Hati Nadia pecah berkeping-keping mendengar Asri, sang ibu mertua menyuruh Arkan untuk menikah lagi didepan matanya.
"Kamu kan, juga butuh penerus untuk usahamu. Kalau Bilqis kan, beda. tetap saja bukan darah dagingmu, keponakanmu ya selamanya begitu."
Percakapan di meja makan tiga minggu lalu itu masih jelas terpatri di benak Nadia.
Meski sang suami selalu membela dengan berkata bahwa pernikahan itu bukan tentang ada dan tidaknya keturunan didalamnya, melainkan tentang komitmen dua orang untuk selalu bersama dalam suka dan duka.
Hingga suatu malam Nadia menemukan sesuatu di dalam telepon genggam Arkan. Sesuatu yang membuat dunia Nadia runtuh seketika.
Apa yang Nadia temukan? Lalu bagaimana Nadia menyikapinya?
Lalu bagaimana dengan Dio, yang muncul tiba-tiba dengan segudang rahasia gelap dari masa lalu nya? Mungkinkah mereka saling menabur racun diatas hama? Atau justru saling jatuh cinta?
Ikuti kisah mereka, dalam Kau Berikan Madu, Maka Ku Berikan Racun. 🔥🔥🔥
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Jee Ulya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Surat Dari Pengadilan
Beberapa hari kemudian,
Beberapa berkas yang salah ketik membuatnya hampir tak bisa keluar dari ruangan penuh rak buku itu.
Suara ketukan di pintu ruang kerja, membuat Arkan mengalihkan pandangan sejenak dari tumpukan kertas yang baru ia periksa.
Asisten Rumah Tangga di rumah kediaman Wicaksana ada di balik pintu,
"Masuk," Arkan mempersilakan.
"Maaf, Pak. Ini ada surat buat Bapak." ART itu menyerahkan selembar amplop coklat berstempel Pengadilan Agama Kota.
Dahinya berkerut, Arkan menatap logo timbangan di pojok surat itu, "dari siapa?" suaranya serak nyaris tidak terdengar.
"Kata kurirnya dari pengadilan, Pak," jawab asisten itu hati-hati, lalu segera undur diri.
Arkan membuka surat itu dengan hati-hati, di bagian atas surat itu dengan jelas tertulis,
Panggilan Sidang Pertama: Gugatan Cerai atas nama Nadia Zakiyya binti Abdurrahman Wiratama Terhadap Arkan Wicaksana bin Rahadian Wicaksana.
Jantung Arkan seakan berhenti berdetak, matanya berlari pada kalimat berikutnya.
Diharapkan kehadiran Saudara sebagai pihak tergugat dalam sidang yang akan dilaksanakan pada hari Senin, tanggal 14 November 2025, pukul 09.00 WIB.
Surat itu bergetar di tangannya, ia tidak menyangka Nadia akan benar-benar melakukan ini. Berbagai bayangan penuh penyesalan mulai datang silih berganti, tentang pertama kalinya mereka bertemu, ajakan menikah, lalu janji menjadikannya ratu setelah akad, sampai akhirnya keputusannya menikahi Ayu.
Arkan keluar dari ruangan besar itu, menuruni setiap anak tangga pelan, langkahnya seperti menapak di atas pecahan kaca, sama seperti hatinya yang sakit tanpa berdarah.
Di tengah langkah pelannya, suara detak jam dinding terdengar lebih nyaring dari biasanya. Setiap detiknya seperti menghitung mundur kebahagiaan yang dulu mereka bangun bersama. Udara sore menyesap masuk lewat kisi jendela, membawa aroma kayu tua yang menyesakkan dada.
Ia mencari sosok perempuan yang membuat dirinya dikirimi surat dari pengadilan.
Ternyata, perempuan itu sedang duduk di ruang tengah, berdua dengan sang mertua. Mereka tengah menikmati secangkir teh yang masih mengepul hangat. Dihadapannya monitor besar menampilkan adegan drama fantasi dari negara seberang. Denting cangkir yang saling beradu dengan sendok terdengar samar.
"Nad," Arkan lemah memanggil istrinya dari belakang.
"Hai, Mas. Kenapa kok kusut begitu?" Nadia menoleh, sikapnya santai seakan tanpa beban.
"Nad, maafkan aku. Aku salah." suara Arkan bergetar. Untuk pertama kalinya lelaki itu menatap wajah yang dulu membuatnya berjanji tak akan menyakiti. Tapi di mata Nadia tak ada lagi jiwa, hanya datar dan dingin.
Kata 'maafkan' terdengar lebih ringan daripada dosa yang ia perbuat.
"Ah, sudah aku maafkan, Mas." Nadia mengangkat cangkir teh dan meniup uapnya pelan.
"Tinggal datang aja, jangan lupa bawa pengacara." Lanjutnya ringan.
"Pengacara?" Asri merebut surat dari tangan Arkan.
Nadia membiarkan sang mertua satu-satunya itu untuk membaca isi lembaran kertas itu. Kacamata bacanya sedikit turun, suaranya pecah di tengah kalimat.
"Jadi, ini maksud kamu, bilang terkahir kali merawat Mama?" antara marah dan tak percaya.
"Iya, Ma." Nadia menimpalinya singkat.
"Aku tahu, aku salah, Nad," Arkan memejamkan matanya frustasi.
"Ya, aku juga tahu, Mas," Nadia hanya menirukan ucapan sang suami. Bibir ranumnya tersenyum tipis.
Mereka sibuk terdiam dengan pikirannya masing-masing, hanya ada suara latar dari televisi ditemani hembusan udara dingin dari Ac yang semakin membekukan suasana.
"Okey, jangan kayak gini, kalian pisah rumah. Aku sudah membeli rumah baru untuk Ayu. Biar Ayu keluar dari rumah ini," dari suaranya, Arkan tampak sudah kehilangan akal. Ia belum sempat menunjukkan sertifikat rumah yang sudah dibelinya.
"Wah, inisiatifmu bagus juga, Mas." Nadia mengetuk-ngetuk dagunya pelan,
"tapi, tolong diingat, bukan cuma Ayu yang harus pergi dari rumah ini, kamu, Mama, juga harus keluar."
"Jangan lancang ya, kamu!" Tangan Asri terangkat, udara di sekitarnya ikut menegang. Ia maju hendak menampar Nadia.
"Silakan tampar, Ma. Biar nanti ku tambahkan pada berkas laporan, KDRT!" Nadia memajukan wajahnya. Hembusan napas hangatnya terasa menampar wajah Asri.
"Ini kediaman Wicaksana, rumah Mama!" mata Asri hampir melompat dari tempatnya.
"Sepertinya, Mas Arkan belum memberitahu Mama, ya? Sekarang, ini rumah aku, Ma. Setelah Mas Arkan mendua, sesuai perjanjian yang sudah ditandatangani," balas Nadia datar.
Hening, tidak ada perkataan, selain napas mereka satu-persatu saling berhembus kasar. Gorden di jendela bergerak samar tertiup angin, sangat ironis dengan ketegangan di baliknya.
"Nad," Arkan hendak membuka percakapan.
"Kalian sudah bersama sebelas tahun, jangan seperti anak kecil," Asri memotong.
"Justru Mama lah yang jangan kaya anak kecil, Mama udah hidup selama hampir enam puluh lima tahun. Jangan cuma nyinyir kerjaan Mama, ibadah, Ma. Ibadah!" Nadia membalas mertuanya telak.
"Nad, yang sopan sama Mama!" Arkan sedikit menekan,
"okey, aku datang ke pengadilan!"
Ada jeda yang menggantung di udara. Ruangan luas itu terasa menghimpit dada. Inikah akhirnya?
"Jangan lupa ya, Mas. Perjanjian tujuh puluh–tiga puluh, kita," Nadia mengedipkan sebelah matanya. Mengisi ketegaran batinnya yang hampir habis.
Arkan menyugar rambutnya frustasi.
"Oh, jadi Bu Nadia mata duitan juga?" Ayu tiba-tiba muncul di antara mereka.
"Oh, jelas!" Nadia menegaskan,
"siapa sih, yang nggak tergiur harta satu triliun? Orang demi lima miliar aja, ada kok, yang menghalalkan segala cara, ya, kan?" ujarnya dengan senyum miring.
Tatapannya menusuk Ayu dalam-dalam, cukup untuk membuat perempuan muda itu kehilangan kata.
Ayu terdiam. Giginya saling menempel, gemeretuk samar terdengar darinya. Nadia menang telak.
"Lagian, kamu mau bercerai dengan Arkan. Perempuan mandul seperti kamu, tidak akan ada yang mau menerimamu lagi!" ucapan seakan tanpa dosa itu meluncur bebas dari mulut Asri.
"Mandul?" Nadia mengulangnya pelan, seperti tak percaya pada telinganya sendiri. Tapi matanya tajam menusuk Asri.
"Setidaknya aku tidak berzina!" Nadia membungkam mulut semua orang yang ada di sana.
"Aku bilang, itu kecelakaan!" Arkan mencari pembenaran.
"Kecelakaan mu agak kurang sopan, ya, Mas!" timpal Nadia sinis, jelas menyindir kedua pasangan hasil selingkuh itu.
"Cukup, Nadia! Aku tahu, kamu iri dengan kehamilan Ayu, karena apa yang kamu idamkan tak bisa kamu dapatkan. Benar perempuan mandul sepertimu memang tidak bisa mengerti." Tatapan Arkan berbeda, tidak ada lagi kehangatan yang tersisa dari sebelas tahun pernikahan.
Bahkan, Arkan sudah tidak ragu lagi mengutuk istri yang menemaninya sejak sebelas tahun lalu.
"Layaknya orang berpendidikan aja, mas! Aku tidak bodoh!" ucap Nadia berlalu ke kamarnya.
Di ruang tengah hanya tersisa tiga orang dengan kebisuannya yang lebih bising dari pertengkaran tadi.
jangnlah dulu di matiin itu si ayunya Thor..Lom terkuak Lo itu kebusukan dia ..biar tmbh kejang2 itu si asri sama Arkan kalo tau belang ayu..
dengan itu sudah membuktikan..kalo ternyata ayu bukan hamil anak arkah..hahahahahahahaha..sakno Kowe..