Di tengah gemerlap kota yang tak pernah tidur, hidup mereka terikat oleh waktu yang tak adil. Pertemuan itu seharusnya hanya sekilas, satu detik yang seharusnya tak berarti. Namun, dalam sekejap, segalanya berubah. Hati mereka saling menemukan, justru di saat dunia menuntut untuk berpisah.
Ia adalah lelaki yang terjebak dalam masa lalu yang menghantuinya, sedangkan ia adalah perempuan yang berusaha meraih masa depan yang terus menjauh. Dua jiwa yang berbeda arah, dipertemukan oleh takdir yang kejam, menuntut cinta di saat yang paling mustahil.
Malam-malam mereka menjadi saksi, setiap tatapan, setiap senyuman, adalah rahasia yang tak boleh terbongkar. Waktu berjalan terlalu cepat, dan setiap detik bersama terasa seperti harta yang dicuri dari dunia. Semakin dekat mereka, semakin besar jarak yang harus dihadapi.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Azona W, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Apa Isi Dokumen Itu
Udara malam menyelimuti Petunia Hill seperti selimut dingin ketika rekaman CCTV dimatikan. Namun bagi Elena, udara itu terasa seperti pisau—tajam, dingin, dan menusuk ruang dadanya yang masih bergetar oleh kenyataan yang baru ia lihat.
Ia duduk di sofa, tangan menutupi wajah. Adrian duduk di sampingnya, tidak menyentuh, hanya menunggu. Ia tidak ingin memaksa Elena untuk menerima pelukan jika ia belum siap.
Sebastian, seperti biasanya, berdiri dengan kedua tangan bersedekap, namun matanya menunjukkan sesuatu yang jarang terpampang.
ketidakpastian.
“Elena,” Adrian akhirnya berkata pelan, “kau boleh menangis. Kau boleh marah. Kau boleh… apa pun yang kau butuhkan.”
Elena menurunkan tangannya perlahan. Matanya memerah, basah. Namun tatapannya tidak lemah.
“Adrian… aku ingin tahu apa isi dokumen itu.” Suara Elena serak namun mantap.
Itulah pertama kalinya ia mengucapkan keinginan itu dengan suara tegas, bukan hanya ketakutan.
Adrian langsung menjawab, “Kita akan temukan.”
Tapi Sebastian menggeleng kecil.
“Itu tidak akan mudah,” katanya sambil menekan jembatan hidungnya. “Dorian Hale tidak menyerahkan dokumen sembarangan. Jika ayahmu menangis setelah melihatnya… itu berarti dokumen itu sangat personal.”
Elena mengalih tatap.
“Personal… bagaimana maksudmu?”
Sebastian menatap Adrian sesaat, seolah meminta izin untuk mengatakan hal yang lebih sensitif.
Adrian mengangguk.
“Elena ingin tahu. Dan dia berhak tahu.”
Sebastian menarik napas panjang.
“Elena…” Ia menurunkan suaranya. “Kadang Cassian menggunakan dokumen bukan hanya untuk mengancam nyawa seseorang… tapi untuk mengancam hidup orang yang mereka sayangi.”
Elena membeku.
“Jadi—”
“Ya,” Sebastian menyelesaikan, “mungkin yang dia tunjukkan kepada ayahmu adalah sesuatu tentang kau.”
Hening memecah ruangan seperti retakan kaca.
Elena menahan napas.
“Dia mengancamku… tiga tahun lalu? Bahkan sebelum aku terlibat apa pun?”
Adrian memegang bahunya, meski lembut wajahnya memanas oleh kemarahan yang disembunyikan.
“Elena, Cassian bukan orang yang berpikir normal. Dia mengawasi siapa pun yang berpotensi menjadi celah bagi lawannya. Dan ayahmu… mungkin ia sudah masuk dalam orbit Cassian jauh sebelum kejadian tiga tahun lalu.”
Elena merasa lututnya melemas.
Adrian segera memeluknya, kali ini tanpa menahan diri. Ia membiarkan Elena bersandar penuh ke dadanya, kedua lengannya membungkus tubuhnya seperti pelindung.
Nafas Elena bergetar melawan dada Adrian.
“Aku tidak… menyangka… ayah menanggung semua itu sendirian,” bisiknya.
Adrian mengusap rambutnya pelan.
“Ayahmu mungkin berpikir, dengan tidak memberitahumu, ia menjaga masa kecilmu. Ia pikir dia bisa menangani sendiri.”
Elena menutup mata.
“Aku ingin memeluknya… sekali lagi.
Hanya… sekali.”
Adrian menunduk, mencium pucuk kepala Elena dengan lembut tetapi penuh rasa sakit.
“Seandainya aku bisa mengembalikan waktu, Elena… aku akan lakukan apa saja untuk mendekatkan kalian kembali.”
Elena mengangkat wajahnya, menatap Adrian dalam-dalam.
“Adrian… kau tidak bersalah.”
Adrian menelan ludah, matanya tampak lebih gelap dan lebih rapuh dibanding biasanya.
“Kadang… aku merasa semuanya terjadi karena aku mencuri file itu. Kalau aku tidak pernah masuk ke dalam urusan Cassian, hidupmu tidak akan terhubung ke masa lalu gelap ini.”
Elena menyentuh pipi Adrian dengan kedua tangan, memaksanya menatapnya.
“Kau lupa sesuatu,” katanya lembut. “Kalau kau tidak pernah melawan Cassian… aku tidak akan pernah bertemu seseorang yang mencintai aku setulus ini.”
Adrian terpaku. Seolah kata-kata itu memasuki retakan dalam dirinya dan menyalakan sesuatu yang padam selama bertahun-tahun.
Elena melanjutkan, suaranya lembut namun penuh kekuatan.
“Aku tidak akan menukar kita… dengan masa lalu mana pun.”
Adrian menutup mata, menahan emosi yang menggenang, kemudian menyandarkan dahinya ke dahinya.
Tidak ada ciuman.
Tidak ada tuntutan.
Hanya dua orang yang berusaha menjaga satu sama lain dari dunia yang terlalu sering berusaha mengambil segalanya.
“Elena…” Suaranya pecah, penuh ketulusan yang jarang ia izinkan keluar. “Kau milikku untuk kulindungi. Bukan untuk kukendalikan.
Dan aku tidak akan membiarkan Cassian menyentuh satu inci pun dari hidupmu lagi.”
Elena membalas dengan suara hampir berbisik.
“Kalau begitu aku ada di sisimu. Sampai akhir.”
Mereka tetap begitu—dahi ke dahi—sampai Sebastian membersihkan tenggorokannya.
“Maaf memotong,” katanya, “tapi aku menemukan sesuatu lagi.”
Adrian dan Elena langsung menoleh.
Sebastian mengangkat sebuah amplop kecil yang ia temukan di sudut kotak.
Amplop itu tertutup rapat. Kertasnya menguning. Dan bagian belakangnya tertulis sesuatu dengan tinta samar.
“Untuk Elena. Jika suatu hari ayah tidak ada…”
Elena terdiam.
Semuanya seketika berhenti.
Detak jantungnya.
Nafasnya.
Dunianya.
“…buka ini.”
Adrian berdiri, memegangi bahu Elena agar ia tetap tegak.
Sebastian meletakkan amplop itu di tangan Elena.
“Ayahmu… meninggalkan pesan untukmu,” katanya pelan.
Elena menatap amplop itu seperti menatap harta karun terakhir dari orang yang ia cintai.
Tangannya gemetar.
“Elena,” Adrian berkata lembut, “kau siap?”
Ia mengangguk, meski suara dan tubuhnya bergetar.
“Iya… aku siap.”
Ia membuka amplop itu perlahan.
Dan isi kertasnya… jatuh ke pangkuannya.
Ketika Elena membacanya, napasnya tersendat.
Adrian menatap wajah Elena yang tiba-tiba pucat.
“Elena? Apa tertulis di sana?”
Elena mengangkat wajah, matanya melebar oleh shock.
“Ayahku… dia menulis bahwa dia mengetahui sesuatu…”
Air mata jatuh.
“…tentang ibu Adrian.”
Adrian membeku.
Sebastian langsung menegakkan tubuhnya.
“Elena… apa yang tertulis tepatnya?”
Tangan Elena bergetar saat ia menunjukkan surat itu.
Tulisan ayahnya hanya satu kalimat.
“Jika sesuatu terjadi padaku, cari hubungan antara Cassian… dan kematian ibunya.”
Adrian merasakan dunia di bawahnya runtuh seperti tanah longsor.
Sebastian menyumpah pelan.
Dan Elena menutup mulut, shock, karena ayahnya… telah menyimpan rahasia yang jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan.