“Le, coba pikirkan sekali lagi.”
“Aku sudah mantap, Umi.”
Umi Shofia menghela nafas berkali-kali. Dia tak habis pikir dengan pilihan Zayn. Banyak santri yang baik, berakhlak, dan memiliki pengetahuan agama cukup. Tetapi mengapa justru yang dipilihnya Zara. Seorang gadis yang hobinya main tenis di sebelah pondok pesantren.
Pakaiannya terbuka. Belum lagi adabnya, membuatnya geleng-geleng kepala. Pernah sekali bola tenisnya masuk ke pesantren. Ia langsung lompat pagar. Bukannya permisi, dia malah berkata-kata yang tidak-tidak.Mengambil bolanya dengan santai tanpa peduli akan sekitar. Untung saja masuk di pondok putri.
Lha, kalau jatuhnya di pondok putra, bisa membuat santrinya bubar. Entah lari mendekat atau lari menghindar.
Bagaimana cara Zayn merayu uminya agar bisa menerima Zara sebagaimana adanya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Hania, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aa Tak Bisa Berenang
“Pantai, aku datang,” teriak Zara begitu turun dari mobil. Dia begitu senang. Tanpa mempedulikan Zayn, dia berlari ke tepi pantai. Dia ingin menikmati deru ombak yang berkejaran ke tepian.
“Aa Gus. Ke sinilah!” Zara melambaikan tangan seolah-olah memanggilnya.
Zayn tertawa kecil dan geleng-geleng kepala melihat tingkah laku Zara, seolah-olah baru pertama kali datang ke pantai. Lihatlah, bagaimana kini dia duduk santai di pasir, menunggu ombak datang.
Ah, ada sedikit rasa sesal di dalam dada Zayn. Dia telah salah mengajak Zara ke pantai, sebagai tempat untuk menyegarkan pikiran. Dengan menikmati semilirnya angin pantai dan suara burung camar yang berterbangan di atas laut. Bukan untuk berbasah-basahan, mandi di laut.
Kalau harus berbasah-basahan, dia tak siap. Tapi demi istrinya, tak apalah jika harus berkorban satu set baju lengkap dengan dalaman menemani Zara bermain air. Nanti bisa beli baju ganti di toko yang ada di pinggir pantai. Beres bukan?
Zayn berlari menghampirinya, setelah memastikan mobilnya telah terkunci.
Air yang mulai pasang, tidak menyurutkan keduanya untuk bersenang-senang. Zara berlari mengejar ombak ke kelautan lepas. Dia ingin merasakan terjangan ombak yang tinggi membesar mengguyur tubuhnya.
“Neng, hati-hati. Nanti terseret ombak.”
“Aa Gus Jangan khawatir. Neng bisa berenang.”
Deru suara ombak menelan suara keduanya. Membuat Zayn semakin khawatir. Dia berlari, menyusul Zara. Namun sayang, dia tak secepat ombak yang menghampiri Zara. Tubuh Zara pun menghilang.
“Neng,” panggil Zayn khawatir.
Dia terus ke tengah, mencapai tempat Zara terakhir berdiri. Namun sayang, dia harus roboh dengan tingginya ombak yang menghampirinya.
“Tolong tolong,” teriaknya panik.
Kepala Zayn timbul tenggelam di antara ombak, tangan dan kakinya yang bergerak sembarangan, semakin menyeretnya ke tengah gulungan ombak.
Sampai ada sebuah tangan menarik tubuhnya.
“Aa Gus, tenang ya. Ikuti Zara.”
Dengan sekuat tenaga Zara menarik tubuh yang gempal itu menuju ke tepi pantai. Cukup berat dan merepotkan. Tapi Zara tetap berusaha menolong suaminya. Untung saja ada tali tambang yang sangat kuat terikat pada nyiur di pantai menghampiri mereka.
“Aa Gus, pegang tali ini!” Zara terus membimbing Zayn, berjalan ke tepi pantai dengan bantuan tali tambang.
“Uhuk...uhuk.” Zayn terbentuk batuk dan matanya memerah. Beberapa teguh air laut telah masuk ke dalam kerongkongan serta membasahi matanya.
“Aa Gus. Kalau nggak bisa berenang kenapa ke tengah?” kata Zara agak kesal.
“Aku takut kamu terbawa arus ombak.” Sebuah jawaban yang mungkin membuat Zara akan menertawakan dirinya. Bukan dia yang menyelamatkan Zara. Namun sebaliknya, Zara yang menyelamatkan dirinya.
“Terima kasih Aa Gus, sudah mengkhawatirkan Zara,” kata Zara sambil menahan tawa.
“Baiklah, Zara tidak jadi berenang di pantai. Zara biar di sini saja menemani Aa Gus duduk-duduk,” lanjutnya.
“Maafkan Aa, Neng. Aa tidak bisa berenang.”
“Ini pengalaman pertama ya Aa Gus?”
“Ya, Neng.”
“Nanti kita berlatih renang dulu ya, sebelum tamasya lagi ke pantai. Agar bisa menikmati mandi air laut dengan aman.”
“Sepertinya itu lebih baik. Malu juga kalau selalu ditolong istri. Hehehe...”
“Iya, apalagi badan Aa gemuk . Berat buat Neng.”
“Oke-oke. Nanti Aa akan sempat-sempatkan berolahraga dan juga berenang. Agar tak gemuk-gemuk amat dan Neng makin suka.”
Hahaha... ada-ada saja. Tapi tak apalah kalau dia bertransformasi. Transformasi yang baik agar menjadi lebih menarik di mata istri. Bukankah Zara juga tengah berusaha keras untuk memantaskan dirinya menjadi menantu Bu nyai Umi Shofia.
Baju basah, rambut lepek, kulit pun lepek karena air laut, membuatnya gerah juga.
“Kita mandi dulu, yuk!” ajak Zayn.
“Berdua se kamar mandi?” Zara melotot, memandang Zayn. Dia tentu tidak akan pernah menyetujuinya. Dia tak ingin terjadi sesuatu yang seharusnya terjadi. Seperti yang pernah dia baca di novel-novel. Yang membuat bulu kuduknya merinding.
“Astaghfirullah al adzim, Neng,” ucap Zayn tercekat. Tak sangka istrinya merespons begitu cepat, dengan sesuatu yang tak terduga.
Zara tersenyum.
“Ya nggak gitu juga Neng, malu. Di sini tempat umum. Lagian kita sudah sepakat kan, untuk pacaran dulu. Masak harus berpacaran yang kebablasan. Hehehe...”
“Neng kira...” Zara melirik Zayn dengan ekor matanya. Ada senyuman tipis mengukir bibirnya.
“Ya sudah, ayo!” kata Zara.
“Neng duluan saja. Aa mau beli baju ganti dulu untuk kita berdua.”
“Tidak usah Aa. Aku masih punya baju ganti.”
Zayn tersenyum. Ternyata istrinya seorang wanita yang sederhana. Saking sederhananya, tak suka menumpuk-numpuk baju.
“Oooo...oke,” jawab Zayn singkat. Namun demikian, Zayn tetap ingin membelikan baju untuk Zara.
Sementara Zara menuju ke tempat mandi, Zayn menuju ke penjual toko baju yang ada di sekitar pantai. Dia memilih dua potong baju untuk istrinya. Dan satu potong baju untuk dirinya sendiri.
Setelah melunasi pembayaran ke 3 potong baju tersebut dia pun menuju ke tempat mandi yang sama.
“Neng bajunya aku letakkan di kursi ya. Jangan lupa dipakai?” kata Zayn, lalu dia pergi dari tempat tersebut, tanpa menunggu jawaban istrinya.
Zara terdiam, tak mau menyahutinya. Lagi pula dia telah memakai baju ganti yang telah dia bawa. Dia pun keluar.
Namun saat menatap baju yang telah diberikan oleh suaminya, dia pun berubah pikiran. Dia khawatir akan membuat suaminya kecewa. Apalagi baju itu merupakan warna kesukaannya. Dia kembali masuk ke dalam kamar mandi untuk berganti pakaian.
Pada saat yang sama, Zayn telah selesai membersihkan diri. Dia tersenyum, tak sangka baju pilihannya begitu cantik secantik orang yang memakainya. Apalagi saat Zara berikan komentar atas baju yang dipilihnya.
“Bahannya lembut Aa Gus. Aku suka,” kata Zara tanpa basa-basi.
“Alhamdulillah. Berarti kita sudah sehati,” kata Zayn dengan bangganya.
Uh... Ngegombal lagi. Bisa-bisanya memuji diri sendiri.
Zara tersenyum tipis dengan tingkah laku suaminya yang suka sekali menggodanya, dengan kata-kata yang tak perlu alias ngegombal.
“Eh, Aa Gus. apakah Umi tidak marah kalau kita terlambat pulang?” tanya Zara.
“Biasanya sih marah,” kata Zayn.
“Subhanallah... Benarkah Aa Gus.”
“Tenang saja ada Neng. Aa yang tanggung jawab. Tapi Neng, setoran hafalannya nanti malam, sudah siapkan?”
“Insya Allah sudah, Aa Gus. Kalau Aa Gus tidak percaya, boleh simak sekarang.”
Memang itu yang Zayn mau. Daripada nanti bermasalah hafalannya, lebih baik dia teliti dulu sebelum setor ke umi Shofia. Karena jikalau Zara tidak lancar dan tartil, dia juga yang kena.
“Oke. Kita cari tempat yang nyaman. Bagaimana kalau di bawah batu karang itu?”
“Pilihan yang bagus Aa Gus. Neng suka.”
Sebuah tempat tersembunyi di antara akar pohon yang menjulang tinggi di atas batu karang besar. Berjarak sekitar 50 meter dari mereka berdiri.
Keduanya pun berjalan beriringan menuju tempat itu.
“Di sini saja Neng.” Yordan segera mendaratkan tubuhnya di sebuah batu besar yang ada di bawah batu karang. Zara pun mengikutinya
“Nyaman juga.”
Zara mulai melafalkan apa yang Sudah dihafalnya semalam hingga pagi hari. Ombak yang mulai meninggi dan hembusan semilirnya angin laut yang tenang, seakan ikut mendengarkan bacaan Zara.