Arunika terjebak di dalam dunia novel yang seharusnya berakhir tragis.
Ia harus menikahi seorang Dewa yang tinggal di antara vampir, memperbaiki alur cerita, dan mencari jalan pulang ke dunia nyata.
Tapi... ketika perasaan mulai tumbuh, mana yang harus ia pilih—dunia nyata atau kisah yang berubah menjadi nyata?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ryuuka20, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
20. Penyambutan Kehormatan Lima Pangeran
...****************...
Raja Renjana tersenyum hangat begitu melihat Reonans memeluknya tanpa ragu. Ia membalas pelukan itu dengan lembut, lalu menatap ke arah keempat pangeran kecil lainnya yang berdiri tak jauh di belakang Arunika.
"Kakak, selamat datang. Aku senang kakak di sini," ucap Arunika tulus sambil mendekat.
"Anak-anak, beri salam pada Yang Mulia," pinta Arunika lembut.
Kelima pangeran segera mendekat. Reonans tetap di pelukan sang raja, sementara Luciano, Elianos, Lucius, dan Marcus membungkukkan badan kecil mereka serempak.
"Salam Yang Mulia," ucap mereka bersamaan dengan nada polos namun sopan.
Renjana menatap mereka satu per satu, matanya berkaca-kaca. "Kalian semua kuat dan terlahir dengan cahaya. Darah bangsawan, dan aku yakin jiwa para dewa pun hidup dalam diri kalian."
Ia menyentuh kepala masing-masing pangeran dengan penuh kasih, lalu menoleh pada Arunika. "Kau membesarkan mereka dengan baik."
Arunika hanya mengangguk pelan, menyembunyikan air mata harunya. Di tengah ketidakpastian takdir dan alur yang belum selesai, setidaknya hari ini ia melihat secercah harapan.
...****************...
Raja Renjana terkekeh kecil mendengar celoteh para keponakannya. Ia masih menggendong Reonans yang terus memeluknya erat, seolah tak ingin dilepas.
"Reonans, ayo turun. Pamanmu sibuk," bujuk Arunika dengan nada lembut.
Anak laki-laki itu —Reonans— menggeleng cepat dan memandang sang paman dengan mata bulatnya yang penuh harap. "Tidak mau! Paman lihatlah, ibu dari kemarin menggendong Marcus terus, kan aku juga mau digendong."
Lucius yang berdiri di sampingnya menghela napas dan bersedekap. "Dasar tukang adu," gumamnya dengan nada malas, membuat Elianos dan Luciano saling menahan tawa.
"Lucius," tegur Arunika dengan nada menenangkan, walau senyum geli tak bisa ia sembunyikan.
Renjana mengusap kepala Reonans dan tertawa. "Biarlah, biarlah. Hari ini Paman milik kalian. Ayo, siapa yang mau giliran setelah Reonans?"
Kelima pangeran langsung serentak mengangkat tangan. Arunika hanya bisa memijat pelipisnya, sementara Renjana memandang mereka dengan rasa bahagia yang sulit diucapkan—keluarga ini, meski lahir dari takdir yang rumit, kini terasa hangat dan utuh.
...****************...
Suasana istana begitu ramai, para pelayan dan bangsawan lalu lalang mempersiapkan segala sesuatu untuk acara besar esok hari — Penyambutan Kehormatan Lima Pangeran dari Darah Bangsawan. Kain-kain sutra terbaik digantungkan, musik keraton dilatih ulang, dan bunga langka dikirim dari pelosok kerajaan. Semua bersinar untuk menyambut lima anak yang menjadi harapan kerajaan.
Di balik semarak itu, ada bisik-bisik yang tak bisa diabaikan. Rakyat mulai membicarakan desas-desus: kelima pangeran adalah keturunan para dewa. Dan jika itu benar, maka masa tinggal mereka di bumi hanya sementara. Kahyangan akan memanggil kembali darah suci itu—menarik mereka menjauh dari dunia fana dan pelukan seorang ibu.
Arunika berdiri di balkon kamarnya, menatap langit senja yang berwarna jingga pucat. Angin lembut menyentuh rambutnya, namun hatinya terasa berat.
"Apakah aku hanya diberi waktu sebentar dengan mereka?" gumamnya lirih.
Pangeran Pertama mendekat pelan dari belakang, memeluknya lembut. "Kau mendengarnya juga, ya?"
Arunika mengangguk pelan. "Aku takut, Mark. Takut kehilangan mereka. Mereka masih begitu kecil bagaimana mungkin aku harus melepas mereka ke dunia yang tidak mengenal rasa pelukanku?"
Pangeran Pertama menatap langit bersama istrinya. "Tapi darah para dewa juga mengalir karena cinta kita. Dan cinta, Aru bisa menahan mereka tetap di sini, selama mereka memilih untuk tinggal."
Arunika menatapnya, berharap kata-kata itu benar. Tapi dalam hatinya, ia tahu, jika kahyangan benar-benar memanggil—ia harus siap memilih: mempertahankan, atau merelakan.
Arunika termenung di antara gemerlap istana dan sorak-sorai rakyat yang menyambut para pangeran kecil. Dalam senyum dan tawa, ia menyembunyikan sebuah rasa asing yang lama tak ia sentuh: kerinduan pada dunia asalnya. Dunia nyata yang dulu ia keluhkan karena lelah bekerja, tidur tak cukup, dan mimpi pun datangnya tak tentu arah—kini justru terasa seperti mimpi yang jauh, sulit dijangkau.
Ia ingat betul rutinitasnya: bangun, bekerja, makan terburu-buru, lalu tidur dalam kelelahan. Ia bahkan sering bekerja didalam mimpinya, dan ketika bangun pun tubuhnya masih menjerit lelah. Tapi saat itu, Mark selalu ada—menyodorkan kopi hangat, pesan suara singkat, atau candaan bodoh yang bisa membuat hari berat jadi terasa ringan. Kini, ia punya Mark versi lain: Pangeran Pertama. Tapi ini dunia yang berbeda, kehidupan yang tak pernah ia rancang.
"Aku hanya ingin pulang," bisik Arunika pelan, hampir tak terdengar oleh dirinya sendiri.
Tiba-tiba, suara kecil yang ia kenal memanggil.
"Ibuuu lihat, aku bisa lompat tinggi!" seru Pangeran Reonans dengan riang, diikuti tawa saudara-saudaranya yang berlarian mengejar kupu-kupu sihir di taman istana.
Arunika tersentak dari lamunannya. Ia melihat ke bawah, ke gaun cantik yang masih membalut tubuhnya. Gaun itu bukan miliknya di dunia nyata. Tapi suara anak-anak itu… mereka adalah kenyataan yang kini paling nyata untuknya.
Dengan senyum lirih, ia membuka lengannya, menyambut kelima pangerannya yang berlari mendekat.
Mungkin, untuk sekarang, pulang bukan tentang tempat—melainkan tentang siapa yang bersedia memanggilmu "ibu" dengan sepenuh hati.
Pagi itu, sinar mentari menyinari halaman istana Sandyakala yang sudah dihias megah dengan bunga-bunga langka dan kain kerajaan berwarna biru keemasan. Para rakyat berdiri di sisi jalan utama, menunggu dengan antusias. Ini adalah hari istimewa: Penyambutan Kehormatan bagi lima pangeran kecil dari darah bangsawan.
Arunika dan Pangeran Pertama berdiri di sisi altar kerajaan dengan senyum bangga. Di hadapan mereka, kelima pangeran kecil—Luciano, Elianos, Reonans, Lucius, dan Marcus—duduk manis di pelukan para pengasuh, masing-masing memakai pakaian adat kerajaan lengkap dengan jubah mungil dan mahkota kecil yang hanya menempel setengah di kepala mereka.
"Lihat, mereka sangat tampan seperti ayahnya," bisik Arunika pelan sambil menepuk lembut punggung Marcus yang duduk di pangkuannya.
Para bangsawan dan rakyat memberikan tepuk tangan meriah ketika nama-nama mereka disebut satu per satu. Reonans melambai dengan semangat meski harus dibantu pengasuhnya, sementara Lucius memasang wajah malas seperti biasa. Luciano tersenyum lebar, Elianos sibuk memainkan jubahnya, dan Marcus mencoba berdiri sendiri dengan langkah kecil namun masih goyah.
Di balik semua kegembiraan ini, tetap ada keganjilan yang menggantung di udara. Raja Sakha belum juga muncul. Tak ada pengumuman resmi, hanya bisik-bisik yang menyebar: sang raja masih belum ditemukan.
Hari itu, rakyat tetap bersuka cita, menyambut para pangeran dengan doa dan harapan. Merekalah masa depan Sandyakala. Meski kecil, mereka sudah membawa cahaya baru bagi kerajaan yang lama diliputi ketidakpastian.
Suasana yang semula penuh suka cita seketika berubah menjadi kepanikan massal. Dentuman itu menggema seperti gelegar dari langit, membuat burung-burung terbang berhamburan dan dekorasi penyambutan jatuh berserakan. Tanah bergetar hebat, seolah sesuatu yang sangat besar tengah bangkit dari perut bumi.
Arunika memeluk Marcus erat-erat, sementara keempat anak lainnya segera digendong oleh para pengasuh dan prajurit kepercayaan.
"Arunika! Bawa anak-anak pergi ke ruang bawah tanah istana! Sekarang!" seru Pangeran Pertama dengan nada tegas. Ia sudah menghunus pedangnya dan memberi isyarat pada para pengawal kerajaan untuk membentuk barisan penjaga.
"Cepat! Lindungi para pangeran kecil!" teriak salah satu komandan pasukan kerajaan.
Arunika, dengan langkah cepat dan dada berdebar, menggandeng Reonans dan Elianos yang menangis ketakutan. Lucius tetap diam namun wajahnya pucat, sementara Luciano mencoba tenang, meniru keberanian ayahnya.
Ketika mereka berlari menuju lorong rahasia istana, Arunika menoleh sekali lagi ke arah altar kerajaan yang kini diselimuti debu dan kepulan asap gelap. Di balik asap itu, samar-samar terlihat sosok tinggi menjulang dengan jubah hitam dan aura mencekam sesosok yang belum pernah dilihat Arunika sebelumnya.
"Tidak mungkin Apakah ini dia?" bisik Arunika dalam hati. Sosok itu seperti keluar dari halaman terakhir buku tua yang pernah ia baca di dunia nyata. Halaman yang berbicara tentang kehancuran dan pilihan, antara pengorbanan... atau kehilangan segalanya.
Sementara itu, Pangeran Pertama dan para pasukan kerajaan berdiri gagah menghadang sosok tersebut—bersiap menghadapi ancaman yang mungkin menjadi awal dari pertempuran besar di kerajaan Sandyakala.
Ceritanya juga keren, semangat terus ya. 😉