Romance psychological, domestic tension, obsessive love, slow-burn gelap
Lauren Hermasyah hidup dalam pernikahan yang perlahan kehilangan hangatnya. Suaminya semakin jauh, hingga sebuah sore mengungkapkan kebenaran yang mematahkan hatinya: ia telah digantikan oleh wanita lain.
Di saat Lauren goyah, Asher—tetangganya yang jauh lebih muda—selalu muncul. Terlalu tepat. Terlalu sering. Terlalu memperhatikan. Apa yang awalnya tampak seperti kepedulian berubah menjadi sesuatu yang lebih gelap, lebih intens, lebih sulit dihindari.
Ketika rumah tangga Lauren runtuh, Asher menolak pergi.
Dan Lauren harus memilih: bertahan dalam kebohongan, atau menghadapi perhatian seseorang yang melihat semua retakan… dan ingin mengisinya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Penulismalam4, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19_mata yang menatap dalam diam
Pagi itu berlalu seperti pagi-pagi sebelumnya.
Lauren mendorong troli belanja menyusuri lorong supermarket, matanya menatap rak-rak yang tersusun rapi, namun pikirannya tidak sepenuhnya berada di sana. Tangannya meraih kebutuhan mingguan secara otomatis—beras, minyak, sayur, bumbu dapur—semuanya masuk ke troli tanpa benar-benar ia sadari.
Ia berhenti di lorong susu.
Troli terdiam. Lauren berdiri mematung, menatap satu titik kosong di rak pendingin. Bayangan lampu putih supermarket terasa menyilaukan, dan dengungan pendingin terdengar terlalu keras di telinganya.
Pikirannya melayang.
Kembali ke malam itu.
Ke ruangan penuh cahaya.
Ke percakapan yang belum benar-benar ia lepaskan.
—
“Lauren,” suara Pak Surya terdengar tenang, sedikit lebih pelan dari hiruk-pikuk acara. “Bolehkah aku bicara sebentar?”
Lauren mengangguk. “Tentu, Pak.”
Mereka berdiri agak menjauh dari keramaian. Pak Surya menyelipkan kedua tangannya ke saku celana, kebiasaan lamanya saat hendak mengatakan sesuatu yang serius.
“Aku tahu kamu sudah sering mendengar ini,” katanya sambil tersenyum kecil, “tapi perusahaan masih kehilanganmu.”
Lauren tertawa ringan. “Perusahaan berjalan baik tanpa saya.”
“Berjalan, iya,” Pak Surya mengangguk. “Tapi tidak melompat.”
Lauren menoleh, sedikit terkejut.
“Kami sedang melakukan restrukturisasi besar,” lanjutnya. “Dan jujur saja, namamu selalu muncul di daftar diskusi.”
Lauren terdiam. “Sebagai…?”
Pak Surya menatapnya lurus. Tidak ragu. Tidak berputar-putar.
“Ketua pemasaran.”
Lauren membeku.
“Bukan kembali ke posisi lamamu,” tambah Pak Surya tenang, “tapi naik. Lebih besar. Lebih strategis.”
Lauren menggeleng pelan, hampir refleks. “Pak… saya sudah lama meninggalkan dunia itu.”
“Justru itu,” jawab Pak Surya cepat. “Kamu pergi dengan kepala tegak. Kamu tidak gagal. Kamu memilih.”
Lauren menunduk, jari-jarinya saling menggenggam.
“Aku tidak tahu apakah aku masih sanggup,” ucapnya jujur. “Hidupku sekarang berbeda.”
Pak Surya tersenyum lembut. “Hidup selalu berubah, Lauren. Tapi kemampuan tidak pernah benar-benar pergi.”
Ia berhenti sejenak, lalu melanjutkan dengan suara lebih rendah, lebih pribadi.
“Aku tidak menuntut jawaban sekarang. Tidak minggu ini. Tidak bulan ini.”
Lauren mengangkat wajahnya.
“Tapi dengarkan aku baik-baik,” kata Pak Surya tegas namun hangat. “Ketika suatu hari kamu merasa siap—atau ketika kamu merasa perlu kembali menjadi dirimu sendiri—datanglah. Posisi itu menunggumu.”
Lauren menelan ludah. “Kenapa saya, Pak?”
Pak Surya tersenyum, senyum yang sama seperti bertahun-tahun lalu saat ia pertama kali memuji laporan Lauren di ruang rapat.
“Karena kamu tidak hanya bekerja untuk perusahaan,” katanya. “Kamu membangunnya.”
—
“Bu?”
Suara kasir membuat Lauren tersentak kembali ke supermarket.
“Iya, maaf,” katanya pelan, lalu mendorong troli ke kasir.
Saat barang-barangnya dipindai satu per satu, kata-kata Pak Surya kembali terngiang di kepalanya—ketika kamu merasa perlu kembali menjadi dirimu sendiri.
Lauren menerima struk belanja, mengucapkan terima kasih, lalu melangkah keluar. Matahari siang menyambutnya, hangat namun tidak menyilaukan.
Ia berhenti sejenak di depan mobil.
Lauren memegang kunci di tangannya, menatap pantulan dirinya di kaca mobil. Wajah yang sama. Mata yang sama. Namun sesuatu di dalamnya kini berbeda—lebih sadar, lebih terjaga.
Tawaran itu bukan sekadar tentang pekerjaan.
Bukan sekadar jabatan.
Itu tentang pilihan.
Tentang pintu yang masih terbuka.
Tentang kemungkinan untuk kembali berdiri di dunia yang pernah ia bangun—bukan sebagai pelarian, melainkan sebagai dirinya sendiri.
Lauren menarik napas panjang.
Lauren memasukkan kantong belanja ke bagasi mobil satu per satu. Gerakannya rapi, teratur, seperti kebiasaan yang sudah ia lakukan bertahun-tahun. Namun di balik keteraturan itu, dadanya terasa penuh—oleh pikiran, oleh tawaran yang belum ia jawab, oleh perasaan yang belum ia beri nama.
Ia menutup bagasi, lalu bersandar sebentar pada bodi mobil. Napasnya tertahan, lalu dilepaskan perlahan. Udara siang itu hangat, sedikit pengap, dan membuat peluh tipis muncul di pelipisnya.
Ia tidak tahu bahwa dari seberang area parkir, sepasang mata memperhatikannya.
Asher berdiri di dekat deretan motor, helm tergantung di lengannya. Ia baru saja keluar dari minimarket yang sama, membawa satu kantong kecil berisi kebutuhan sederhana. Langkahnya sempat terhenti ketika melihat Lauren—bukan karena ia ingin menyapa, melainkan karena ada sesuatu pada cara Lauren berdiri saat itu yang membuatnya memilih diam.
Lauren terlihat… lelah. Bukan lelah fisik, melainkan lelah yang halus, yang menetap di bahu dan sorot mata. Seolah ia baru saja selesai memikul keputusan besar, lalu meletakkannya tanpa tahu apakah akan mengambilnya kembali.
Asher tidak mendekat.
Ia tahu batasnya. Selalu tahu.
Tangannya mengencang pada tali helm. Ia mengingat dirinya sendiri—aturan-aturan yang ia buat sejak lama: jangan ikut campur, jangan terlalu dekat, jangan menyentuh apa yang bukan milikmu. Aturan yang selama ini menyelamatkannya dari banyak hal… dan mungkin, dari dirinya sendiri.
Lauren mengeluarkan ponsel dari tasnya, menatap layar tanpa benar-benar melihat. Jarinya menggeser layar, lalu berhenti. Ia mematikan ponsel itu dan memasukkannya kembali, seolah percakapan yang baru saja hidup di kepalanya belum siap untuk ia bawa ke dunia nyata.
Asher memperhatikan setiap detail kecil itu—cara Lauren menghela napas, cara bahunya turun sedikit, cara ia menegakkan punggung lagi setelahnya. Ada ketenangan yang dipaksakan, ketegaran yang dilatih terlalu lama.
Ia mengenali bahasa itu.
Bahasa orang-orang yang terbiasa menahan diri.
Seorang ibu dan anak kecil lewat di antara mereka, memutus garis pandang sesaat. Asher mengalihkan pandangan ke arah lain, ke langit yang memantulkan cahaya pucat, ke aspal yang menyimpan panas. Ia mendengar suara mesin mobil menyala—mobil Lauren.
Ketika ia menoleh lagi, Lauren sudah duduk di balik kemudi. Kaca jendela mobil tertutup, memantulkan bayangan yang samar. Asher berdiri di tempatnya, tidak melangkah, tidak mengangkat tangan.
Mobil itu perlahan keluar dari area parkir.
Asher menunggu sampai mobil itu menghilang dari pandangannya sebelum akhirnya menghembuskan napas yang sejak tadi tertahan. Ada perasaan aneh yang menyusup—bukan cemburu, bukan kecewa. Lebih seperti dorongan untuk hadir, ditahan oleh kesadaran bahwa hadir tidak selalu berarti mendekat.
Ia memasang helm, mengaitkannya dengan rapi. Mesin motor menyala, suaranya rendah dan stabil. Sebelum melaju, Asher menoleh sekali lagi ke arah jalan yang tadi dilewati Lauren.
Ia tidak tahu apa yang sedang dipikirkan perempuan itu.
Tidak tahu keputusan apa yang akan diambilnya.
Tidak tahu apakah suatu hari nanti, jarak ini akan menyempit… atau justru semakin melebar.
Yang ia tahu hanya satu:
Untuk saat ini,
ia akan tetap berada di sini—
mengamati, menjaga jarak,
dan tidak melanggar batas yang sudah ia buat sendiri,
meski hatinya perlahan mulai mempertanyakan alasan di balik batas itu.
Motor Asher melaju, meninggalkan area parkir, sementara di tempat lain—di dalam mobil yang bergerak menuju rumah—Lauren masih memikirkan pintu yang kembali terbuka dalam hidupnya, tanpa menyadari bahwa dari kejauhan, seseorang memilih untuk tidak mengetuknya…
belum.
***
Lauren memarkir mobil di garasi dengan gerakan pelan. Mesin dimatikan, kunci diputar, dan untuk sesaat ia hanya duduk di sana, membiarkan kesunyian menyelimuti kabin. Bayangan rak supermarket, suara Pak Surya, dan semua itu masih bergema samar di kepalanya.
Ia menarik napas, lalu membuka pintu mobil.
Satu per satu kantong belanja ia keluarkan dari bagasi. Plastik-plastik itu bergesek pelan, suaranya ringan namun terasa berat di telinganya. Lauren menutup bagasi, berniat langsung masuk ke rumah—sampai langkahnya terhenti.
Pintu depan rumah terbuka.
Arga muncul dari dalam, menyeret koper berwarna hitam yang jarang digunakan. Koper itu tampak penuh; ritsletingnya tertutup rapat, dan di atasnya terikat tas kerja yang biasa ia bawa saat perjalanan dinas.
Lauren membeku sejenak.
“Arga?” panggilnya pelan, hampir ragu.
Arga menoleh. Wajahnya tampak biasa saja—terlalu biasa—seperti seseorang yang sudah menyiapkan kalimat sejak lama. Ia memposisikan koper di samping kakinya.
“Oh, kamu sudah pulang,” katanya. Nada suaranya datar, seolah ini percakapan yang tidak membutuhkan penjelasan panjang.
Lauren menurunkan kantong belanja dari tangannya. “Kamu mau ke mana?”
“Ke luar kota,” jawab Arga singkat. “Ada urusan kantor.”
Lauren mengangguk perlahan, meski di dadanya ada sesuatu yang mengencang. “Berapa lama?”
Arga berpikir sejenak—atau berpura-pura berpikir. “Beberapa hari. Mungkin tiga. Atau empat.”
“Baru dikasih tahu?” tanya Lauren, suaranya tetap lembut.
“Iya. Mendadak,” jawab Arga cepat, lalu menunduk sejenak mengatur pegangan koper.
Lauren memperhatikannya. Cara Arga menghindari tatapannya, cara bahunya sedikit menegang. Semua itu bukan hal baru. Ia hanya… semakin jelas.
“Kamu sudah makan?” tanya Lauren, kalimat yang keluar begitu saja, refleks dari kebiasaan lama.
Arga menggeleng. “Nanti saja di jalan.”
Lauren tersenyum kecil. Senyum yang sopan, terlatih. “Aku baru belanja. Sebenarnya bisa—”
“Tidak usah,” potong Arga. “Aku sudah telat.”
Kalimat itu menutup ruang. Lauren mengangguk lagi.
“Baik,” katanya pelan.
Arga mendorong koper menuju mobil. Sebelum masuk, ia berhenti sebentar. “Aku titip rumah, ya.”
Lauren hampir tertawa mendengar itu. Rumah ini selalu ia jaga—sendiri.
“Iya,” jawabnya. “Hati-hati di jalan.”
Arga mengangguk, lalu masuk ke mobil. Mesin menyala, suara knalpot memecah kesunyian sore. Lauren berdiri di teras, kantong belanja masih di kakinya, memperhatikan mobil itu keluar dari garasi dan melaju menjauh.
Tidak ada pelukan.
Tidak ada kecupan perpisahan.
Tidak ada janji akan menelepon.
Mobil Arga menghilang di tikungan jalan.
Lauren tetap berdiri di sana beberapa detik setelahnya, seolah menunggu sesuatu yang tidak datang. Angin sore berembus pelan, menggoyangkan daun-daun di halaman. Sunyi terasa lebih nyata ketika ia sadar—rumah itu kembali hanya miliknya.
Ia menarik napas panjang, lalu mengangkat kembali kantong belanja.
Saat membuka pintu rumah, Lauren sempat berhenti. Matanya menyapu ruang tamu yang rapi, terlalu rapi. Rumah yang penuh benda, tapi terasa kosong.
Entah kenapa, untuk pertama kalinya, kepergian Arga tidak terasa seperti kehilangan. Lebih seperti… ruang yang terbuka.
Lauren menutup pintu di belakangnya.
Dan di dalam keheningan rumah itu, pikirannya kembali pada dua hal yang tak terduga muncul hampir bersamaan hari itu—
sebuah tawaran untuk kembali pada dirinya yang lama,
dan sebuah kepergian yang mungkin akan mengubah banyak hal.
Ia belum tahu yang mana lebih berbahaya.
Anyway, semangat Kak.👍