Katanya, cinta tak pernah datang pada waktu yang tepat.
Aku percaya itu — sejak hari pertama aku menyadari bahwa aku jatuh cinta pada suami kakakku sendiri.
Raka bukan tipe pria yang mudah ditebak. Tatapannya tenang, suaranya dalam, tapi ada sesuatu di sana… sesuatu yang membuatku ingin tahu lebih banyak, meski aku tahu itu berbahaya.
Di rumah yang sama, kami berpura-pura tak saling peduli. Tapi setiap kebetulan kecil terasa seperti takdir yang mempermainkan kami.
Ketika jarak semakin dekat, dan rahasia semakin sulit disembunyikan, aku mulai bertanya-tanya — apakah cinta ini kutukan, atau justru satu-satunya hal yang membuatku hidup?
Karena terkadang, yang paling sulit bukanlah menahan diri…
Tapi menahan perasaan yang seharusnya tidak pernah ada.menahan ahhhh oh yang itu,berdenyut ketika berada didekatnya.rasanya gejolak didada tak terbendung lagi,ingin mencurah segala keinginan dihati.....
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adrina salsabila Alkhadafi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 20 Penyiksaan di tengah hari
Jendela kamar Luna terbuka sedikit, membiarkan angin sore berhembus pelan. Tapi udara di dalam ruangan terasa berat, sesak oleh janji tak terucapkan yang baru saja memutus panggilan video. Ponselnya, kini gelap, terasa dingin di tangan Luna. Ia masih duduk di tepian ranjang, menatap titik di layar tempat wajah Raka terakhir terlihat.
Raka sudah pergi. Tapi sensasi bibirnya yang menyentuh kaca itu, dan perintahnya yang serak, "Aku akan mencarikan tempat yang lebih privat," masih bergetar di seluruh tubuh Luna. Janji itu bukan lagi sekadar flirting; itu adalah rencana yang matang, sebuah undangan untuk sepenuhnya tenggelam dalam dosa.
Luna meraih hoodie hitamnya, benda yang tiba-tiba terasa seperti relik. Raka menciumnya. Berkali-kali, katanya. Bayangan Raka di kantor, di tengah tumpukan pekerjaan serius, diam-diam menghirup aroma kain yang menyimpan bau dirinya—Luna—adalah fantasi yang gila dan membuat Luna merasa sangat berharga. Ia mendekap hoodie itu. Rasa jijik dan gairah saling bertarung di perutnya.
Aku benci diriku karena aku mendambakan obsesi pria yang sudah menikah.
Namun, kejujurannya yang pahit adalah: ia tidak bisa menolaknya. Cinta terlarang ini, yang dibangun di atas manipulasi dan kebohongan, terasa lebih nyata daripada semua hubungan aman yang pernah ia miliki. Raka telah memberinya sebuah identitas: wanita gila yang diciptakan untuknya. Dan Luna, ia merasa akhirnya menemukan dirinya sendiri dalam kegilaan itu.
Ia bangkit, memaksa dirinya mandi. Bukan untuk membersihkan diri dari kotoran sarapan tadi pagi, melainkan untuk membilas sisa-sisa kegelisahan yang mungkin terbaca di matanya. Ia harus tampil tenang. Hari ini, Raka memberinya tugas: persiapan perang. Dan perang ini dimulai dengan kepura-puraan yang sempurna.
Makan Malam dan Komedi Situasi
Pukul tujuh malam. Aroma masakan Naira—wangi kari yang lembut—menguar dari dapur. Luna menyentuh wajahnya di depan cermin. Ekspresinya harus lembut, sedikit lelah (agar Naira tidak curiga energinya terlalu besar), namun ada kesan resolusi yang baru ditemukan. Seperti seseorang yang baru selesai menangis dan memutuskan untuk bangkit.
Di meja makan, Raka sudah duduk, membaca berita di tablet-nya. Ia mengenakan kemeja biru tua yang sempurna, dasinya rapi. Ia adalah citra suami yang ideal: sibuk, mapan, dan sangat mencintai istrinya. Luna nyaris tertawa. Betapa jeniusnya Raka menyembunyikan iblis di balik kesempurnaan itu.
"Hai, Luna. Sudah lebih baik?" sapa Raka, nadanya santai dan formal. Tidak ada kilatan di mata, tidak ada janji terselubung. Hanya seorang kakak ipar yang perhatian.
"Jauh lebih baik, Mas. Aku minta maaf kalau aku sempat membuat suasana rumah jadi tidak enak," Luna membalas, menjaga nada suaranya agar sedikit rendah dan menyesal.
Naira keluar dari dapur sambil membawa panci kari. "Tuh, Mas Raka bilang juga apa. Luna kuat, kan?" Naira meletakkan piring dan sendok di depan Luna, tangannya menyentuh bahu Luna sekilas. "Syukurlah kamu sudah merasa lebih baik, Sayang."
Makan malam dimulai dengan suasana yang damai, dan itu, bagi Luna, adalah penyiksaan terbesar. Ia harus duduk di sana, mengunyah, mendengar Naira menceritakan detail pekerjaannya, dan melihat Raka sesekali mengelus tangan Naira sebagai tanda persetujuan.
Luna menatap Raka yang sedang mendengarkan Naira dengan wajah penuh perhatian. Tangan itu, yang baru saja memegang tangan Naira, adalah tangan yang beberapa jam lalu ingin memegang leherku, pikir Luna. Kontradiksi ini membuat Raka begitu menarik dan berbahaya.
"Mas, tadi aku sempat kepikiran," kata Naira tiba-tiba, menoleh ke Raka. "Mungkin Luna benar-benar butuh kegiatan di luar. Aku nggak mau dia merasa terisolasi kalau harus di rumah terus."
Luna menahan napas. Itu dia. Naira sudah memulai, berkat sugesti Raka di pagi hari.
Raka meletakkan garpu dengan suara pelan yang menarik perhatian. Ia menatap Naira, tatapan yang dalam dan penuh penghargaan.
"Justru itu yang aku khawatirkan, Sayang. Aku nggak mau kamu merasa punya tanggung jawab berlebihan. Luna sudah dewasa, dia harus punya ruang sendiri," Raka berujar lembut. Ia menoleh ke Luna, dan ada senyum tipis yang hanya Luna yang bisa mengartikannya. "Gimana, Lun? Kamu nggak mau cari kesibukan? Kursus, atau semacamnya? Biar kamu nggak bergantung terus sama Kak Naira."
Kata 'bergantung' itu menohok Luna. Raka tidak hanya ingin menciptakan alibi; dia ingin memastikan Naira merasa lega melepaskannya.
Luna segera menangkap umpan itu. Ia mengangkat bahu dengan ekspresi yang seolah baru terpikirkan. "Aku... nggak tahu harus mulai dari mana. Tapi aku memang suka melukis. Dulu waktu kuliah sempat ambil kelas dasar. Mungkin aku harus cari studio melukis yang bagus?"
"Melukis?" Naira bersemangat. "Ya ampun, kenapa nggak bilang dari dulu? Ada Studio Karsa di dekat kantorku! Itu bagus banget, Mas. Aku bisa daftarin Luna ke sana!"
Raka tersenyum puas, senyum yang mencapai matanya, namun tetap sopan. "Ide bagus, Na. Kamu memang yang terbaik. Tapi biar aku yang urus biayanya. Kamu fokus saja sama pekerjaanmu."
Luna menyaksikan adegan itu dengan campuran kekaguman dan rasa muak. Raka baru saja mendapatkan tiket keluar Luna dari rumah itu, dan dia berhasil membuat Naira merasa dia adalah suami yang suportif dan kakak ipar yang dermawan. Itu adalah manipulasi yang paling elegan.
[Monolog Batin Luna]: Dia adalah seorang ahli strategi. Dia tidak pernah memintaku berbohong secara langsung, dia hanya menciptakan situasi di mana kebohongan adalah satu-satunya pilihan. Dan yang paling gila? Aku mencintai dia karena keahliannya itu.
Jeda Malam yang Mendebarkan
Setelah makan malam, Naira sibuk dengan pendaftaran Luna. Raka, seolah-olah lelah bekerja, pamit duluan ke kamar. Luna naik ke kamarnya sekitar jam sepuluh, jantungnya sudah berpacu kencang. Ia tahu, saat Naira sudah tidur, komunikasi rahasia akan dimulai.
Luna hanya perlu menunggu sepuluh menit. Ponselnya bergetar di bawah bantal. Notifikasi dari aplikasi terlarang mereka.
Raka: Mission accomplished. Tiket keluarmu sudah di tangan. Studio Karsa.
Luna: Aku merasa sangat kotor, Mas. Kak Naira sangat senang.
Raka: Jangan. Kamu melakukan apa yang perlu kamu lakukan. Kebahagiaan Naira adalah selimut penutup yang sempurna untuk kita, Lun. Semakin dia merasa tenang, semakin besar ‘ruang’ yang kita punya.
Raka: Aku sudah mengirimkan detailnya.
Luna membuka lampiran yang dikirim Raka. Bukan jadwal kursus, melainkan sebuah alamat yang ia kenali sebagai kawasan apartemen eksklusif.
Raka: Kamu akan turun tiga blok sebelum Studio Karsa. Aku akan menjemputmu dengan mobil sewa. Jangan pernah datang ke tempat ini dengan taksi online yang terhubung dengan akunmu.
Raka: Dan ini yang paling penting.
Raka mengirimkan gambar kunci apartemen yang sederhana, bernomor, dan tampak baru.
Raka: Aku tidak bisa membiarkan kita bertemu di mobil atau di ruang maintenance lagi, Lun. Aku capek dikejar waktu. Aku sudah menyewa tempat ini. Tempat di mana kita bisa menjadi diri kita yang sebenarnya. Tempat di mana kamu tidak perlu pura-pura lagi.
Luna merasakan dingin menjalar ke seluruh tubuhnya, bukan karena takut, melainkan karena terkejut akan skala keseriusan Raka. Ini bukan lagi perselingkuhan main-main; ini adalah penciptaan kehidupan kedua yang terstruktur.
Luna: Mas... ini terlalu jauh.
Raka: Terlalu jauh? Setelah semua yang kamu katakan tadi pagi, setelah kamu bilang benci bau Naira menempel padaku? Aku melakukan ini untuk kita, Lun. Untuk memastikan sentuhanku adalah sentuhan terakhir yang kamu rasakan sebelum tidur.
Raka: Aku juga mengirimkan alamat di mana kamu bisa mengambil kunci cadanganmu besok pagi. Itu adalah loker di stasiun kereta yang tidak pernah kamu kunjungi. Ambil kunci itu. Simpan baik-baik. Itu adalah kunci menuju kejujuran.
Raka: Aku ingin kamu datang besok. Tepat pukul 14:00. Kamu akan punya tiga jam di sana. Tiga jam yang penuh.
Luna menatap kunci itu. Itu adalah simbol pengkhianatan yang paling nyata, sebuah benda solid yang merepresentasikan kehancuran sebuah rumah tangga.
Monolog Batin yang Melarut:
Kunci. Kunci menuju kebebasan yang paling kotor. Aku seharusnya merasa takut, panik, dan segera memblokir Raka. Aku seharusnya mengirim pesan ke Naira, memperingatkannya. Tapi yang aku rasakan hanyalah rasa penasaran yang mematikan.
Raka sedang menawarkan bukan hanya tubuhnya, tapi juga sebuah tempat di mana aku bisa jujur tentang diriku yang gelap. Sebuah tempat di mana kegilaanku diakui sebagai gairah.
Aku mencintai keahlian Raka dalam memanipulasi, dan yang lebih mengerikan, aku mencintai diri sendiri yang muncul sebagai respons atas manipulasinya.
Dia bilang, dia ingin aku melihat diriku yang sebenarnya. Aku ingin melihatnya juga.
Aku ingin melihat sejauh mana aku sanggup tenggelam.
Penerimaan dan Persiapan
Luna menutup matanya, mengambil napas dalam-dalam. Tidak ada gunanya melawan. Ia sudah memilih sisi ini sejak ia mencium layar ponsel Raka.
Luna: Baik, Mas. Aku akan mengambil kuncinya besok pagi.
Luna: Aku akan datang jam 14:00.
Raka: Gadis baik. Aku tahu kamu akan datang. Karena kamu sama gilanya denganku.
Raka: Jangan lupa hoodie-mu. Itu adalah seragam kita. Aku akan memastikan bau Naira tidak akan pernah menempel padamu lagi.
Pesan terakhir itu mengakhiri perlawanan Luna sepenuhnya. Ia mengakhiri chat itu dan berbaring telentang. Langit-langit kamarnya terlihat seperti kanvas, dan Raka baru saja melukiskan masa depan mereka yang gelap di sana.
Ia tidak bisa tidur. Ia membayangkan setiap detail apartemen itu. Apakah Raka menaruh lilin? Apakah ia memilih seprai berwarna gelap? Apakah ada jendela yang menghadap ke kota, sehingga mereka bisa melihat dunia yang sedang mereka tipu? Detail-detail ini membebani pikirannya, membuatnya bersemangat sekaligus mual.
Ia sadar, Raka sedang menariknya masuk ke dalam labirin yang tidak ada jalan keluarnya. Tapi, ia sudah memutuskan untuk menikmati perjalanannya.
Ia bangun pagi-pagi sekali. Wajahnya terlihat tenang, namun matanya menyimpan api.
Saat Naira mengajaknya sarapan, Luna tampil ceria, membahas dengan detail pilihan cat air yang mungkin ia gunakan di Studio Karsa. Naira tersenyum, lega melihat 'kemajuan' Luna. Raka memperhatikan dari jauh, tidak ikut campur, membiarkan alibi itu menguat dengan sendirinya.
Tepat sebelum Raka berangkat, ia menatap Luna dan berujar, "Aku senang kamu akhirnya menemukan minat baru, Lun. Jangan buang kesempatan ini."
Itu adalah kode mereka. "Jangan buang kesempatan ini" artinya, "Jangan sampai kamu kabur. Ambil kunci itu."
Setelah Raka pergi, Luna segera melaksanakan misi pertamanya. Ia naik sepeda ke stasiun kereta terdekat, stasiun yang memang jarang dilewatinya. Mengambil kunci cadangan dari loker yang ditunjukkan Raka terasa seperti adegan dalam film spionase. Kunci itu terasa dingin dan berat di tangannya, sebuah komitmen yang tidak bisa ditarik kembali.
Ia kembali ke rumah. Di kamar, ia memasukkan kunci itu ke saku terdalam hoodie hitamnya. Ia sudah siap. Ia adalah Luna yang baru—sosok yang jujur pada keinginan tergelapnya, yang diciptakan oleh Raka untuk menghancurkan pernikahan kakaknya.
Aku akan datang, Mas. Dan aku akan melihat diriku yang sebenarnya di sana.
Ia menatap jam. Pukul 11:00. Empat jam lagi menuju kebebasan yang paling beracun.