"Aku ini gila, tentu saja seleraku harus orang gila."
Ketika wanita gila mengalami Transmigrasi jiwa, bukan mengejar pangeran dia justru mengejar sesama orang gila.
Note : Berdasarkan imajinasi author, selamat membaca :)
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Mellisa Gottardo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
transendan
"Ruby."
Suara Boriton yang indah dan menggoda terdengar di balik kabut, Ruby mendongak berusaha melihat siluet siapa yang ada di balik kabut.
Bukan suara Rui ataupun suara malaikat maut, itu suara asing yang berat dan jernih. Terdengar milik pria tampan, Ruby berusaha menyipitkan matanya agar bisa melihat lebih jelas.
"S-siapa?." Lirih Ruby.
Bayangan bergerak di balik kabut, semakin jelas dan mendekat hingga seorang pemuda asing muncul. Ruby dan para pendekar merasa waspada, mereka tidak tau siapa yang ada di depan mereka saat ini.
Pria tinggi, badannya kekar dan berotot kuat. Wajahnya sangat tampan seperti manekin, Rambutnya putih panjang, matanya berwarna kuning dengan mata elang yang tajam. Ada tanda aneh di dahinya, apalagi celana Hanfu yang sudah acak-acakan karena ledakan tadi.
"Siapa pria ganteng yang menggoda iman ini? beraninya dia muncul setelah Suamiku tenggelam." Batin Ruby, memperkuat imannya.
"Siapa kau?." Ujar Ruby, mengerutkan kening bingung.
"Apa?." Gumamnya.
"Kenapa kau bisa ada disini? dimana suamiku?." Ruby menatap dengan tajam.
"Apa maksudmu Ruby? ini aku." Ujarnya.
"Aku siapa yang kau maksud?!." Kesal Ruby.
"Fang Rui, apa yang terjadi padamu." Ucapnya.
"Rui? itu kau?." Kaget Ruby.
"Ya? ada apa?." Dia juga bingung.
Melihat tatapan terkejut Ruby dan para pasukan yang ada. Rui pun melihat pantulan dirinya di balik air yang mulai kembali mencair, dia melihat wajah asing disana.
"Apa? HAHAHAHAHAHAAH." Rui tertawa gila.
"Loh makin gila dia?." Batin Ruby.
"Ruby.... apa kau sengaja melakukannya?." Ucap Rui, mendekat dengan tatapan yang errrrr.
"M-melakukan apa ya?." Ruby sok polos.
"Kau... sengaja melakukannya, supaya aku berhasil menerobos ranah Transendan?." Ujar Rui, wajahnya kini tampan berkali-kali lipat.
"Aku... tidak sengaja, siapa sangka kan." Ruby melengos, tidak mau berkontak mata.
Psstttttt
Warna rambut Rui kembali menghitam, tanda di dada dan dahi Rui juga kembali seperti semula. Tidak ada tanda Transendan, hanya ada tanda pernikahan saja. Tapi, wajahnya masih saja tampan tidak manusiawi.
"Menyebalkan, kalau begini aku jadi keliatan udik kalau di sebelah dia kan." Batin Ruby menggerutu.
"Ayo kita kembali." Ucap Rui, mengelus pipi Ruby.
Ruby Terkejut, dia tersipu salah tingkah. Bahkan hidung nya sudah kembang kempis, dia mati-matian menahan senyum dan ekspresinya, meskipun wajahnya sudah merah seperti tomat busuk.
"Astaga... tenang Ruby, Lo gaboleh keliatan kecintaan. Please jaga martabat Lo, gaboleh terhasut cuma karena dia ganteng." Batin Ruby, menenangkan fefeknya.
"Ya." Jawab Ruby jutek.
Meksipun jawaban Ruby terkesan cuek, langit yang tadinya gelap tiba-tiba cerah dan bunga-bunga kembali bermekaran. Dimensi ini adalah saksi betapa berbunga-bunga hati Ruby saat ini.
"Jangan menghukum pendekar yang menusukku, aku sengaja memancing mereka untukmu." Ucap Ruby, sebelum pergi dari sana.
"Aku mengerti." Jawab Rui.
Ruby dan Rui pergi dari sana, para pendekar bernafas lega dan merapihkan kekacauan. Jantung mereka sudahh nyaris meledak karena ketakutan, mereka pikir akan terjadi adegan berdarah syukurlah semuanya berakhir dengan baik.
Empat pendekar tadi juga langsung terduduk dengan lemas, mereka merasa lega. Padahal mereka sudah siap untuk mati, tapi rupanya istri ketua mereka cukup memiliki hati nurani. Bahkan mengakui perbuatannya, mereka jadi respect pada Ruby.
Di paviliun, Ruby terkejut karena sudah lewat 3 bulan semenjak dia pergi. Padahal dia merasa hanya sebentar di Dimensi itu, tapi siapa sangka perbedaan waktunya sangatlah jomplang sekali.
"Ruby." Panggil Rui.
"Apa?." Ketus Ruby.
"Kenapa? kau marah padaku?." Tanya Rui.
"Tidak, aku hanya masih perlu adaptasi dengan wajah barumu. Aku ini wanita setia tau." Sungut Ruby.
"Tapi aku tetep orang yang sama." Ujar Rui, menahan tangan Ruby.
"Tapi wajahmu berbeda." Ucap Ruby.
"Anjir bikin fefek kedut-kedut aja sih, minggir dulu dong biarin aku menenangkan fefek dulu." Batin Ruby.
"Ada apa denganmu Ruby? kenapa wajahmu memerah, apa kau sakit? apa karena luka tadi?." Ujar Rui, menempelkan tangannya pada dahi Ruby.
"Hentikan itu Rui, aku baik-baik saja karena air mata kehidupan sudah menyembuhkanku. Aku butuh istirahat sekarang." Ucap Ruby, memalingkan wajahnya.
"Air mata kehidupan?." Kaget Rui.
"Ya, air terjun itu adalah air mata kehidupan. Karena itu juga pasukan yang kau latih semakin berkembang pesat dengan cepat." Ujar Ruby.
"Kau benar-benar luar biasa, bahkan air mata kehidupan yang hanya ada di dunia para dewa pun kau memilikinya. Sebenarnya siapa kau Ruby? apa kau manusia?." Tanya Rui.
"Jangan terlalu banyak berpikir, aku memang istimewa sebagai manusia. Dimulai dengan transmigrasi jiwa, ruang dimensi dan lain-lainnya." Ujar Ruby.
Rui menatap Ruby dengan intens, itu membuat Ruby malu. Salah tingkah di saat begini itu sangat menyiksa bagi Ruby, apalagi hanya ada mereka berdua di paviliun.
"Ruby, jangan menghindari tatapanku." Ucap Rui, entah kenapa dia jadi lebih mendominasi.
"Kenapa kau jadi berubah setelah jadi trans-trans itu." Ketus Ruby.
"Transendan? entahlah aku merasa lebih tenang dan bisa mengendalikan emosi, aku bisa menjernihkan pikiranku dan kekuatanku bertambah kuat." Jujur Rui.
"Tapi kenapa warna rambutku kembali menjadi hitam? tadi rambutmu sempat putih seperti kakek-kakek." Ujar Ruby.
"Pftt, itu terjadi jika aku menggunakan seluruh kekuatanku." Ucap Rui.
"Aku lelah dan ingin beristirahat, jika kau masih memiliki tenaga lebih baik segera cari tau siapa musuh yang harus kau hadapi. Skala kekuatan mereka dan apa saja yang perlu kau persiapkan." Ucap Ruby, berbalik pergi ke kamar utama.
Rui mengikuti Ruby ke kamar, Ruby jadi semakin salah tingkah. Ruby cuek dan memilih mandi saja, tapi anehnya Rui terus saja mengikuti seperti anak ayam.
Merasa kesal Ruby buru-buru mandi dan bersiap untuk tidur, siapa sangka Rui akan menarik Ruby ke dalam dekapannya dan tatapan intesnya yang menggoda.
"Apa yang kau lakukan?." Bisik Ruby, wajahnya sudah memerah.
"Jangan menghindariku, bersikaplah seperti biasa." Ucap Rui.
"Itu akan aku lakukan besok, sekarang biarkan aku Istirahat." Ucap Ruby, mendorong Rui menjauh.
Rui mempererat dekapannya, Ruby merasa tubuhnya bersentuhan dengan rapat pada tubuh Rui. Jantungnya berdebar kencang, dia mendongak ingin marah tapi Rui sudah duluan menciumnya dengan dalam dan ganas.
mmph
Ciuman yang dalam di pimpin oleh Rui, Rui terus menatap Ruby, Ruby merasa malu dan salah tingkah memilih menutup matanya dan pasrah saja.
"Kalo dipaksa yaudah lah, soghok aku mas." Batin Ruby.
Ahhhh
emhh
Rui mengecup leher Ruby, mengangkat Ruby ke atas pangkuannya. Dia memeluk Ruby dengan erat sambil terus menciumnya, perasaan yang menggila membakar gairah keduanya.
Ahhh
Ahhh
Ukh
Rui.. ah
Ruby hanya bisa mengerang di bawah kendali Rui, tenaganya tidak sebanding dengan Rui yang bisa dengan mudah membantingnya kesana kemari.
PLAKKK
Ahhhhh
Malam itu Rui benar-benar menggempur Ruby dengan ganas, meskipun tidak seganas malam penyatuan. Kali ini mereka melakukannya atas dasar cinta, Rui sudah menyadari perasaannya pada Ruby.
Setelah Ruby tertidur karena kelelahan, Rui menyelimutinya dan mengecup kening Ruby dengan penuh perasaan. Setelah itu dirinya keluar dari kamar dan pergi keruang kerjanya.
"Keluarlah." Ucap Rui begitu duduk di ruang kerja.
Bayangan hitam muncul, itu adalah pengawal bayangan yang sengaja Rui tugaskan di sekitar Paviliun. Selain untuk berjaga-jaga juga untuk disuruh mencari informasi.
"Cari tau semua tertulis disini, jangan kembali sebelum informasi lengkap." Ucap Rui, menyerahkan selembar kertas.
"Baik." Bayangan itu menerima dan melesat pergi.
Rui nampak serius membaca dan menulis sesuatu, hingga malam semakin larut dan dia menyudahi pekerjaannya. Dia Kembali ke kamar, memeluk Ruby dan ikut terlelap ke alam mimpi yang indah.
Pagi hari berikutnya, Ruby terbangun dengan tubuh remuk redam. Begitu membuka mata dia di suguhkan otot perut yang menggoda, Ruby mendongak menatap wajah damai suaminya yang sangat tampan.
"Manusia seganteng dia udah nyobain fefek, apalagi fefeknya itu fefek aku." Batin Ruby, kegirangan.
"Sudah bangun?." Suara serak membuat Ruby Terkejut.
"Emm iya." Lirih Ruby, malu-malu.
"Ada apa denganmu?." Rui merasa geli dengan ekspresi malu-malu Ruby.
"Berhenti menatapku seperti itu, aku bisa semakin gila tau." Sungut Ruby.
"Ruby.. kau ingin punya berapa anak denganku?." Tanya Rui.
"Emm, mungkin lima." Jawab Ruby asal.
"Baiklah, aku akan berusaha keras untuk membuat empat lagi." Jawab Rui, tersenyum puas.
"Aku hanya bercanda." Ruby terperangah.
"Tapi aku serius." Rui tidak peduli.
"Aku bukan kucing, jangan menghamiliku." Ruby ketar-ketir.
Rui hanya tersenyum menatap Ruby dengan tatapan dalam, tatapan yang membuat Ruby salah tingkah. Padahal tatapan dingin dan datar Rui sudah luar biasa, apalagi dengan tatapan intens seperti ini, Ruby bisa menggila.