WARNING❗
Cerita ini, buat yang mau-mau saja, TAK WAJIB BACA JUGA
Mengandung banyak Flashback
Banyak nama tokoh dari novel-novel pendahulu mereka
Slow update
Alur lambat
So, yang gak suka silahkan cabut, dan berhenti sampai di sini ❗
⚠️⚠️⚠️
Kenzo akhirnya menerima permintaan sang bunda untuk menikahi putri sahabatnya semasa SMA.
Tapi ternyata gadis itu adalah adik tiri Claudia mantan kekasihnya. Dulu Claudia mencampakkan Kenzo setelah pria itu mengalami kecelakaan hingga lumpuh untuk sementara waktu.
Bagaimana lika-liku perjalanan pernikahan Kenzo dengan Nada? (yang selisih usianya 10 tahun lebih muda).
Di sisi lain, Nada masih terbelenggu dengan potongan ingatan masa kecil yang mengatakan bahwa ibunya meninggal karena mengakhiri hidupnya sendiri.
Apakah itu benar? Atau hanya dugaan semata? Lantas jika tidak benar siapa gerangan yang telah menghilangkan nyawa ibunya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon moon, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Kondisi Claudia
#20
Kletak!
“Apa, Pak?!
Mama Laura menjatuhkan gagang telepon, ketika polisi menghubunginya dan mengatakan tentang kondisi Claudia, yang mengalami kecelakaan tunggal.
Dadanya sesak, tubuhnya sempoyongan karena langkah kakinya tak beraturan. “Seseorang! Siapa saja!” Kepala Pelayan tergesa-gesa mendekati Mama Laura yang kondisinya tak baik-baik saja.
“Nyonya.”
“Hubungi suamiku,” perintah Mama Laura, dengan tangan dingin gemetar.
“Baik, Nyonya.”
Dengan patuh, pelayan tersebut menghubungi Papa Emir, “Ada apa, Pak?”
“Silahkan, Nyonya.” Pak Wira menyerahkan ponselnya ke tangan Mama Laura.
“Pa— C-Claudia— Claudia, Pa!” Mama Laura tak sanggup melanjutkan kalimatnya.
“Bicara yang tenang, apa yang terjadi dengan Claudia?” Papa Emir mencoba bersikap tenang, agar penyakit istrinya tak kambuh.
“Claudia kecelakaan, Pa—” raung Mama Laura.
“Kamu tidak salah dengar?!” Nada suara Papa Emir ikut naik karena terkejut.
“Tidak, Pa— polisi yang menelepon Mama,” raung Mama Laura.
Di seberang sana, Papa Emir dan Aric sedang berada di lapangan Golf. “Ric, Mamamu bilang Claudia kecelakaan, cari informasi sekarang!”
“Apa, Pa?!”
“Cepatlah!”
“B-baik, Pa!”
Tut!
Tut!
Papa Emir menutup panggilan secara sepihak, “Tuan, siapa yang kecelakaan?” tanya salah seorang rekan bisnis Papa Emir.
“Salah satu putriku,” jawab Papa Emir, wajahnya terlihat khawatir sementara Aric masih terus menelepon seseorang guna mencari informasi.
“Di rumah sakit mana?”
“Baiklah, terima kasih.”
Aric kembali menghampiri Papa Emir, “Benar, Pa. Sekarang sudah dibawa ke William Medical Center.”
“Ayo, kita ke sana!”
Papa Emir pun pamit lebih dulu, Aric pun demikian, ia berjalan mengikuti langkah kaki Papa Emir.
•••
Kenzo tiba di rumah sakit dan segera memarkirkan mobilnya di tempat parkir khusus miliknya. Pria itu bergegas lari ke emergency room, karena pasien masih berada di sana.
“Dok.” Salah seorang asistennya menyambut kedatangan Kenzo.
Kenzo bergegas masuk ke emergency room, sambil mendengarkan penjelasan asistennya tentang kondisi pasien pasca kecelakaan. Sebelum masuk ke ruangan khusus, Kenzo menyemprotkan hand sanitizer beberapa kali, kemudian meratakannya di seluruh permukaan tangan.
Langkah kakinya terhenti ketika ia melihat wajah pasiennya, “Dia kah, pasiennya?”
“Iya, Dok.”
Kenzo hanya menghembuskan nafas kasar, tak sempat memikirkan hal yang lain, bahkan ia pun tak bisa menghubungi istrinya untuk menyampaikan berita ini.
Lamunan Kenz buyar ketika dokter di IGD menjelaskan tentang kondisi pasien terkini. Tak menunggu waktu lama, Claudia pun dibawa ke ruang operasi karena ada pendarahan di dalam kepalanya.
Bukan operasi yang singkat jika tentang kepala yang menjadi pusat hidup manusia, jutaan bahkan milyaran syaraf berada di sana. Yang mana syaraf-syaraf tersebut terhubung ke otak, dan otak yang mencerna perintah kemudian menggerakkan organ tubuh yang lainnya, agar selaras dan sejalan dengan keinginan si pemilik tubuh.
•••
Mama Laura hendak pergi ke rumah sakit, ketika tiba-tiba ada yang menghubunginya. Wajahnya mendadak pucat, dan ia menjauh sejenak dari mobil.
“Ada apa lagi?”
Entah dengan siapa ia bicara, yang jelas wajahnya tampak sangat marah.
“Kamu sudah gila!”
“ … “
“Aku sudah memberimu uang banyak bulan lalu.”
“ … “
“Tidak sekarang! Aku harus pergi!”
Mama Laura mematikan panggilan ponselnya, kemudian masuk ke mobil yang akan mengantarkannya ke rumah sakit.
Sepanjang perjalanan ia tampak murung, seperti memikirkan hal yang sangat berat.
•••
Di ruang operasi.
Kenzo dan dua orang asisten dokter yang menemaninya terus berusaha mengeluarkan darah dari kepala pasiennya.
“Dokter, berapa tekanan darah pasien, sekarang?” Tanya Kenzo pada dokter anastesi yang terus memantau monitor.
“Ada di angka 150 per 80, dok. Apakah pendarahannya masih banyak?” Dokter anestesi kembali bertanya.
Kenzo terus fokus pada pekerjaannya, “Pendarahan otaknya masih sangat banyak, darah terus keluar dari dasar tengkoraknya, aku rasa akan sulit menghentikan pendarahan pada pasien.”
Setelah itu tak ada lagi yang berbicara, masing-masing orang yang berada di ruang operasi kembali fokus dengan tugas mereka masing-masing, karena salah sedikit saja, bisa berakibat fatal pada nyawa pasien mereka.
Di luar ruang operasi, Papa Emir baru saja datang, karena perlu waktu cukup lama dari lapangan golf menuju ke rumah sakit. “Bagaimana?”
Mama Laura menggeleng, “Siapa dokter yang menanganinya.”
“Menantu kita, Pa,” jawab Mama Laura, disaat seperti ini dia memanggil Kenz dengan sebutan menantu kita, padahal selama ini ia sama sekali tak menganggap Nada sebagai anak. Padahal di kartu keluarga, nama Nada terdaftar sebagai anak kandung Mama Laura dan Papa Emir.
Tak berapa lama kemudian, Nada datang, ia buru-buru ke rumah sakit setelah Aric mengabarinya. “Kamu! Mau apa ke tempat ini?!”
Nada cukup terkejut, ia tak menyangka akan mendapatkan sambutan luar biasa dari ibu tirinya tersebut. “Ma—” tegur Aric.
Namun Mama Laura tak menghiraukannya, “A-aku— datang karena Kak Aric yang mengabari.” Nada menunduk dengan tubuh sedikit gemetar.
“Kenapa kamu mengabarinya, dia bukan siapa-siapa!” bentak Mama Laura.
“Laura!” suara Papa Emir membuat mereka terkejut, beberapa saat yang lalu, pria itu sedikit menjauh karena menerima telepon. Dan ketika kembali ia melihat istrinya tengah menghardik Nada dengan daya sarkasnya seperti biasa.
“Dia datang untuk menertawakan anak kita, Pa,” adu Mama Laura, tentu saja Papa Emir tak begitu saja percaya, begitu pula dengan Aric.
Nada menggeleng kuat, “Tidak, Pa.”
“Mama jangan berprasangka yang tidak-tidak,” sela Aric.
“Mama tidak berprasangka, Mama mengatakan yang sebenarnya.”
“Yang sebenarnya kalau kamu membenci anakku?!” Hardik Papa Emir, bibir Mama Laura bergetar, wajahnya penuh kebencian ketika ingat pernikahan kedua suaminya, tak lama setelah Aric lahir ke dunia.
“Ric, tenangkan adikmu,” sambung Papa Emir.
“Iya, pa.” Aric segera membawa Nada menyingkir, maksud Nada baik, ingin ikut berempati walau selama ini Claudia tak pernah bersikap baik padanya. Tapi Mama Laura justru mengobarkan bendera perang seperti biasanya.
Beberapa jam kemudian, Kenz keluar dari ruang operasi, pria itu memijat lehernya sendiri, wajahnya juga terlihat lelah setelah berjuang menyelamatkan pasiennya.
“Kenz, Claudia selamat, kan? Hidup, kan?” Mama Laura segera menghampiri Kenzo menggenggam kedua lengannya ketika bertanya.
Kenzo tersenyum tipis tak ada yang bisa menebak apa maknanya, pria itu bergantian menatap wajah keluarga pasien satu-persatu, termasuk wajah istrinya yang juga ada di sana. “Operasinya selesai dengan baik.”
Mama Laura dan Papa Emir mengangguk pelan, namun, masih khawatir dengan apa yang akan Kenzo katakan selanjutnya. “Tengkoraknya retak akibat benturan cukup keras, pendarahan di bagian dalam selaput otaknya pun parah, jadi kami lakukan operasi secepat mungkin.”
“Setelah membuka tengkorak dan menghilangkan darah, pendarahan di bagian yang dibedah tak berhenti juga, sehingga kami butuh waktu lama mengatasinya, tapi operasinya berjalan lancar.”
“Tapi saya tetap harus mengatakan bahwa pendarahan didalam otak tidaklah baik. Otaknya agak membengkak saat ini, jadi tengkoraknya belum bisa ditutup.” Mendengar penuturan Kenzo, Mama laura menangis di lengan Papa Emir.
“Jadi, untuk saat ini, kami hanya menjahit kulit kepalanya tanpa tulang tengkorak, dan operasi penutupan tengkorak akan dilakukan nanti, setelah pembengkakan hilang.”
“Putri kita, Pa. Malang sekali, siapa yang tega menyakitinya, lalu bagaimana dengan keadaan janin dalam kandungannya?” raung Mama Laura.
“Nak, Claudia akan kembali sadar, kan? Iya, kan?” Kali ini Papa Emir yang bertanya, wajahnya menyiratkan sebuah harapan.
Di sisi lain, Aric sedikit curiga pada Kanaka tak segera datang, padahal pria itu tadi sudah mengabarinya lewat pesan singkat.
Hmm, bagaimana kondisi Claudia?
Siapa orang yang menelepon mama Laura?
hmmm siapa kah lelaki yang nabrak pagar? apakah orang suruhan Kanaka itu??
next Thor..