Di balik gemerlap lampu malam dan dentuman musik yang memekakkan telinga, seorang gadis muda menyembunyikan luka dan pengorbanannya.
Namanya Cantika, mahasiswi cerdas yang bercita-cita menjadi seorang dosen. Namun takdir membawanya pada jalan penuh air mata. Demi membiayai kuliahnya dan membeli obat untuk sang ibu yang sakit-sakitan, Cantika memilih pekerjaan yang tak pernah ia bayangkan: menjadi LC di sebuah klub malam.
Setiap senyum yang ia paksakan, setiap tawa yang terdengar palsu, adalah doa yang ia bisikkan untuk kesembuhan ibunya.
Namun, di balik kepura-puraan itu, hatinya perlahan terkikis. Antara harga diri, cinta, dan harapan, Aruna terjebak dalam dilema, mampukah ia menemukan jalan keluar, atau justru terperangkap dalam ruang gelap yang semakin menelan cahaya hidupnya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Efi Lutfiah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Alasan
Masih pagi, Cantika sudah mengacak-acak isi lemarinya. Ia menatap satu per satu pakaian yang tergantung rapi, mencoba memilih mana yang cocok untuk acara arisan bersama Oma Zoya.
“Duh, baju yang mana ya?” gumamnya sambil menggaruk kepala pelan.
Akhirnya, pilihannya jatuh pada rok selutut dan blazer cantik, setelan baru yang baru kemarin ia beli di mall dengan harga cukup mahal.
“Kayaknya ini cocok,” ujarnya puas.
Cantika segera mengenakannya. Tubuh indahnya tampak anggun dalam balutan busana simpel namun berkelas. Ia merias wajahnya tipis-tipis, menambahkan sedikit lipstik dan semprotan parfum beraroma lembut. Penampilan yang sederhana tapi memikat. Ia tahu benar, arisan yang dimaksud Oma Zoya pasti dihadiri orang-orang dari kalangan elit. Ia tak boleh membuat Oma kecewa.
Saat keluar kamar, Bu Hasna langsung menatap kagum.
“Nak, kamu mau ke mana? Udah rapi banget,” tanyanya penasaran.
Cantika tersenyum kecil lalu duduk di meja makan.
“Hari ini Tika ada tugas kampus, Bu… bareng teman-teman,” bohongnya halus.
“Oh begitu. Eh, semalam dokter Arkana sempat datang, tapi kamu nggak ada,” ujar Bu Hasna santai.
Gerakan tangan Cantika langsung terhenti, matanya melebar. Ia buru-buru meraih ponsel di meja.
Benar saja, ada banyak panggilan dan pesan dari dokter Arkana. Ia baru sadar, semalam ia tertidur begitu saja setelah pulang dari club.
“Kamu ada hubungan sama dokter Arkana?” tanya Bu Hasna hati-hati.
Cantika mendongak, terdiam sesaat.
“Ibu senang kalau kamu benar-benar dekat sama dokter Arkana. Beliau itu orang baik,” lanjut Bu Hasna dengan senyum lembut. “Tapi… apa orang tuanya akan setuju? Kita cuma orang miskin, Nak.”
Glek.
Cantika menelan ludah, menunduk pelan. Kata-kata ibunya terasa seperti tamparan kenyataan. Memang, apa pantas dia berdampingan dengan pria sesempurna Arkana?
Melihat wajah anaknya berubah sendu, Bu Hasna mengusap lembut punggung tangan Cantika.
“Ibu serahkan semuanya sama kamu, Nak. Ibu nggak mau ikut campur terlalu jauh. Yang penting kamu bahagia. Kalau dokter Arkana benar cinta, dia pasti akan memperjuangkan kamu, apapun rintangannya.”
Cantika tersenyum lembut, menatap ibunya penuh kasih.
“Doain yang terbaik aja ya, Bu. Soalnya doa Ibu yang paling berharga buat Tika.”
Bu Hasna mengangguk pelan, tersenyum meski bibirnya tampak pucat.
**
Sarapan selesai, Cantika segera beranjak keluar rumah. Ia berjalan melewati gang kecil, menatap ke kanan-kiri berharap ada taksi yang lewat. Hari ini Albert memintanya datang langsung ke rumah, dan ia tak mau terlambat.
Namun baru beberapa langkah, suara klakson membuatnya menoleh. Sebuah mobil hitam berhenti tak jauh darinya, mobil yang sangat ia kenal.
Dari dalam, dokter Arkana turun dengan setelan formal rapi. Wajahnya tampak segar meski hari itu hari Minggu; ya, Arkana memang tipe pria yang tak kenal libur kalau soal pasien.
“Tika, kamu mau ke kampus?” tanyanya sambil melangkah mendekat.
Cantika sempat tertegun, tapi cepat-cepat menata ekspresinya.
“Euuu… iya, Dok. Aku ada tugas bareng teman-teman,” jawabnya gugup, mencoba terdengar santai.
Arkana tersenyum tipis. “Sayang sekali. Padahal aku mau ajak kamu sarapan bareng.”
Nada suaranya terdengar kecewa. “Kamu beneran nggak bisa?”
Cantika menggigit bibir bawahnya, merasa bersalah. Tapi waktu benar-benar mendesak.
“Maaf ya, Dok. Hari ini aku nggak bisa,” ucapnya pelan sambil menunduk.
Arkana menghela napas panjang. “Sudah kuduga.”
Ia menatap Cantika lebih dalam, seolah mencoba membaca kebohongan di balik wajah lembut itu. “Memangnya kamu buru-buru banget?”
Cantika mengangguk cepat. “Iya, teman aku udah nunggu.” lagi-lagi sebuah kebohongan yang terasa menyesakkan di dadanya.
Arkana mengangguk pelan, lalu tersenyum kecil. “Kalau gitu biar aku antar aja.”
“Eh… emmm, nggak usah, Dok. Aku—” Cantika ragu. Menolak, dia takut menyinggung perasaan Arkana. Tapi kalau menerima, kebohongannya bisa terbongkar.
“Ayolah, cuma antar aja. Nggak masalah, kan?” bujuk Arkana lembut, tatapannya hangat namun menekan.
Cantika menelan ludah. Ia tahu tak ada alasan kuat untuk menolak.
“Baiklah, Dok…” akhirnya ia mengangguk pelan.
Arkana tersenyum puas. “Bagus. Yuk, masuk.”
Dengan langkah canggung, Cantika pun masuk ke dalam mobil, sambil berharap kebohongan kecilnya hari ini tidak akan berujung bencana.
Di dalam mobil, suasana terasa hening.
Hanya suara mesin dan deru angin dari ventilasi AC yang menemani perjalanan mereka. Cantika duduk kaku di kursi penumpang, menatap lurus ke depan tanpa berani menoleh. Sesekali ia mencuri pandang ke jam tangan, waktu terus berjalan, sementara rasa cemasnya makin menumpuk.
“Jalannya ke arah mana?” tanya Arkana lembut sambil menatap jalan.
Cantika buru-buru menunjuk ke depan. “Lurus aja dulu, Dok. Nanti aku bilang beloknya di mana.”
Suaranya nyaris bergetar, tapi ia berusaha tetap tenang.
Sepanjang perjalanan, pikiran Cantika terus berputar. Ia mencoba menyusun rencana agar kebohongannya tidak terbongkar. Semua terasa menegangkan, seolah satu langkah salah bisa menghancurkan semuanya.
Namun di tengah keresahannya, bibirnya justru menyunggingkan senyum tipis, ia baru saja menemukan cara yang cukup masuk akal untuk menutupi kebohongan kecilnya.
Tanpa disangka, suara lembut Arkana memecah keheningan.
“Kamu kelihatan cantik banget pakai blazer seperti ini.”
Cantika refleks menoleh. Pipi mulusnya langsung merona.
“Berarti biasanya aku jelek dong?” katanya sambil terkekeh kecil, mencoba menutupi rasa gugupnya.
Arkana tertawa pelan. “Haha, bukan gitu maksudku. Kamu selalu cantik, Tika. Tapi hari ini… entah kenapa kamu terlihat lebih dewasa.”
Deg.
Ucapan itu menembus dada Cantika, membuat jantungnya berdetak cepat. Untuk sesaat, dunia seolah hanya milik mereka berdua.
“Dok, berhenti di sini aja,” ucap Cantika tiba-tiba, saat sebuah gerbang perumahan elit tampak di depan mata.
Arkana menepikan mobil, sedikit heran. “Kenapa di sini? Rumah teman kamu di mana?”
Cantika buru-buru mencari alasan. “Emm… temen aku bilang disuruh nunggu di sini aja. Nanti dia jemput.”
Arkana mengangguk pelan. “Baiklah. Kalau gitu aku tunggu sampai dia datang, ya?”
Cantika sontak panik. “Nggak usah, Dok! Nanti dia datangnya lama, kasihan kalau dokter telat ke rumah sakit.”
Arkana tersenyum santai. “Nggak apa-apa kok, aku masih punya waktu.”
Degup jantung Cantika makin kencang. Ia mulai gelisah, menunduk dalam-dalam, takut Arkana akan menyadari sesuatu. Jarum jam di dashboard terus bergerak, waktu semakin siang, dan rencana kecilnya bisa gagal kapan saja.
Tiba-tiba—
Drrttt...
Suara getar ponsel memecah ketegangan. Arkana menoleh cepat dan meraih ponselnya dari dashboard.
“Halo?” suaranya terdengar datar namun tegas.
“Oh, iya… baik. Saya langsung ke rumah sakit sekarang.”
Cantika nyaris menghela napas lega. Tuhan benar-benar menyelamatkannya kali ini.
Arkana menatap Cantika sejenak sebelum menutup telepon. “Sepertinya aku harus ke rumah sakit sekarang. Kamu yakin temen kamu bakal jemput di sini?”
Cantika tersenyum kecil, berusaha terdengar yakin. “Iya, Dok. Nanti dia datang kok, nggak usah khawatir.”
Arkana mengangguk pelan, senyum tipis muncul di wajahnya. “Baiklah. Hati-hati, ya, Tika.”
“Terima kasih, Dok…”
Begitu mobil Arkana menjauh, Cantika baru benar-benar menarik napas panjang. Ia menatap gerbang besar di depannya, tempat di mana kisah sebenarnya akan dimulai. Dengan langkah mantap, ia melangkah masuk menuju rumah Albert.