NovelToon NovelToon
Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Revan And Devan - Meaning Of Life (Huang Renjun)

Status: sedang berlangsung
Genre:Ketos / Kehidupan di Sekolah/Kampus / Keluarga / Persahabatan / Anak Lelaki/Pria Miskin / Tamat
Popularitas:516
Nilai: 5
Nama Author: dsparkyu

[Follow dulu sebelum baca ya :)]
Penulis: Sparkyu x Hokuto

Bagi Revan, Devan adalah oksigen yang harus dirinya hirup agar bisa bernafas. Sementara untuk Devan, Revan adalah penopangnya untuk tetap berdiri. Tapi bagaimana jadinya jika salah satu dari oksigen dan penyokong itu ditakdirkan tidak bisa bertahan?



"Rumah gue itu ya lo, Devano Davian Putra". Perkataan Revan tegas namun lembut.

"Meski mama dan papa udah gak ada, gue gak akan berharap punya pengganti mereka, karena bagi gue lo udah cukup menggantikan kedua peran itu. Gue sayang lo Kak. Cukup Revano Ardian Pratama". Devan balas mengenggam tangan itu lembut.


Cerita non baku pertama dari aku~, kalau masih kurang mohon krisarnya ya. Ini juga cerita dengan peran karakterku sendiri

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon dsparkyu, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 18

...[Road to END]...

.... ...

.... ...

Kian terkejut mendengar kalimat yang keluar dari mulut Revan. Sesuatu yang tidak pernah ia pikirkan sebelumnya. Karena Kian tahu dibalik dinginnya Revan, laki-laki itu tidak akan mau melepaskan sesuatu yang sudah berarti baginya. Atau memang persahabatan mereka sudah tidak mempunyai arti untuk Revan.

Raka memang hidup, Revan memang berdiri didepannya, namun kenyataan yang ada sekarang hanya membuat semuanya pahit. Alasan apa yang membuat teman dinginnya ini melakukan semua itu?

"Rev, lo becanda kan?" Tanya Kian, mencoba meredam amarah yang sedang bergemuruh.

Revan menggeleng. "Gua serius, Yan. Ini yang paling baik."

"Alasan apa yang mendasari lo sampai milih kayak gini?" Nada Kian mulai terdengar kesal.

Revan memandang Kian dengan lurus. "Gue gamau kalian terluka lagi karena gua. Gue gamau kejadian Raka keulang lagi."

Kian mengernyit. "Raka?"

"Kalau lo emang tahu, Raka koma karena kecelakaan. Tapi bukan sekedar itu, Raka kecelakaan karena berusaha nolongin Devan yang berantem sama gua." Jelasnya, tersirat ekspresi sedih di wajah Revan. "Raka hampir mati, Yan. Dan itu karena keegoisan gua."

Kian menggeram. "Terus kenapa? Kalau gua di posisi Raka pun, gua bakal lakuin hal yang sama. Karena kita gamau kalau sampai lo harus kehilangan keluarga yang satu-satunya lo punya. Lo harusnya mikir Rev, Raka gakan ngelakuin hal itu kalau dia gak peduli sama lo!"

"Terus apa gua harus kehilangan Raka sebagai gantinya? Kehilangan salah satu dari kalian? Gak, dan gak mau. Kalau emang takdir menggariskan hal itu, gua bakal menghindarinya." Balas Revan.

Kian menggelengkan kepalanya, tak habis pikir dengan Revan. "Lo tuh lebih batu daripada rumahnya patrick di spongebob!"

"Lo ngelihat dari sisi Raka terus, Yan. Coba lo lihat dari sisi gua juga." Ucap Revan yang tak mempedulikan ejekan Kian.

"Minimal lo ngaca Rev, sebelum bilang gitu sama gua." Dia mendecih mendengar kalimat Revan.

Karena kesal mendengar Kian dan Revan, Raka memutuskan untuk menghampiri keduanya. Matanya menangkap raut wajah Revan yang selalu berekspresi dingin itu kini dipenuhi banyak gurat kelelahan.

Raka berbicara diantara mereka. "Lo semua berisik tau gak, malu-maluin gua ke tetangga aja."

"Tapi bocah everest satu ini emang perlu dikasih paham, Ka." Jawab Kian pada Raka.

Raka menghembuskan nafasnya. "Percuma, Yan. Bagi dia, kita udah bukan siapa-siapanya. Hatinya udah mati." Dia memandang lurus pada Revan yang masih tak bergeming. "Mati buat nganggep gua sebagai sahabatnya lagi."

Entah mengapa mendengar perkataan Raka diakhir tadi, hati Revan seperti tertohok. Sebaliknya, Raka sendiri tahu bahwa perkataannya sudah menyakiti perasaan Revan.

"Percuma gue balik kesini kalau pada akhirnya ini yang gua dapet. Fuck! Terserah lo pada mau ngapain. Omongan orang yang bilang persahabatan kita ini mahal semuanya bullshit, dibuang gitu aja kayak sampah ternyata." Ini adalah pertama kalinya mengungkapkan perasaan kesal begini.

Baik Raka maupun Revan, mereka tidak membalas semua kalimat Kian.

Kian mencoba menarik nafasnya. "Gaada satupun dari kalian yang berusaha mempertahankan, baik lo Ka maupun lo, Rev. Kalian berdua sama-sama cuma pengecut."

Tidak ingin semakin kalut dengan emosinya, Kian memilih pergi dan mencari penginapan sementara untuk tinggal. Padahal awalnya dia akan memilih untuk menginap diantara rumah Raka ataupun Revan.

Setelah Kian beranjak, disana hanya menyisakan Raka dan Revan. Keduanya tidak bersuara, terlalu takut untuk mengungkapkan apa yang sedang menghantui pikirannya masing-masing. Revan kemudian masuk ke dalam rumah tanpa undur diri pada Raka.

Ketika memasukki rumah, suasana yang menyambut Revan hanyalah gelap dan sepi. Pemuda jurusan kedokteran itu menyalakan lampunya, dia masih ingat bagaimana dulu suasana rumah ini pernah meriah.

Saat itu kedua orang tuanya masih lengkap, mereka dan adik kembarnya sengaja memberikan kejutan ulang tahun untuknya. Setelah kedua orang tuanya meninggal, ternyata suasana itu masih ada.

Sekitar satu tahun yang lalu, Devan, Raka dan Kian juga memeriahkan hari ulang tahunnya. Padahal Devan juga berulang tahun di tanggal yang sama, Revan sedikit tersenyum mengingatnya. Tapi kini suasananya semakin berubah, bahkan dia sendiri yang mengusir dua diantara mereka. Revan tahu bahwa perubahan itu akan ada, tapi mengapa ini hanya membuatnya sakit?

Pemuda itu berjalan perlahan, seakan menelusuri setiap kenangan yang pernah tercipta. Sampai sudut mata Revan menangkap foto dirinya bersama Raka dan Kian. Kilasan balik masa-masa kecil dan SMA mereka seketika berputar di pikirannya.

...***********...

"Saya gamau jadi ketua OSIS bu, gak sanggup. Tapi saya punya rekomendasi yang bagus! Raka Aditya Wijaya bu! Pinter juga cuma kadang IQ-nya bisa bener-bener di bawah." Revan menjelaskan dengan ekspresi datarnya seperti biasa.

Kalimat Revan membuat satu kelas tertawa, jarang sekali lawakan Revan itu lucu.

Raka mendengus. "Tunggu, tunggu! Kok gua? Terus itu muji apa ngejek, Rev?"

"Itu sepaket, Ka. Muji sekaligus ngejek. " Dibalas dengan tawa keras dari Kian.

Raka menarik nafasnya sebal. "Vote aja bu dari sekelas, siapa yang cocok jadi Ketos antara saya sama Revan. Biar adil."

Guru mereka mengangguk setuju dengan pendapat Raka untuk melakukan voting perwakilan kelas. Namun sayangnya, Raka yang sudah percaya diri tidak terpilih justru malah terpilih sebagi perwakilan untuk menjadi Ketua OSIS.

Alasan mereka tidak memilih Revan kurang lebihnya begini:

'Argh, tadi Revan bilang gak sanggup. Gue gamau pangeran gua kecapean.'

'Husbu gua, kesehatannya harus nomor satu pokoknya. Gak boleh capek-capek.'

'Gak, gak boleh nanti kalau Revano Ardian Pratama jadi Ketos, makin banyak dong saingan gua.'

'Fix si Raka aja sih! Kita harus pilih Raka!'

(Seluruh siswi disana memilih Raka untuk menjadi calon Ketua OSIS)

Raka hanya bisa pasrah dengan keputusan yang berdasarkan musyawarah ini-aslinya nggak. Kian terbahak melihat Raka yang hanya bisa meratapi nasib.

"Oke bu, saya mau jadi calon Ketua OSIS tapi Kian harus jadi wakilnya." Raka menyeringai penuh arti.

Kian terkejut, dan menolak. "Loh kok gua yang kena?!"

"Makanya lo jangan tertawa di atas penderitaan orang lain." Revan yang berbicara sekarang.

Kian menepuk kepalanya sendiri kesal. "Minimal lo pake ekspresi kalau ngomong, kedengerannya makin ngeselin."

Pada akhirnya Raka dan Kian yang terpilih sebagai calon Ketua OSIS dan Wakil Ketua OSIS. Saat bel pulang, entah ada angin apa, Revan mengatakan sesuatu yang membuat Raka dan Kian cukup terkejut.

"Rak...." Ketika Revan memanggil nama depannya, Raka sudah tahu bahwa sahabatnya sejak bayi itu tengah serius.

Raka menanggapi. "Ya, Rev? Tumben amat."

"Ada alesannya kenapa gua milih lo. Meski kadang lo aneh bin ajaib, tapi pemikiran lo bahkan bisa lebih bijak dari gua yang masih sering kekanak-kannakkan. Lo juga cerdas, gua gak sekedar muji tapi emang fakta. Lo lebih cocok jadi pemimpin daripada gua. Gua yakin juga lo adalah seseorang yang bakal ngasih hal yang terbaik buat sekolah ini. Tapi meski gitu, beban lo akan nambah gua tahu. Maka dari itu gua bakal siap jadi bayangan lo, disaat lo butuh apa-apa Rak. Dan Bang Arjun, bakal bangga juga sama lo." Revan tersenyum setelah menjelaskan, senyuman yang jarang ia perlihatkan.

Kian 'kicep', aneh mendengar Revan yang bicara panjang lebar begini. "Rev, kok bisa sih lo se-supportif gini?"

"Ah lo juga, Yan. Wakil harus ada buat ketuanya. Lo harus ingetin Raka kalau dia udah terlalu forsir badannya. Wakil itu bukan cuma sekedar orang yang gantiin tugas Ketua saat gabisa, tapi juga harus bisa menyemangati dan mendorong waktu ketuanya lagi down. Gua juga mau bantu lo." Semakin didengar semakin merinding, tapi kalimat Revan itu memberi kehangatan diantara persahabatan mereka.

Raka mengangguk. "Ya, gua akan lakuin itu. Lo juga harus bisa ngebagi beban lo ke kita."

"Yo'i persahabatan itu adalah saling memahami, mengerti, dan peduli. Kirara forever!" Tiba-tiba Kian berucap dengan semangat.

Raka bertanya bingung. "Kirara apaan dah?"

"Merk santen, Ka." Jawab Revan sekenanya.

Kian memutar bola matanya malas. "Itu kara astaga, Rev. Kirara itu singkatan dari Kian, Raka, Revan. Tiga cogan ganteng..."

".... yang masih jomblo..." Revan malah menyambung.

Raka ikut menyambung. "Kok sakit ya? "

"Sakit tapi tidak berdarah." Kian mendramatisir.

Mereka bertiga saling melihat satu sama lain, diakhiri dengan tawa bahagia yang terdengar dari ketiganya.

...***********...

Nyatanya bukan hanya Revan yang teringat mengenai masa-masa persahabatan mereka. Tapi Raka dan Kian juga tengah teringat hal yang sama. Di berbeda tempat meski terpisah, ketiga sahabat itu memikirkan nasib pertemanan mereka.

Keesokan paginya, Revan terbangun untuk bersiap. Hari ini dia akan bertugas untuk menjaga Devan. Sudah tiga hari belakangan ini dia terlalu merepotkan tantenya, Andrea. Meski terbilang hari ini kegiatan Revan cukup padat karena ada rapat BEM dan hal lainnya, namun Revan tetap kekeh untuk menggantikan Andrea menjaga Devan. Walaupun Andrea sudah membujuk, Revan itu keputusannya tidak bisa diganggu gugat.

Setibanya di kampus, dia disuguhi dengan berbagai materi dasar ilmu-ilmu kedokteran. Kemudian ketika jam pulang, Revan mengikuti rapat BEM yang katanya sedang mengajukan kegiatan 'Makrab'. Ini bukan pertama kalinya Revan memimpin rapat untuk kegiatan tersebut. Semasa SMA dia juga pernah mempunyai peranan sebagai ketua pelaksana, yang didampingi Raka.

"Jadi kita mau ke Lembang aja untuk malam keakraban ini? Spot lain gaada ya?" Tanya Revan kepada semua yang ada disana.

Rafli mengangguk. "Betul Kang, destinasinya kita pikirin biar gak terlalu jauh juga sama Bandung Kota. Soalnya kasian sama mahasiswa yang rumahnya pada jauh."

"Iya, jadi solusinya kita ambil jalan tengah. Maka dari itu, Lembang kita pilih." Lily menambahkan.

Revan mengangguk-anggukan kepalanya, memejamkan mata kemudian berpikir. "Buat konsumsi dan hal-hal lainnya, diputusin untuk bawa masing-masing kan ya jadinya. Jadi mereka cuma bayar buat masuk aja."

"Betul Kang Revan, itu biar mahasiswa gak terlalu banyak keluar uang, dan alhamdulilah-nya proposal kita di-ACC sama kampus. Jadi BEM bakal punya dana tambahan untuk kegiatan ini. Katanya sebagai apresiasi buat para mahasiswa, biar mereka juga bisa refreshing dengan bisa naik wahana-wahana yang ada disana." Rafly menjelaskan kembali.

"Apalagi Kang Revan, pihak kampus juga bilang kalau semisalnya dananya ada sisa bisa masuk buat kas BEM. Kayaknya proposal yang diajuin bagus banget deh, sampai kampus ngelebihin dana pengajuannya." Jesslyn bertepuk tangan gembira.

Lily menyetujui ucapan sahabatnya itu. "Kang Raka ngerjainnya ampe begadang loh. Ketua pelaksana kita emang keren ya."

"Selamet ya Ka, sorry gua gabisa bantu terlalu banyak waktu pengerjaannya." Revan masih kikuk untuk bercengkerama dengan Raka.

Raka hanya membalasnya singkat. "Gapapa, lagian lo juga emang lagi ogah ketemu sama gua kan, Rev."

"Masalah pribadi gakan mungkin gua bawa ke ranah organisasi, Ka." Revan sedikit tidak terima dengan ucapan Raka.

Raka hanya mendecih. "Halah, lagu lama.. "

Suasana disana tiba-tiba berubah menjadi sesak karena perdebatan Revan dan Raka.

"Ek... Ekhemm... " Rafly mencoba memperingatkan.

Revan menyadari kode dari anggotanya itu. "Maaf, kita lanjutin dulu rapat ini sampai selesai ya."

Kemudian rapat dilanjutkan meski masih dengan suasana canggung diantara Raka dan Revan.

Selama dua jam rapat berlangsung beberapa keputusan sudah diambil, jadi yang tersisa hanyalah ekesekusi saat sehari sebelum dan saat hari-H tiba. Pada saat raat selesai, Revan langsung pamit untuk pergi ke tempat kerja paruh waktunya.

...***********...

Sementara itu di rumah sakit, pemuda yang mempunyai perawakan yang sama dengan Revan itu sedang menatap ke luar jendela kamar rawatnya. Pantulan bayangan dirinya yang ia lihat, membuatnya mengeluarkan sebuah senyum hambar.

Wajahnya memang masih mirip dengan Revan, karena identik. Tapi tampilan yang ia lihat sekarang nampak menyedihkan. Pipinya sudah tirus, matanya nampak sayu, dan tubuhnya yang terlihat kurus. Efek dari semua pengobatan yang ia jalani.

Devan tahu keadaannya sekarang tidak bisa dibilang baik-baik saja. Meski berapa kali pun, kakak kembarnya mengatakan tidak, namun Devan tahu, sang kakak bukanlah orang yang pintar berbohong. Namun Devan juga mengakui, sekarang Revan lebih pandai menyembunyikan perasaannya.

Saat masih berpikir demikian, Ardli sang sahabat datang kembali untuk menjenguk. "Gua tahu lo tuh kepedeannya tingkat dewa Dev, ya tapi kalau ngaca jangan sampe segitunya. Kesambet jin ifrit entar."

"Yaelah, dateng-datengnya bukannya nanya gimana keadaan gua, malah do'ain gua kesambet." Devan sudah hafal dengan tingkah laku sahabatnya ini.

Ardli hanya cengengesan mendengarnya. "Justru karena itu, gua harus megucapkan hal yang anti mainstream, biar imun sahabat gua ini tuh naek dan makin sehat."

Devan menanggapinya malas. "Naik imun pala lo peang. Yang ada gua stres kalau beneran dirasukin jin ifrit."

"Mau emang lo? Gua panggil nih." Ucap Ardli seenaknya.

Devan mengeluarkan aura seramnya. "Sebelum lo panggil jin ifrit, gua ritual manggil Raja Iblis dulu khusus buat lo."

"Anjir, segitunya lo Dev. Mana gua bayangin Raja Iblis yang datang itu si Revano. Anying ngeri." Ardli bergedik hanya dengan membayangkannya saja.

Mendengar kata Revan, seketika wajah Devan berubah menjadi sedih. Kakak kembarnya sedang mengalami banyak masalah, namun ia sendiri hanya makin menambah bebannya saja. Devan ingin sekali melihat Revan bahagia di saat-saat terakhirnya.

"Ngomong-ngomong soal Revan, dia lagi berantem ya sama kalian, Ka, Yan?" Devan paling pertama menyadari kalau Raka dan Kian datang berkunjung.

Kian menghembuskan nafasnya keras. "Ah elah kenapa gua musti dateng barengan lo sih."

"Ya, tanya ke diri lo lah. Kok nanya gua. Lagian ngikut mulu lo, Yan." Raka membalas Kian dengan sarkas.

Ardli menggelengkan kepalanya. "Dahlah kalian itu emang 'sejodoh', mau digimanain lagi."

"Najis amat cok, sekalipun gua jadi cewek ogah anjir." Kian panas dingin hanya memikirkannya saja.

"Oh jadi kalau lo cowok, mau?" Raka menyeletuk.

Kian langsung membalas. "Heh, ulekan cabe! Gua juga masih normal, Rakambing. Taubat gue taubat."

"Berisik, atau gua bungkam mulut kalian berdua." Devan sudah tidak tahan dengan perrebatan itu.

Raka dan Kian seketika itu menurut. Anak kembar ini ketika marah tidak ada bedanya. Sampai Devan mengeluarkan pertanyaan yang membuat mereka berdua terdiam, terlebih Raka.

"Kalian lagi berantem kan sama Revan? Atau mungkin Revannya yang sengaja menjauh." Devan menyimpulkan semua keadaan.

Raka menghela nafasnya. "Semua itu karena gua yang kecelakaan sampai koma beberapa hari."

".... kecelakaan itu, maaf Ka gara-gara gua.. " Devan masih mengingat bagaimana itu terjadi.

Raka memotongnya. ".... Kalau lo nyalahin diri lo juga, gua bakal maki lo disini Dev. Inget, gua ngelakuin itu atas dasar kemauan gua sendiri. Karena gua peduli sama kalian berdua. Cuma si kamvret Revan, dia seakan-akan menjadi main character di cerita ini. Merasa dia yang udah ngebikin semuanya gini, sama kayak lo." Raka mengklarifikasi mengapa dia sampai nekad menyelamatkan Devan. "Kita juga gatau bakal ada kendaraan yang remnya blong. Badan gua refleks dorong lo."

Devan mengangguk mengerti. Kakak kembarnya pasti berpikir kalau saja dia tidak bertengkar dengannya, Raka tidak akan sampai berakhir begitu. "Revan itu dingin, tapi hatinya penyayang. Sekali dia sayang sama orang dia bakal ngelakuin apapun. Bahkan gua yakin, Revan rela dibenci sama kalian. Asalkan kalian baik-baik aja."

"Ya, jangan egois dong. Dipikir emang kita mau digituin ama dia? Revan selalu ngelihat dari sisinya, sekali-kali dia juga harus bisa lihat 'pov' dari gua Dev. Gua sahabatan sama dia dari orok, tapi kenapa cuma gua yang nganggep persahabatan ini?" Raka akhirnya mengeluarkan kekesalannya.

Kian mencoba mencerna semua perbincangan yang terjadi. "Kalau gini emang sulit, Ka. Lo tahu sendiri sekeras apa prinsip yang dia ambil. Gabisa diganggu gugat. Meski sebenernya dia malah semakin nyakitin dirinya sendiri."

"Nah itu dia, egois kan? Bete banget gua sumpah ma si Revan." Raut kesal Raka memang tidak berbohong.

Devan menguatkan diri. Sebenarnya dia tidak ingin mengatakan ini kepada mereka.

"Keadaan gua bisa dibilang udah gak baik-baik aja. Di setiap hari ini gua bahkan takut untuk tidur, karena mungkin Tuhan bisa nyabut nyawa gua kapan aja."

Ardli langsung bertanya. "Maksud lo Dev?"

"Tanpa sepengetahuan Revan, gua sengaja nanyain kondisi gua ke dr. Ryan. Dari hasil yang ada, perawatan yang udah gua lakuin sama sekali gaada hasil yang signifikan. Yang ada tiap periksa, kondisi gua semakin turun. Revan udah tahu tentang ini, tapi dia selalu nutupin kegelisahannya dari gua. Gua gak takut sama kematian, tapi gua khawatir dengan keadaannya Revan." Ia mencoba menahan matanya yang mulai berkaca-kaca. "Kalau sampai ketika gua pergi, Revan jadinya cuma sendirian, gua bisa bayangin hal konyol apa yang bakal dia lakuin. Tolong, jaga Revan untuk gua, Ka, Yan. Cuma kalian yang tahu akarnya Revan kayak gimana selain gua. Gua gak punya permintaan lagi ke kalian selain ini. Rangkul Revan, disaat dia kacau kayak gini."

Ardli mendengar bagaimana kalimat yang keluar dari mulut sahabatnya itu penuh dengan nada yang tersayat. "Lo gakan pergi secepet itu Dev, gua bakal pastiin."

"Gua juga mau wujudin harapan lo Dli, gua juga masih mau berjuang." Nada Devan terdengar getir.

Raka terdiam beberapa saat. Revan adalah orang yang belum siap untuk kehilangan lagi. "Kalau gitu meski dia menjauh sekarang, gua bakal tarik Revan dengan paksa supaya balik lagi. Gak peduli dia lawan gua dengan 'seribu pedangnya', bakal gua tangkis dan lawan sama tekhnik yang lebih hebat dari dia."

"Ka, perumpamaan lo bisa lebih sederhana dikit gak?" Kian kurang mengerti penjelasan Raka.

Raka mendengus. "Otak lu aja yang gak nyampe, Yan."

"Gua pengen sehari aja lihat Revan tanpa beban, gak perlu dulu mikirin gua. Gua pengen lihat saudara gua bahagia, tersenyum secara tulus, yang jarang banget dia liatin." Salah satu impian yang ingin Devan wujudkan dalam hidupnya.

Raka mencoba berpikir. "Satu minggu lagi bakal ada makrab dari kampus. Revan emang milih gak ikut, coba nanti lo yakinin dia buat ikut."

"Tapi kalau Revan ikut, lo gakan apa-apa Dev?" Ardli sangat mengkhawatirkan sahabatnya itu.

Devan hanya membalasnya dengan senyum. "Lo mau bantuin gue kan, Dli?"

Yang hanya dibalas dengan anggukan pasrah Ardli.

Tanpa mereka sadari, rupanya Revan sudah berdiri di sana sejak tadi. Namun pemuda berparas dingin itu memilih untuk mendengarkannya dari luar. Apa yang Raka rasakan, apa yang Devan rasakan, dia bisa mendengar semuanya.

Apa benar dirinya terlalu egois atas semua pilihan yang telah ia genggam? Di sisi lain, Revan tak ingin menyakiti mereka, namun pada kenyataan yang terjadi justru sebaliknya.

Tidak ingin kehadirannya disadari oleh yang lain, Revan memilih untuk beranjak sejenak. Dia memilih duduk di bangku taman rumah sakit. Memandang langit malam yang ditaburi bintang. Satu bintang besar menarik perhatiannya, karena dia berbeda tempat sendiri di sisi kiri, sementara tumpukan bintang yang lain berada di sisi kanan. Apakah bintang itu mengisyaratkan tentang kondisinya saat ini?

Setengah jam berlalu, Revan memutuskan untuk kembali ke kamar rawat sang adik. Revan bisa melihat adiknya itu belum tidur padahal sudah waktunya.

"Lo belum tidur, Dev?" Revan bertanya sambil membenarkan gorden yang sedikit terbuka.

Devan mengangguk. "Gua sengaja nunggu lo sih."

"Kenape tumben banget, kangen ya lo sama abang lo yang ganteng ini." Dengan percaya diri Revan menebak.

Devan mendecih. "Cewek-cewek aja yang matanya dah buta sama lo sih."

"Hilih, cewek-cewek tuh bersikap jujur tau gak." Balas Revan tidak mau kalah.

"Sebenernya ada yang mau gua tanyain sama lo belakangan ini." Devan langsung mengungkapkan kalimatnya.

Revan mengambil posisi duduk di atas kursi di sisi kasur rawat Devan. "Tanya aja, kalau gua bisa jawab dapet hadiah gak?"

"Elah, dapet hadiah zonk tapi. Dahlah gua serius. Lo berantem sama Kian dan Raka, terlebih Raka, kenapa?" Akhirnya Devan bertanya.

Revan menghembuskan nafasnya, dia tahu bahwa ini akan ditanyakan. "Kita gak berantem, lebih tepatnya gua yang brengsek. Gua yang milih buat menjauh dari mereka. Gua gak mau lagi kalau salah satu dari mereka malah jadi korban gara-gara gua. Mereka masih punya keluarga, Dev. Masa depan mereka juga harusnya lebih cerah daripada gua."

"Maksud lo, lo madesu? *(masa depan suram)*" Pertanyaan spontan yang keluar dari mulut Devan.

Revan hanya tertawa tipis. "Gua udah cukup bebanin mereka selama ini, terlebih Raka. Gua gak ngerasa berguna bagi dia, Dev. Selama ini dia yang selalu ada buat gua. Lalu gua ngapain ada buat dia, kalau gaada fungsinya?"

"Dan sebaliknya, Raka juga bakal ngerasain hal yang sama dengan sikap lo yang kayak gini." Devan membalikkan ucapan Revan.

"Maksud lo, Dev?" Tanya Revan bingung.

Devan tersenyum mendengar pertanyaan bingung Revan. "Coba lo tanya secara langsung baik ke Raka maupun Kian. Apa yang mereka rasain ke lo, dan apa yang lo rasain ke mereka. Biar salah paham ini gak terus berlanjut. Deeptalk-lah kalian, apalagi Kian sampai rela terbang ke Bandung loh, cuma karena khawatirin lo sama Raka. Sesekali berhenti sok kuat itu gak apa-apa kok Rev."

"Gua terlalu egois ya, Dev?" Tanyanya dengan nada yang lemah.

Devan menggeleng. "Gak kok kalau lo mau lurusin semuanya sama mereka. Lagian betul kata orang-orang, persahabatan kalian itu adalah sesuatu yang mahal." Devan menarik nafasnya, entah kenapa hari ini dia merasa melankolis. "Gua sangat berterima kasih, mau itu ke Raka, Kian dan yang lainnya. Disaat gua gak bisa jagain lo, ada untuk lo, mereka ada dan sigap berdiri di samping lo, Rev. Menguatkan lo yang sebetulnya terluka gara-gara gua juga. Maafin gua ya, Rev."

"Maafin gue? Gak, Dev justru gua yang min.... " Revan tidak melanjutkan kalimatnya karena langsung dipotong oleh sang adik.

"..... minta maaf lagi ya lo, Rev? Udah cukup gue denger kata maaf dari lo, Rev. Lagian ngapain lo minta maaf mulu sama gua? Semua hal yang udah lo lakuin ke gua itu lebih dari cukup. Lo jadi pengganti Mama dan Papa sekaligus buat gua, lo udah rela kerja banting tulang buat gua, lo udah ngelakuin semua hal demi gua. Justru gua yang harusnya minta maaf sama lo, karena udah ngerenggut masa muda lo, ngebiarin lo jadi seseorang yang dipaksa dewasa sebelum waktunya. Lo yang dulu kecilnya lebih cengeng dari gua, sekarang bener-bener berubah. Makasih Rev, makasih karena lo udah ada buat gua, dan maaf atas semua yang terjadi ini." Devan ingin menahannya, tapi sial air mata itu menetes begitu saja.

Revan tau harusnya perasaannya tidak sakit saat mendengar ini, tapi fakta yang dia tahu mengenai kondisi adiknya membuatnya tahu bahwa waktu tidak dapat diminta untuk berhenti. Kehidupan akan terus berjalan sesuai rodanya masing-masing.

"Elah napa jadi melankolis gini. Lo gak perlu minta maaf juga, Dev. Gua ngelakuin semua itu karena adek gua sendiri, satu-satunya keluarga yang gua punya. Gua ikhlas dalam menjalani semuanya. Gua juga gakan maksa dan minta lo untuk berjuang sedemikian rupa, gua mau lo jalanin kehidupan lo dengan senyaman lo, Dev. Maaf gua egois dengan permintaan gua ke lo selama ini." Dia mencoba kuat, Revan sekuat tenaga menahan kepedihan di dalam hatinya.

Devan membalasnya dengan candaan. "Seorang Revano mengakui kesalahannya, apakah dunia sedang gonjang-ganjing?"

"Dasar adik durkambing, jitak pake gunting mau lo?" Balas Revan mengimbangi candaan sang adik.

Devan bergidik. "Kejem amat emang nih kembaran Kim Jong Un satu."

"Kalau gua kembarannya, berarti lo Kim Jong Un-nya dong, Dev." Revan membalikkan ejekan Devan.

Devan mendecih. "Aish, malah senjata makan tuan, gua."

Revan mengacak surai yang sudah mulai menipisi itu. "Udah tidur sana, tar gua diomelin suster lagi. Malah ngajak lo ngobrol. Lo yang ngajak, gua yang tertuduh."

"Nasib lo sih punya wajah kek iblis." Devan tertawa puas.

Untungnya Revan tidak terlalu mendengar. "Hah? Apa lo bilang?"

"Kagak, tadi ada kucing mu kawin. Dah gua tidur. Tidur juga lo Rev, kalau gamau dicintai juga sama mbak Kun." Devan mulai menutup matanya.

Revan hanya tertawa melihat tingkah adik kembarnya itu. Tapi sayangnya Revan tidak tertidur, dia sengaja pergi untuk menemui seseorang pada malam hari. Revan tahu dia masih egois, namun jika harapan sekecil itu masih ada, tidak salah bukan jika dia ingin mencobanya? Walau resikonya juga besar untuknya.

Ya, dia menemui dr. Ryan secara diam-diam. Pembicaraan mereka begitu pelan sampai hampir tidak terdengar apapun. Setelah obrolan yang cukup panjang, Revan keluar dari ruangan dr. Ryan. Tidak ada yang tahu apa yang telah mereka diskusikan sebenarnya.

"Sebentar lagi lo bakal sembuh Dev, maaf gue gabisa lihat lo disaat lo sembuh nanti."

...***************...

Setelah semua yang dilalui hari ini, Revan memberanikan diri untuk menghubungi kedua sahabatnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10 malam, semoga saja kedua makhluk ajaib itu mau menerimanya lagi.

Balasan Revan dapat baik dari Raka maupun Kian. Pemuda yang selalu dicap dingin itu tersenyum, semoga saja dia tidak terlambat untuk memperbaiki semua yang sudah terjadi. Sebelum dia tidak bisa memperbaikinya karena sesuatu.

Suara denting pintu masuk cafe terbuka, menampakkan sosok Raka dan Kian yang datang bersamaan. Revan bisa menyimpulkan bahwa mereka berdua telah akur lebih dulu. Mereka kemudian duduk bertiga secara melingkar. Masing-masing mulai memesan. Sambil menunggu pesanan, Revan mengawali pembicaraan.

"Maafin gua ya, Ka, Yan. Terlebih lo Ka, kata-kata gua beberapa hari lalu emang keterlaluan." Revan menunduk, mengingat bagaimana kejadian itu.

Raka memejamkan matanya. "Sebelum lo minta maaf, gua udah maafin duluan. Tapi yang gua mukul lo, gua gak mau minta maaf. Seenggaknya itu harus bikin lo sadar."

"Anjir lo mukul si Revan? Kok bisa? Ajarin dong." Kian malah membujuk.

Raka mengisyaratkan tidak. "Gaada ye, yang ada lo malah digeprek sama dia, Yan."

"Maafin gua yang terlalu egois selama ini, gua yang gamau denger alesan kalian. Gua yang selalu melihat dari satu sisi. Kalau boleh jujur, Ka, Yan, gua terlalu takut buat kehilangan lagi. Disaat Raka koma, gua bahkan terlalu pengecut buat jenguk dia, kalau bukan karena dipaksa Devan. Gua trauma, trauma gua semendalam itu. Waktu gua tau lo koma karena gua yang berantem sama Devan, seketika kejadian adeknya Haris kebayang lagi di gua. Kejadian Mama dan Papa gua yang kecelakaan, senior Presiden BEM, dan gua yang harus siap-gasiap bakal kehilangan Devan." Kedua tangan Revan mengepal di atas meja. Perasaannya sekarang begitu sesak. "Seolah-olah apapun yang ada dideket gua cuma bakal menghadapi ajalnya. Lebih baik gua yang menjauh dan sendirian, meski gua tahu gua malah nyakitin kalian dan bahkan perasaan gua sendiri sakit buat ngelakuinnya."

Raka memandang sahabatnya itu dengan prihatin. Ini adalah perasaan membuncah yang tengah dipikul oleh Revan. "Maka dari itu Rev, karena gua gamau lo kayak gini, gua bakal selalu berusaha ada buat lo. Menopang lo yang udah gak tahu harus ngeluh ke siapa lagi. Dan lo harus camkan ini, Rev. Kematian seseorang itu udah diatur sama takdir, jangan pernah menyalahkan diri lo sendiri. Semua orang punya jalan hidupnya masing-masing. Lalu satu hal, Rev. Tolong jangan usir gua lagi, sakit hati gua, Rev."

"Lo gausah ngerasa sendirian, Rev. Disaat lo jatuh, lo bingung, lo bisa cari kita. Kita sahabat lo. Jangan pendem semuanya sendiri, meski gua gak bisa ngebantu banyak kayak Raka, gua pengen berguna juga buat lo. Raka, gua pengen ada gunanya juga buat lo, bukan lo doang yang punya pemikiran kayak gitu." Kian ikut menambahkan.

Raka menarik nafasnya panjang. "Kalau lo bilang lo gaada gunanya buat gua, lo salah. Banyak hal yang tanpa lo sadar udah lo lakuin buat gua, buat Kian. Sokongan dari lo adalah hal yang membuat kita maju sampai sekarang. Lo tuh role model nyata buat kehidupan gua."

"Gaakan ada orang yang berani bilang kalau lo tuh gak berguna. Lo adalah seseorang yang kuat, seseorang yang bisa melakukan semuanya ditengah cobaan hidup yang berat." Kian tahu seberat apa takdir yang sedang dijalankan oleh Revan ini.

Revan memandang kedua sahabatnya bergantian. "Kalau gitu, apa kalian mau nerima gua lagi?"

"Itu mah gausah ditanya. Join group lagi buru." Raka menjawab dengan tersenyum.

Revano-jelmaaniblis joined the group via link.

"Kirara gakan lengkap kalau 'ra' yang satunya ilang, malah jadi Kira entar." Dengan sok pintar Kian menjelaskan.

Revan mengernyit. "Kira merk santen?"

"Itu kara elah." Raka membalas.

Kian berteriak heboh. "Anjir, gua merasa deja-vu."

Setelah bercengkerama yang cukup ceria itu, pesanan mereka datang. Akhir yang bahagia untuk ketiga sahabat tersebut. Tapi apakah benar seperti itu? Revan sebenarnya tidak ingin lagi meninggalkan luka untuk mereka, namun dia sudah teguh dengan apa yang dipilihnya.

'Ka, Yan. Gua seneng bisa ketemu kalian dalam kehidupan gua yang awalnya abu-abu ini. Tapi maaf kalau pilihan gua nanti kayaknya gakan pernah bisa kalian maafin seperti sekarang.'

-Revano Ardian Pratama Monologue.

.

.

.

.

.

.

To Be Continue.....

...Hehe ingat jangan lupa vote dan komen ya. Saran, kritik, masukan, dan review kalian...

1
Lourdes zabala
Makin ketagihan.
Earnist_: makasih banyak~
total 1 replies
ALISA<3
Bikin ketagihan deh.
Earnist_: wuah makasih reviewnya
total 1 replies
Sterling
Jleb banget!
Earnist_: hehe thank u kak
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!