuskan napas panjang dan kasar.
Tubuhnya gemetar, peluh dingin mengalir di pelipis.
Rasa nyeri masih bersarang di sekujur tubuh, tulang-tulangnya terasa rapuh, dan ototnya seperti baru bangkit dari kematian.
Ia membuka mata perlahan, menatap sekeliling kamar yang asing namun familiar.
“Tubuh ini... terlalu lemah,” desisnya dengan nada kecewa.
“Bagaimana aku bisa membalas dendam... dengan wadah selemah ini?”
Reza menunduk, menahan amarah yang membara dalam dada.
Andai saja kekuatannya dulu masih utuh—refleks, kelincahan, tenaga, dan keberanian tanpa batas—ia bisa langsung menghancurkan keluarga Baskara malam itu juga.
Tapi kenyataannya berbeda.
Tubuh ini rusak, nyaris hancur.
Dan ia harus membangunnya dari awal...
Dengan tubuh yang masih remuk dan langkah terseok, Reza menggenggam erat tongkat kayu penyangga tubuhnya.
Ia meninggalkan lembah dan mobil yang terbakar.
Langkahnya lambat, namun tekadnya bulat.
Perlahan, ia merayap menapaki lereng bukit
Setiap langkah seperti menikam daging, tapi Reza terus maju—selangkah demi selangkah.
Dua jam berlalu, akhirnya ia tiba di jalan besar, peluh membasahi wajahnya, napasnya terengah.
Matanya menatap lurus ke depan, penuh tekad.
“Aku harus menemukan pengacara Kakek Darman,” gumamnya lirih.
“Namanya... Leon.”
Ia menoleh kanan kiri, mencoba mencari pertolongan.
Lalu, dari kejauhan, sebuah truk tua melambat dan berhenti di depannya.
Tanpa ragu, Reza menaikinya.
Di atas tumpukan karung beras di bak truk tua, Reza tertidur dalam kelelahan.
Tubuhnya masih dipenuhi luka, nyeri kalau orang biasa mungkin sudah tidak bisa berjalan.
Reza tak mengeluh. Di antara para kuli yang juga beristirahat di atas karung-karung itu, Reza hanya diam memandangi langit yang memudar senja.
Di benaknya, satu per satu langkah dibentuk—rencana balas dendam terhadap keluarga Baskara, dan satu hal yang tak kalah penting: mencari tahu siapa yang telah meracuninya saat ia masih menjadi Reza Sulistiyo.
Beberapa jam kemudian, truk berhenti di terminal.
Reza turun, perutnya perih dililit lapar.
Ia berdiri di tengah keramaian, menggigil.
Uang tak ia miliki. Tapi mengemis? Tidak. Itu tidak pernah ada dalam kamus hidupnya.
Yang terlintas hanya satu: mencuri.
Saat hendak melangkah, matanya menangkap sesuatu di seberang jalan.
Seorang pria botak dan gendut sedang menganiaya lelaki tua renta di depan warung kosong.
Reza mengernyit, matanya menyipit tajam.
Bukan karena iba. Tapi karena nalurinya berkata—“kamu adalah korban pertamaku”
“Aku gak mau tahu! Uangnya harus ada hari ini juga! Kalau nggak…”
Pria botak bertubuh tambun itu menatap bengis pria tua di hadapannya.
“Anak perawanmu... buat aku.”
“Tolong... jangan lakukan itu, Jak,” pinta pria tua itu dengan suara parau. Tubuhnya kurus, ringkih, seolah hidupnya sudah dikikis oleh penderitaan.
Dari kejauhan, Reza melihat kejadian itu dengan tenang.
Wajahnya tanpa ekspresi, tapi matanya tajam seperti silet.
Di mana ada masalah, di situ ada peluang.
Ia menatap lurus ke arah si botak—target pertamanya hari ini.
Tanpa ragu, Reza menyeberang jalan.
Langkahnya tertatih-tatih, lalu…
BRUK!
Ia pura-pura terjatuh tepat menabrak pria botak itu.
Meski tubuhnya masih lemah, momen itu cukup untuk menjatuhkan sang preman ke tanah.
Tubuh Reza menindihnya, menciptakan kekacauan kecil.
Anak buah si botak sontak menyerbu.
Salah satu dari mereka menghajar Reza dan melemparkannya hingga terpelanting ke tanah.
Darah mengalir di sudut bibirnya, tapi Reza tersenyum tipis.
“Maaf... maaf, saya belum makan... jadi saya pusing,” ucap Reza terbata, memegang perutnya seolah benar-benar lemah.
Dua anak buah pria gendut itu hendak mengejarnya, tapi dihentikan oleh si pria botak yang masih tergeletak.
“Bodoh! Bangunin aku dulu... tubuhku lemas sekali,” geramnya pelan.
Kedua anak buahnya langsung membantunya duduk.
Wajah pria gendut itu pucat. Tangannya gemetar. Entah kenapa seluruh tubuhnya seperti kehilangan tenaga.
Ia tak tahu—saat tubuh Reza menindihnya, beberapa titik saraf vital telah ditekan dengan akurat.
Kemampuan bela diri Reza Sulistiyo tidak ikut mati… hanya berpindah wadah.
Sementara itu, Reza sudah berjalan santai menuju lorong sepi.
Ia menyeringai kecil, lalu berkata lirih,
“Kemampuan mencuriku... ternyata ikut terbawa. Bahkan di tubuh ini, gerakanku terasa lebih gesit.”
Dari balik jaket sobeknya, ia mengeluarkan tiga dompet hasil tabrakan tadi.
Ia memeriksa satu per satu.
“Lumayan... buat nyambung hidup.”
Setelah dihitung, totalnya dua juta rupiah.
Bukan jumlah besar, tapi cukup untuk langkah awal
Reza mengambil dua lembar uang dari dompet—sekitar dua ratus ribu—lalu memasukkan sisanya, satu juta delapan ratus ribu rupiah, ke dalam keresek hitam.
Ia menyelipkan dompet-dompet itu ke selokan sempit, menghilangkan jejak.
Dari kejauhan, matanya mengintip ke arah kerumunan.
Sebuah ambulans baru saja tiba, membawa pria botak sialan itu ke rumah sakit.
Reza menyeringai. “Nikmati efeknya... lama-lama juga lumpuh,” gumamnya.
Ia berbalik, melangkah ke sebuah warung kecil.
Di sana, ia membeli sebatang rokok dan sepena bolpoin murahan.
Lalu, di atas selembar kertas sobekan nota, ia menuliskan dengan huruf rapi:
“Rezeki dari langit... jangan ditolak.”
Reza berjalan pelan ke warung reyot milik pria paruh baya yang tadi dianiaya.
Ia menggantungkan keresek hitam berisi uang di gagang pintu warung.
Lalu mengetuk tiga kali—cukup keras untuk terdengar, cukup cepat untuk tidak ketahuan.
Tanpa menoleh, Reza berbalik dan melanjutkan perjalanannya.
Pria paruh baya itu membuka pintu warungnya dengan ragu.
Matanya tertumbuk pada keresek hitam yang tergantung rapi di gagang pintu.
Ia membuka perlahan… dan terperangah.
Tumpukan uang di dalamnya membuat tangannya gemetar.
Air matanya langsung jatuh membasahi pipi keriputnya.
Ia memeluk keresek itu erat, seolah sedang memeluk harapan yang nyaris padam.
“Mungkin ini dari... konten kreator, Kek,” ucap anak gadisnya pelan, yang tadi hampir direnggut kehormatannya.
Mereka tak tahu—bukan influencer yang datang menolong, melainkan pencuri...
Tapi pencuri beradab.
Itulah sisi lain Reza Sulistiyo.
Seorang penipu, pencuri, sekaligus algojo kelas bawah.
Targetnya hanya orang kaya, koruptor, dan manusia pelit berhati busuk.
Setiap hasil curian, 80% ia bagi pada mereka yang tertindas…
Dan sisanya, 20%, untuk poya-poya: rokok, alkohol, dan perempuan—hiburan masa lalunya yang tak ingin ia lupakan.
Di bawah bayang-bayang temaram lorong kota, Reza berjalan sendirian.
Tangan dimasukkan ke saku, langkah mantap.
“Leon...” gumamnya pelan.
…
Sementara itu, di ruang utama rumah keluarga Baskara, kekacauan memuncak.
Suasana menegang, suara Galih membentak menggema di dinding-dinding dingin.
“Kalian sudah membuat bencana besar dengan membunuh Reza!” teriak Galih, matanya membara, wajahnya merah padam.
Larasati melipat tangan di dada, berdiri tenang tapi sinis.
“Kenapa kamu peduli sekali sama anak haram itu?” katanya tajam, seolah meludah kata-kata.
Galih tertawa pahit.
“Kamu bilang aku peduli? Kalau aku peduli, sejak dulu tak akan kubiarkan seorang pun menyiksa dan menghinanya!”
“Tapi sekarang lain. Ini bukan soal rasa kasihan.”
Laras mendekat, tak suka nada itu.
“Lalu kenapa kamu tiba-tiba perhatian?”
Galih menatap tajam.
“Jangan pura-pura bodoh, Laras. Kamu tahu sendiri soal surat wasiat itu. Kalau Reza mati sebelum umur 25, semua warisan dibekukan. Permanen. Kita tidak akan dapat sepeser pun.”
Laras tersenyum miring. “Tenang saja,” katanya dingin.
“Aku sudah punya orang dalam di pemerintahan. Mereka bisa membatalkan isi wasiat itu. Hanya butuh sedikit tekanan dan beberapa lembar cek.”
Galih menggeleng, mencibir.
“Kamu benar-benar tak tahu apa yang kamu hadapi...”
“Laras... oh, Laras…” Galih mengusap wajahnya, menahan amarah yang hampir meledak.
“Kalau semudah itu, dari dulu juga aku sudah ubah isi surat wasiat itu.”
Laras berdiri angkuh, tangan di pinggang, bibirnya tersenyum meremehkan.
“Kamu aja yang terlalu banyak mikir. Tinggal ganti aja, selesai. Anak pecundang itu juga bisa apa, hah?”
Galih menatapnya tajam. Suaranya meninggi.
“Makanya baca yang benar isi wasiat itu!”
Laras mencibir, tapi Galih melanjutkan dengan nada dingin.
“Kamu tahu nggak kalau kita gagal menjalankan wasiat itu—jika Reza mati sebelum waktunya—hartanya jatuh ke siapa?”
“Ya... paling ke pemerintah lah,” jawab Laras santai, masih tak menyadari bahayanya.
Galih mendekat. Suaranya menekan, tegas, nyaris berbisik.
“Kalau cuma ke pemerintah, aku bisa atur. Tapi ini beda. Jika kita gagal menjalankan wasiat itu maka warisan itu akan jatuh kepada seseorang yang tidak mungkin bisa kita lawan.”
“Siapa lagi tuh?” tanya Laras malas.
Galih menatap lurus ke matanya.
“Bruno.”
Laras mengerutkan kening. “Bruno? Siapa lagi itu?”
“Bruno adalah ketua mafia Naga Hitam. Dia adalah musuh bubuyutan Papah aku, Bruno bertaruh kalau reza tidak akan hidup sampai 25 tahun, kalau reza mati sebelum usia 25 tahun maka seluruh harta ayahku akan jatuh ke Bruno dan gilanya ayahku dia menyanggupi taruhan itu.”
“Kamu tahu, Laras…” suara Galih menurun, dingin dan berat.
“Bagi Bruno, mencabut nyawa itu perkara biasa.
Dan mungkin... kalau bukan harta yang dia ambil besok, maka nyawa kita yang melayang.”
Laras melengos, masih mencoba mempertahankan keangkuhannya.
“Kamu terlalu mengada-ada. Jangan lebay.”
Namun belum sempat Galih membalas, seorang pengawal datang tergesa ke dalam ruangan. Nafasnya memburu, wajahnya pucat pasi.
“Tuan... di depan rumah... ada sepuluh mobil sedan hitam,” lapornya terbata.
“Mereka mengaku sebagai utusan dari Naga Hitam.”
Seisi ruangan mendadak membeku.
Bahkan Laras yang tadi pongah, kini membisu.
Deg.
Jantung Galih berdetak keras.
Punggungnya mendadak dingin.
Tanpa sadar ia melangkah ke jendela, menyingkap tirai perlahan.
Di luar, berderet rapi mobil-mobil hitam dengan kaca gelap terparkir Rapih
Terlalu rapi untuk disebut tamu biasa.