Rahmad Ajie, seorang mekanik body & paint di Jakarta, tak pernah mengira hidupnya berubah drastis karena ledakan cat radioaktif. Tubuhnya kini mampu mengeluarkan cat dengan kekuatan luar biasa—tiap warna punya efek mematikan atau menyembuhkan. Untuk mengendalikannya, ia menciptakan Spectrum Core Suit, armor canggih yang menyalurkan kekuatan warna dengan presisi.
Namun ketika kota diserang oleh Junkcore, mantan jenius teknik yang berubah menjadi simbol kehancuran lewat armor besi rongsoknya, Ajie dipaksa keluar dari bayang-bayang masa lalu dan bertarung dalam perang yang tak hanya soal kekuatan… tapi juga keadilan, trauma, dan pilihan moral.
Di dunia yang kelabu, hanya warna yang bisa menyelamatkan… atau menghancurkan.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Spektrum Amarah
Sirene darurat meraung membelah udara. Lampu merah menyala berkedip di seluruh lorong baja fasilitas bawah tanah Altheron.
"SUBJEK WN-13 MELARIKAN DIRI!"
"SEMUA UNIT KE SEKTOR C!"
Ajie berjalan pelan melewati pintu baja yang melengkung ke arah luar, bekas hantaman telapak tangannya yang bersinar ungu pekat. Tubuhnya setengah telanjang, hanya celana tahanan kusut dan kabel-kabel IV putus tergantung di lengannya. Tubuhnya bergetar. Nafasnya berat. Matanya tak lagi seperti manusia.
Warna cat mengalir dari kulitnya seperti keringat. Merah menyala, hijau asam, biru listrik. Lantai jejak warna. Dinding tempat ia lewat meleleh terbakar pelan. Tak ada armor. Hanya tubuhnya. Dan amarah.
Dua penjaga bersenjata mencoba menghadangnya.
Ajie melontarkan tangannya. Cat merah keluar membentuk cambuk tajam, menghantam dada keduanya dan melemparkan mereka ke dinding. Teriakan mereka berhenti saat cat itu meledak seperti lava panas.
Ajie berjalan terus, tak bicara. Tapi dalam dadanya, jeritan masa lalu masih terdengar.
> “Lo harus jadi laki-laki, Ajie!”
“Lo lemah!”
“Gue gak punya anak pecundang!”
Wajah ayahnya. Suara yang menggores jiwa.
Tangannya mengepal. Cat hitam membentuk sarung tangan kental seperti cakar.
Sementara itu, di sisi lain fasilitas...
Melly dan Faisal merayap dalam lorong ventilasi sempit. Di bawah mereka, patroli tentara Altheron berjalan cepat.
“Ajie udah mulai ngamuk tuh,” bisik Faisal.
“Bagus. Biar mereka fokus ke dia. Kita langsung ke ruang kontrol.”
Faisal memutar obeng mini dan membuka panel saluran. Mereka turun ke ruang kontrol cadangan.
Melly menancapkan flash drive ke port komputer. Layar menyala. Sistem mulai diakses.
“Gue cari blueprint fasilitas ini… dan lokasi Ajie.”
Faisal menatap layar yang berkedip. Di peta, sebuah titik merah menyala terang—bergerak cepat ke arah pusat markas.
“Dia… menuju ke reaktor utama?”
“Kalau dia ngamuk di sana, bisa hancur satu gunung,” desis Melly.
Melly menekan mikrofon kecil di telinganya. “Ajie, kalau lo denger ini… tenang. Gue di sini.”
Lorong Besar – Sektor Inti
Ajie melangkah masuk ke ruangan silinder raksasa. Di tengahnya, reaktor energi cair Altheron—tempat mereka mengekstrak kekuatan dari radioaktif cat itu.
Tiba-tiba, dari atas, suara dentuman terdengar.
DORRR!!!
Sebuah siluet meluncur turun dari langit-langit seperti meteor logam. Tanah bergetar. Debu berhamburan.
Ratna—dalam wujud Junkcore—berdiri, mengenakan armornya yang hitam industrial. Lampu merah di dada dan helmnya menyala seperti amarah yang hidup.
“Gue udah bilang, Ajie,” suara robotiknya menggema, “Lo gak bisa kabur.”
Ajie menatapnya, tubuhnya berlumur warna.
“Kali ini… gue gak akan lari,” desisnya.
Dan pertempuran meledak.
Ratna menembakkan proyektil magnetik. Ajie melompat, tubuhnya memuntahkan cat hijau yang membentuk perisai. Ledakan menyebar. Logam melengkung. Dinding meleleh.
Ajie membalas dengan serangan cat biru listrik, menyambar kabel di atap. Spark menyebar, tapi Junkcore melompat maju, menghantam Ajie dengan tangan eksoskeletonnya—membanting tubuh Ajie ke dinding besi.
Ajie mengerang, darah bercampur cat keluar dari mulutnya.
Ratna mengangkatnya dengan satu tangan.
“Lo pikir lo pahlawan? Lo cuma kelinci percobaan gagal.”
Ajie menggertakkan gigi. “Mungkin… tapi gue kelinci yang bisa melawan.”
Dia menyemburkan cat ungu dari dada, ledakan melingkar menghantam Junkcore dan melemparkannya beberapa meter.
Pertarungan brutal itu terus berlanjut. Ajie mulai kehabisan napas. Warna-warna catnya mulai bercampur, tak stabil. Biru jadi abu-abu. Merah jadi coklat. Tubuhnya bergetar.
Ratna bangkit, armor-nya masih utuh.
“Lo gak pernah diajarin bahwa kekuatan harus dikendalikan, bukan dibuang kayak bocah tantrum?”
Ajie tersungkur, tapi menatap tajam.
“Gue baru mulai belajar.”
Di luar ruang reaktor...
Melly dan Faisal berlari menuruni lorong utama. Ledakan terdengar dari kejauhan. Alarm masih meraung.
“Gue dapet lokasi Ajie!” teriak Melly. “Dia lagi bertarung sama Ratna di sektor inti!”
Faisal membuka tas ranselnya. “Lo mau masuk pakai armor, kan?”
Melly mengangguk dan berhenti di balik pintu baja. “Tutupi gue 3 menit.”
“Gue bukan tentara!”
“Tapi lo sahabat gue.”
Faisal menghela napas, mengangkat pistol bius mini dari saku jas lab-nya. “Tiga menit. Abis itu kita balik jadi arang.”
Melly mulai memasang bagian-bagian armor Torque Queen. Bunyi hidrolik, klak-klak logam berpadu dengan degup jantung.
Kembali ke ruang inti…
Ajie terhuyung. Warna di tubuhnya mengalir liar. Dia tak bisa lagi membedakan efek tiap warna. Cat putih menyembur dari matanya seperti kabut.
Ratna menyerangnya lagi, tapi kali ini—CLANK!
Sebuah dentuman menghentikan langkahnya.
“Maaf, Junkcore,” suara berat dan tajam menggelegar dari pintu, “Tapi lo ngelupain satu hal...”
Dari bayang-bayang kabut, Melly muncul, kini dalam bentuk penuh Torque Queen—armor-nya menyala merah karat, mesin berputar di punggungnya.
“Gue gak akan tinggal diam liat temen gue dihancurin.”
Ratna mendengus. “Melly…”
“Nama gue sekarang Torque Queen.”
Dan duel kedua pun akan berlangsung.
Ajie perlahan bangkit, menyaksikan dua wanita itu bertarung.
Satu bertarung demi sistem.
Satu bertarung demi sahabat.
Ia menyentuh dadanya, napas masih terputus. Tapi di sela kekacauan warna dan rasa sakit… sesuatu menyala dari dalam.
Kesadaran.
> “Gue gak bisa biarin mereka terus bertarung karena gue…”
Tiba-tiba, dari belakang… puluhan pasukan tentara bayaran Altheron masuk. Berbaju hitam, bersenjata lengkap.
Faisal yang baru tiba di lorong utama berteriak, “MELLY!!!”
Terlambat.
Granat kejut dilempar. Suara pecah. Cahaya putih.
Ajie yang masih goyah, mencoba menutup mata, tapi…
DOR!
Sebuah tembakan energi menghantam dadanya.
Tubuhnya terpental ke belakang dan jatuh tak sadarkan diri, cat dari tubuhnya mengalir perlahan seperti tinta yang kehilangan nyawa.
Ratna berdiri di atasnya, terengah.
“Target diamankan.”
Pasukan segera mendekat, mengangkat tubuh Ajie yang tak sadarkan diri. Melly mencoba mengejar, tapi puluhan senjata diarahkan padanya.
Faisal berteriak, “MELLY, KITA HARUS KABUR SEKARANG!”
Melly menatap sahabatnya yang jatuh itu. Matanya berkaca-kaca di balik helm.
“Maaf, Jie…”
Dia berlari mundur, meledakkan granat asap dan menarik Faisal masuk lorong samping.
Di belakang, Ajie dibawa pergi.
Tubuhnya tak bergerak. Tapi tetes cat ungu dari telapak tangannya… masih menetes ke lantai. Seolah sesuatu belum benar-benar mati.
Dan pertempuran… masih belum selesai.
Di ruang observasi utama, Director Cain melihat rekaman itu dengan tenang.
“Bawa subjek ke ruang isolasi baru. Kita akan mulai fase terakhir eksperimen.”
Ia tersenyum tipis.
“Sang Paint Man… akhirnya kembali ke tempatnya.”
bersambung....