NovelToon NovelToon
Bunda Untuk Daddy (Tamat)

Bunda Untuk Daddy (Tamat)

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat
Popularitas:18.8M
Nilai: 4.9
Nama Author: saskavirby

pengalaman pahit serta terburuk nya saat orang yang dicintai pergi untuk selama-lamanya bahkan membawa beserta buah hati mereka.

kecelakaan yang menimpa keluarganya menyebabkan seorang Stella menjadi janda muda yang cantik yang di incar banyak pria.

kehidupan nya berubah ketika tak sengaja bertemu dengan Aiden, pria kecil yang mengingatkan dirinya dengan mendiang putranya.

siapa sangka Aiden adalah anak dari seorang miliarder ternama bernama Sandyaga Van Houten. seorang duda yang memiliki wajah bak dewa yunani, digandrungi banyak wanita.


>>ini karya pertama ku, ada juga di wattpad dengan akun yang sama "saskavirby"

Selamat membaca, jangan lupa vote and coment ✌️

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon saskavirby, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

eps 20

Bukan malam minggu, bukan pula malam istimewa, namun tiba-tiba Sandy berinisiatif mengajak Stella sekedar jalan-jalan berkeliling danau, tanpa mengajak Aiden.

Awalnya Stella sedikit terkejut melihat kehadiran Sandy di depan rumahnya, dan mengajaknya keluar dengan alasan badmood, namun meskipun begitu, Stella menyetujui ajakan Sandy untuk jalan-jalan. Karena sebenarnya dirinya juga butuh menghirup udara segar, untuk menjernihkan otaknya yang beberapa hari ini terkuras oleh pikiran-pikiran yang tak semestinya tersimpan.

Keduanya berjalan beriringan mengelilingi danau, sama-sama bungkam, belum ada yang berniat untuk bicara.

Sandy mengarahkan agar Stella duduk di bangku kosong yang tersedia.

"Bagaimana pekerjaanmu, Ste?" ucap Sandy memecah keheningan.

"Baik, aku ada tawaran untuk ikut Jakarta Fashion Week, tapi, entahlah aku belum berminat menerimanya," jawab Stella menoleh Sandy sekilas.

Sandy menyenderkan punggungnya sambil bersila kaki. "Kenapa?"

"Terlalu rumit, aku merasa belum mampu untuk sampai ke sana."

"Kalau belum dicoba, kita tidak akan tahu seberapa kemampuan kita."

Stella menoleh.

"Cobalah dulu, siapa tahu karyamu lebih bisa dilihat dan dinikmati banyak orang, meskipun tidak internasional, tapi ikut berpartisipasi tidak akan membuatmu rugi," tutur Sandy.

"Aku tahu, tapi .." Stella mengangkat bahunya. "Entahlah, biar aku pikirkan dahulu," sambungnya.

Stella menoleh. "Bukankah sebentar lagi Aiden masuk Sekolah Dasar?" tanyanya kemudian.

Sandy mengangguk. "Iya."

"Kau sudah memikirkan sekolah untuknya?"

Sandy menggeleng. "Belum."

"Kau harus mencari sekolah yang benar-benar bagus untuk Aiden. Kondisi sekolahnya, guru-gurunya, materi pelajarannya, kegiatan sekolahnya apa saja, biar Aiden mendapatkan pendidikan yang baik," saran Stella tersenyum.

Sandy ikut tersenyum memandangi Stella, wanita itu begitu peduli dengan anaknya, dia yakin hanya Stella yang pantas menjadi ibu sambung untuk Aiden.

"Bagaimana kalau kau yang mencarinya?"

Stella menoleh. "Aku?" tunjuknya pada diri sendiri.

"Iya, sepertinya kau lebih mengerti tentang itu semua."

Stella menggeleng. "Bukan aku, tapi kalian."

Sandy menaikkan sebelah alisnya.

"Iya, kalian, kau dan Fara," ulang Stella melihat kebingungan Sandy.

Sandy menghela nafasnya. "Sepertinya Fara bukan ibu yang tepat untuk Aiden."

Stella terdiam memperhatikan Sandy.

"Seperti yang kau tahu, Fara belum berpengalaman dalam mengurus anak, aku tidak yakin dia bisa mengurus Aiden dengan baik," tambah Sandy.

'Aku rasa juga begitu,' Stella membathin.

"Beda denganmu, Ste," ucap Sandy membuat Stella tertegun.

"Em, maksudnya?"

Sandy meraih tangan Stella, menggenggamnya, yang membuat Stella semakin terkejut.

"Entah kenapa, aku merasa hanya kau yang pantas menjadi ibu untuk Aiden, kau tulus menyanyangi Aiden."

Stella membeku.

"Aku berharap kau mau menjadi ibu sambung untuk Aiden," ucap Sandy mengelus jemari Stella.

Stella menggigit bibir dalamnya gugup. "Bagaimana dengan Fara?" tanyanya hati-hati.

"Mungkin butuh waktu untuk mengatakan yang sesungguhnya pada Fara, kau tahu 'kan Fara seperti apa?"

Stella mengangguk.

"Kau pasti mengerti, perasaan tidak bisa dipaksa. Begitu pula perasaanku pada Fara tidak bisa dipaksakan," terang Sandy.

Stella masih terdiam, tidak tahu harus merespon bagaimana.

Sandy menatap lekat ke arah Stella, tepat di kedua manik matanya yang jernih, dengan pantulan sinar lampu di sana. Dia mengambil nafas dalam dan menghembuskannya pelan. "Stella, would you be mine?"

Stella melotot terkejut, tubuhnya membeku seakan sulit untuk digerakkan, degupan jantungnya semakin menggila, membuat lidahnya kelu. Suhu tubuhnya berubah dingin, namun keringat justru muncul di telapak tangannya, tanda bahwa dia benar-benar gugup.

Tak kalah berbeda dengan Sandy, pria itu juga nampak gugup menantikan jawaban yang akan diberikan Stella padanya, suhu tubuhnya tak kalah dingin.

Sekelibat bayangan akan Fara yang bergelayut manja pada Sandy muncul, membuat Stella perlahan melepas genggamannya. "Aku butuh waktu, San," ucapnya lirih.

Sandy terdiam, merasa kehilangan saat jemari nan halus itu ditarik. Tak berapa lama kepalanya mengangguk. "Aku mengerti, aku akan menunggu jawabanmu."

***

Jam menunjukkan pukul lima sore waktunya Intan pulang, namun dirinya tak langsung pulang, melainkan menunggu dengan seksama di samping mobil Rega.

Berjalan mondar-mandir menunggu kedatangan Rega, hari ini dia sudah bertekad akan menyatakan perasaannya, tidak peduli akan penolakan yang Rega berikan nantinya.

Rega berjalan menuju mobilnya dan melihat Intan yang mondar-mandir seperti setrikaan. Dia berdehem. "Ehem."

Intan terlonjak kaget. "Astaga, Bapak. Bapak mau bikin saya mati muda?" sungutnya menyentuh dadanya. "Saya belum menikah, Pak, Bapak juga belum jadi suami saya." Intan segera menutup mulutnya sendiri saat sadar akan ucapan nyelenehnya.

Rega terkesiap, kedua ujung alisnya menyatu.

Intan berdehem untuk menetralkan tenggorokannya yang terasa kering. "Pak Rega, aku, eh, saya mau ngomong penting sama Bapak," ucapnya gugup, memilin kedua jarinya.

Rega menyenderkan tubuhnya pada mobil, bersendekap dada dan melipat salah satu kakinya, menantikan apa yang akan dikatakan wanita di hadapannya.

"Sebenarnya, sa-saya suka sama Bapak," cicit Intan gugup.

Rega menegakkan tubuhnya, terkejut dengan ucapan Intan yang to the point menyatakan perasaan suka pada padanya.

"Apa Bapak mau jadi pacar saya?" Intan ragu-ragu mendongak menatap Rega.

Seperti biasa, Rega hanya menatap datar ke arahnya. Intan sudah panas dingin melihat tatapan itu, tangannya meremas jas kerjanya.

Rega menepuk kepala Intan kemudian tersenyum. "Maaf, Intan, saya tidak bisa."

Wajah Intan berubah murung, dia menunduk lesu. "Apa bapak punya pacar?" tanyanya pelan.

Rega menggeleng. "Belum."

Raut wajah Intan berubah cerah, mendongak menatap Rega. "Berarti saya masih ada kesempatan buat deketin Bapak," ucapnya berbinar.

Rega menyernyit.

"Bapak tenang saja, saya akan berusaha membuat Bapak jatuh cinta sama saya." Intan tersenyum memperlihatkan gigi-giginya.

"Saya pergi dulu, calon pacar, dahh," pamit Intan melambaikan tangan, pergi meninggalkan Rega dengan sesekali bernyanyi, seakan tidak peduli dengan penolakan yang baru saja terjadi.

Rega geleng-geleng kepala melihat kegigihan Intan, bahkan masih bisa tersenyum saat cintanya ditolak.

Memang benar-benar gila, pikirnya.

***

Dua hari berikutnya, Intan terus mencoba mengungkap perasaan pada Rega dan meminta Rega agar menjadi pacarnya. Namun nihil, hanya penolakan yang diterimanya.

Dia tak ingin menyerah, sebelum saksi berkata sah, maka dirinya tidak akan berhenti mengejar cintanya. Begitulah kalimat yang selalu jadi point penyemangatnya.

Kegigihan Intan tak luput dari perhatian Rega, sebenarnya dia kasihan dengan wanita itu, seperti mengemis cinta padanya. Tapi apa mau di kata, hatinya hanya tertuju pada Stella.

Bicara soal Stella, dia teringat kegigihan Intan, sebagai wanita saja Intan berani mengungkapkan perasaannya, bahkan meskipun ditolak dia tetap kekeuh. Kenapa dirinya sebagai pria malah pesimis, seharusnya dia juga yakin dan gigih seperti Intan.

Dengan tekad yang kuat dia melangkah menuju butik Stella, dia tidak takut ditolak, yang penting dia sudah mengungkapkan perasaan yang selama ini dipendamnya.

"Rega?" Stella nampak terkejut melihat kedatangan Rega di butiknya hari itu.

"Ste, bisa kita bicara berdua? ini penting!" ucap Rega tanpa basa-basi.

Stella yang bingung hanya mengangguk.

Rega membawa Stella pada sebuah restoran dengan memesan ruang VVIP. Setelah pesanan datang mereka mulai memakannya.

"Kamu ingin bicara apa, Ga?" tanya Stella yang sudah selesai dengan makanannya.

Rega meneguk minumannya. "Aku mau bicara penting, Ste."

Stella terdiam, sepertinya ada hal serius yang akan di ucapkan Rega padanya, terlihat dari ekspresi pria itu.

Rega menatap lekat wanita di hadapannya. "Stella, mungkin aku bukan pria yang romantis, yang bisa membuatmu tersipu saat bersamaku, tapi, aku akan berusaha membuatmu selalu tersenyum saat bersamaku."

Rega menghembuskan nafas pelan. "Aku tidak tahu kapan perasaan ini muncul, yang pasti setiap harinya perasaan ini semakin tumbuh dan berkembang."

Stella terdiam, jantungnya sudah dag dig dug mendengar ucapan Rega, meskipun dia sudah tahu apa yang akan diucapkan Rega selanjutnya, tapi dirinya merasa gelisah.

"Aku tidak mempermasalahkan statusmu sebagai janda, aku sanggup menerima kamu apa adanya."

Rega mengambil nafas, mengeluarkan kotak beludru dari dalam saku jasnya, menekuk lututnya di lantai, membuka kotak itu tepat di depan Stella.

"Will you marry me?"

Stella tertegun, bahkan harus menutup mulutnya karena begitu terkejut akan apa yang Rega lakukan. Rega melamarnya? Tidak, ini tidak seperti yang dia bayangkan sebelumnya. Dia pikir Rega hanya mengungkapkan perasaannya, tapi ternyata lebih buruk dari itu.

Stella terdiam menatap cincin yang disodorkan Rega dan juga menatap Rega dengan keseriusannya. Belum dia menjawab pernyataan Sandy malam itu, dan sekarang, Rega justru melakukan tindakan yang lebih mengejutkan dari Sandy.

Namun, entah mengapa dirinya merasa tidak bahagia, tidak berbunga-bunga, jantungnya tidak marathon seperti saat bersama Sandy, tangannya tidak dingin, hanya tubuhnya yang menegang karena terkejut, tidak ada pula kupu-kupu beterbangan di perutnya.

Dirinya tidak tega untuk menolak Rega, tapi, kalaupun dirinya menerimanya, justru kasihan, karena hanya mendapatkan raga bukan hatinya, dan itu akan semakin melukai Rega dan juga dirinya.

Stella menatap Rega sendu. "Rega, maafkan aku, aku tidak bisa," tolaknya halus nan lembut.

Rega bangkit dari posisinya. "Kenapa Ste? Apa ada pria lain di hatimu?" selidiknya.

Stella terdiam, kemudian kepalanya mengangguk pelan.

Rega menghela nafas, tangannya terkepal. "Apa dia Ayah dari Aiden?" tebaknya.

Stella terkesiap menatap Rega.

"Jawab, Ste?" hentak Rega memegang kedua pundak Stella.

Stella kembali mengangguk.

Rega berdiri, mengepalkan tangannya erat, memejamkan matanya, dan menarik nafas dalam. "Aku kalah," gumamnya tersenyum kecut.

"Maafkan aku, Rega," sesal Stella melihat wajah frustasi dari pria di hadapannya.

*

Rega mengantarkan Stella menuju butiknya, selama di mobil keduanya hanya diam dengan pikiran masing-masing, sampai tak terasa sudah di depan butik. Keduanya keluar dari mobil.

"Stella," panggil Rega.

Stella berbalik. "Iya."

"Apa kita masih bisa berteman?"

Stella tersenyum dan mengangguk. "Tentu."

Rega ikut tersenyum. "Aku boleh memelukmu?"

Stella terkejut.

"Sebagai teman," sambung Rega melihat keraguan Stella.

Stella terdiam sejenak, kemudian mengangguk.

Rega merengkuh tubuh Stella, melepaskan perasaan yang selama ini dipendamnya, walau penolakan yang dia terima, setidaknya Stella masih mau berteman dengannya, dia rasa itu cukup.

Rega semakin mengeratkan pelukannya, menghirup dalam aroma yang mungkin saja tidak bisa dia nikmati lagi.

Stella memukul punggung Rega saat nafasnya mulai sesak karena Rega terlalu erat memeluknya.

"Kau membuatku sesak, Rega," protes Stella setelah pelukannya terlepas. "Kau ingin membunuhku?"

Rega tersenyum mengacak rambut Stella. "Kalau kamu mati, aku akan menyusulmu, Ste," godanya. "Aku akan menemanimu di neraka," imbuhnya terkekeh.

Stella melotot, memukul lengan kekar Rega. "Kamu saja yang di neraka, jangan bawa-bawa aku," protesnya tak terima.

Kemudian keduanya tertawa mendengar kekonyolan mereka sendiri.

Tanpa disadari, seseorang dari balik kaca mobil menyaksikan kegiatan keduanya, tangannya mencengkeram setir kuat, hingga buku-buku jarinya memutih.

"Aku sudah tahu jawabanmu, Stella," ucapnya tersenyum kecut, kemudian berbelok arah meninggalkan tempat.

***

...Jeng jeng jeng...

...11 Januari 2020...

...Saskavirby...

Instagram : @elshaolivia_

1
PANCAWATI PRIHATININGSIH
katanya Sandy CEO
kok milih perempuan kasar bgt nganggep cocok to dia

aneh sich

tp bnyak kok orang yg ga paham dng pilihannya
PANCAWATI PRIHATININGSIH
wong sugih tapi kok
Ervina T
Luar biasa
Nuriati Mulian Ani26
semoga ..rumahnya dibeli sandi
Nuriati Mulian Ani26
wanita hebat dan mandiri..stela
Nuriati Mulian Ani26
keren ceritanya ringan .aku suka alurnya
Kasih Bonda
semangat
iis sahidah
Luar biasa/Good//Good//Good//Good//Good/
iis sahidah
rega laki2 banget
iis sahidah
bunda Stella keren
Tea and Cookies
Luar biasa
Dewa Dewi
😂😂😂😂😂
Dewa Dewi
😂😂😂😂😂😂😂😂
Modish Line
♥️♥️♥️♥️♥️
Modish Line
😂😂😂😂😂😂
Modish Line
bodoh banget
Modish Line
good job Rega👍👍👍👍👏👏👏👏
Modish Line
blm jadi mamanya Aiden udh kaya ema tiri gini kelakuannya ....kalo jadi nikah bakalan abis nih Aiden disiksa sama si Fara gila
Al.Ro
Luar biasa
Ida Haedar
"ini sederhana sesuai porsi ku.. " (sandy) shommboong!!
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!