NovelToon NovelToon
AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

AKU BUKAN WANITA SHALIHAH

Status: sedang berlangsung
Genre:Dosen / Spiritual / Pernikahan Kilat / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Penyesalan Suami
Popularitas:6.4k
Nilai: 5
Nama Author: ZIZIPEDI

Azam tak pernah menyangka, pernikahan yang ia jalani demi amanah ayahnya akan membawanya pada luka paling dalam. Nayla Azahra—wanita cantik dengan masa lalu kelam—berusaha menjadi istri yang baik, meski hatinya diliputi ketakutan dan penyesalan. Azam mencoba menerima segalanya, hingga satu kebenaran terungkap: Nayla bukan lagi wanita suci.
Rasa hormat dan cinta yang sempat tumbuh berubah menjadi dingin dan hampa. Sementara Nayla, yang tak sanggup menahan tatapan jijik suaminya, memilih pergi. Bukan untuk lari dari kenyataan, melainkan untuk menjemput hidayah di pondok pesantren.

Ini adalah kisah tentang luka, dan pencarian makna taubat. Tentang wanita yang tak lagi ingin dikenal dari masa lalunya.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ZIZIPEDI, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Di Sepertiga Malam

Malam itu, di sepertiga malam terakhir.

Azam dan Nayla terjaga. Di atas sajadah masing-masing, mereka larut dalam dzikir yang tak terdengar, dalam isak yang tak bersuara. Langit Surabaya gelap namun begitu dekat. Seolah malam itu menjadi saksi betapa hati sepasang hamba sedang menyandarkan hidupnya pada satu-satunya pemilik takdir.

Nayla menunduk dalam sujud panjang.

"Ya Allah… Jika kehadiran Humairah dalam hidup suamiku adalah jalan-Mu agar Azam merasakan kebahagiaan yang selama ini tak bisa aku berikan… maka lapangkan lah hatiku. Jangan biarkan aku mencintainya melebihi cinta pada-Mu. Bimbing aku untuk ikhlas tanpa syarat…"

Sementara itu di ruangan lain, Azam pun menengadah tangan. Matanya sembab.

“Rabbi… jika semua ini adalah jalan-Mu, maka tuntun lah hamba-Mu yang lemah ini agar tidak mengambil langkah karena dorongan emosi, tapi karena ridha-Mu. Jangan biarkan aku menjadi suami yang zalim. Dan jika kelak harus ada dua hati yang aku jaga, maka jadikan aku adil dan tetap setia pada cinta yang Kau izinkan.”

Malam itu menjadi malam paling hening, namun paling ramai di langit karena ada doa dua jiwa yang saling mencinta, berjuang dalam diam dan air mata.

Keesokan harinya, di halaman pesantren. Ketika Azam mendekap pada sang abi. Haji Ibrahim menyambutnya dengan tenang dan hanya berkata singkat, “Humairah sedang menyiram bunga di halaman belakang.”

Langkah Azam perlahan menuju halaman. Di bawah naungan pohon melati yang sedang berbunga, seorang gadis muda dengan kerudung biru langit tampak memegang selang air, menyiram tanaman dengan gerakan lembut.

Humairah menoleh ketika mendengar langkah kaki. Sekilas matanya menyapa, lalu kembali menunduk sopan.

“Assalamu’alaikum,” sapa Azam pelan.

“Wa’alaikumussalam, Ustaz Azam,” jawab Humairah dengan suara lembut namun tegas.

Azam tersenyum kecil, kagum pada ketenangan gadis itu. “Nayla banyak bercerita tentangmu.”

Humairah menunduk malu. “Saya… hanya santri biasa, Ustaz. Tidak ada apa-apanya.”

Azam diam sejenak, lalu berkata jujur, “Mungkin ini terasa janggal. Tapi pertemuan ini… adalah bagian dari langkah istikharah yang kami lakukan. Kami tidak ingin ada dusta, tidak ada paksaan. Jika kamu merasa keberatan, kamu berhak menolaknya.”

Humairah mengangkat wajahnya, matanya bening tapi kuat. “Saya tidak keberatan, Ustaz. Tapi saya minta satu hal.”

“Apa itu?”

“Saya ingin menjadi bagian dari rumah tangga yang diridhai Allah. Bukan karena belas kasihan, atau karena diseret oleh takdir. Tapi karena cinta yang tumbuh dari keikhlasan, bukan sekadar pembenaran.”

Azam mengangguk. “Kau tidak akan menjadi pelengkap. Jika Allah menulis takdirmu dalam hidup kami, maka kau adalah amanah yang akan aku jaga dengan penuh hormat, bukan sekadar istri kedua.”

Di antara bunga-bunga melati yang basah oleh embun pagi dan sisa siraman air, ada percakapan suci yang terukir. Tanpa janji manis, hanya ketulusan dan doa yang menggantung di udara.

Senja mulai turun di langit pesantren.

Langit jingga menyelimuti halaman belakang, tempat Nayla dan Humairah kini duduk berdua di atas dipan kayu yang menghadap taman kecil. Angin lembut menyapu kerudung mereka. Tak ada suara selain desir daun dan sesekali cuitan burung yang hendak pulang ke sarang.

Nayla menoleh ke arah Humairah, matanya teduh namun dalam. “Bagaimana rasanya setelah bertemu dengan Azam?”

Humairah menunduk. Ia meremas ujung bajunya pelan, mencoba memilih kata. “Tenang… tapi juga takut.”

“Takut?”

“Takut jika saya nanti tidak cukup baik. Takut jika saya justru menjadi duri dalam cinta kalian. Saya melihat tatapan Ustaz Azam pada Kak Nayla… itu bukan cinta biasa. Itu cinta yang sudah melewati badai besar.”

Nayla menghela napas. Senyumnya samar namun sarat makna. “Humairah, cinta itu bukan tentang siapa yang datang dulu atau siapa yang dicintai lebih besar. Cinta yang tumbuh karena Allah, akan saling menguatkan. Bukan saling membandingkan.”

Humairah menatap Nayla, matanya basah. “Kakak tidak marah? Tidak cemburu?”

Nayla tersenyum tipis, lalu mengusap tangan gadis itu. “Aku pernah jadi wanita yang buruk. Dosa-dosaku terlalu kelam. Lalu Allah memberiku suami seperti Azam. Aku tidak bisa egois. Kalau sekarang aku tidak bisa memberinya keturunan, lalu Allah mempertemukanku denganmu—gadis baik, shalihah, berilmu—lalu apa hakku untuk menolak takdir Allah?”

“Lalu… kalau nanti aku menikah dengan Ustaz Azam, bolehkah aku tetap memanggil Kak Nayla sebagai kakakku?” suara Humairah nyaris seperti bisikan.

Nayla tersenyum lebar, matanya berembun. “Tidak hanya sebagai kakak, tapi sebagai sahabat. Sebagai saudaramu di dunia dan—insya Allah—di surga.”

Mereka saling berpelukan, lama. Di antara haru dan keikhlasan yang begitu murni, dua perempuan yang sama-sama mencintai lelaki yang shalih itu bersatu dalam penghambaan dan cinta yang dibingkai iman.

Malam harinya, di dalam kamar yang hanya diterangi lampu temaram, Azam terduduk lama di atas sajadah.

Pintu telah dikunci, seisi rumah telah tenang. Tapi di dalam dadanya, badai belum juga reda. Ia baru pulang dari pesantren setelah berbicara empat mata dengan ayahnya, Haji Ibrahim. Kata-kata sang ayah masih terngiang—tentang restu Nayla, tentang kesiapan Humairah, dan tentang kelapangan hati yang barangkali tidak semua laki-laki pantas menerimanya.

Di atas meja kecil, secarik surat dari Nayla terbuka.

"Aku mencintaimu karena Allah, Mas Azam. Maka biarlah cinta ini tumbuh dan berkembang dengan cara yang diridai-Nya. Jika aku tidak bisa memberimu keturunan, izinkan aku menghadiahkan seseorang yang bisa menjadi ibu dari anak-anakmu. Aku tidak sedang mengusirmu, tidak juga melepasmu. Aku hanya sedang belajar menjadi kuat untukmu, dan untuk takdir kita."

Azam menutup matanya. Dadanya sesak. Ia menarik napas panjang, lalu bangkit dan keluar kamar, menuju ruang tengah. Di sana, Nayla duduk sendirian sambil membaca Al-Qur'an, wajahnya tenang—seolah tak ada badai yang pernah melukai hatinya.

Azam mendekat. Ia duduk di samping Nayla, tak berkata-kata untuk beberapa saat. Lalu perlahan, suara beratnya terdengar, penuh getar:

“Kenapa kamu selalu lebih kuat dari aku?”

Nayla menoleh. Senyumnya hangat namun matanya berkaca-kaca. “Karena aku mencintaimu dengan cara yang berbeda, Mas. Aku tidak ingin jadi alasan kamu menahan tangis diam-diam setiap kali menggendong keponakanmu. Aku tidak ingin jadi alasan Allah menunda takdirmu sebagai seorang ayah.”

Azam menggenggam tangan Nayla erat. “Aku tidak akan pernah melupakan pengorbananmu ini. Dan kalaupun nanti Allah titipkan seorang anak lewat Humairah, ia tetap akan jadi anak kita berdua, Nayla. Karena ibunya adalah perempuan paling tabah yang pernah aku kenal.”

Nayla tak bisa menahan air matanya. Begitu pun Azam.

Malam itu mereka menangis dalam diam. Air mata yang bukan karena perpisahan, tapi karena cinta yang terlalu dalam untuk dilukiskan. Dan karena iman yang terlalu kuat untuk dikalahkan oleh dunia.

1
Julicsjuni Juni
buat Nayla hamil thorr...buat teman hidupnya.. kasian dia
aku juga 15th blm mendapatkan keturunan
Julicsjuni Juni
hati ku,ikhlas ku belum bisa seperti Nayla... astaghfirullah
Iis Megawati
maaf mungkin ada cerita yg kelewat,merekakan dah berpisah berbulan" ga ada nafkah lahir batin dong,dan bukankah itu sudah trmasuk talak 1,yg dmn mereka hrs rujuk/ nikah ulang maaf klo salah/Pray/
Zizi Pedi: Tidak, secara otomatis tidak terhitung cerai dalam hukum Islam hanya karena suami tidak memberikan nafkah lahir dan batin, karena istri yg pergi dari rumah. Perkawinan tetap berlaku hingga ada putusan cerai dari Pengadilan Agama atau jika suami secara sah menceraikan istrinya. Namun, suami yang melalaikan kewajibannya seperti tidak memberikan nafkah lahir dan batin adalah perbuatan yang berdosa dan dapat menjadi alasan bagi istri untuk mengajukan gugatan cerai. Tetapi dalam kasus Azam dan Nayla berbeda, mereka saling mencintai dan tak ada niat untuk bercerai jadi mereka masih sah sebagai suami istri. Dan talak itu yg punya laki2. untuk pertanyaan kk tentang talak 1. Mereka bahkan tidak terhitung talak kk, karena Azan g pernah mengucapkan kata talak. dan untuk rujuk talak 1 Setelah jatuh talak satu, suami dan istri masih bisa rujuk kembali tanpa harus akad ulang selama istri masih dalam masa iddah. Talak satu disebut talak raj'i, yang berarti suami masih berhak merujuk istrinya selama masa iddah. Jika masa iddah telah habis, maka untuk kembali bersama, mereka harus melakukan akad nikah ulang. TAPI SEBAGAI CATATAN (Azam tidak pernah mengucap talak untuk Nayla, jadi mereka masih sah suami istri meski tanpa menikah ulang.)
total 1 replies
R I R I F A
good... semangat up date ny
Zizi Pedi: terima kasih Kk
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!