"Lepasin om! Badan gue kecil, nanti kalau gue penyet gimana?!"
"Tidak sebelum kamu membantuku, ini berdiri gara-gara kamu ya."
Gissele seorang model cantik, blasteran, seksi mampus, dan populer sering diganggu oleh banyak pria. Demi keamanan Gissele, ayahnya mengutus seorang teman dari Italia untuk menjadi bodyguard.
Federico seorang pria matang yang sudah berumur harus tejebak bersama gadis remaja yang selalu menentangnya.
Bagaimana jadinya jika Om Hyper bertemu dengan Model Cantik anti pria?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Pannery, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Obsesi
Semua orang di pesta itu terdiam. Musik masih mengalun, lampu-lampu masih berkelap-kelip, tapi suasana seperti membeku dalam satu momen.
Zara menahan nafas, beberapa teman Gissele saling berbisik, kaget bukan main.
Dan di tengah semua itu, Gissele berdiri mematung.
Rasanya seperti dunia runtuh di sekelilingnya. Pikirannya membentur dinding.
Gissele menatap Federico—pria yang selama ini ia kenal sebagai sosok yang menyebalkan, mes*m, dan seenaknya sendiri.
Pria yang baru saja ia ceritakan kini berdiri di hadapannya. Ia berdiri dengan senyum setenang samudera dan pandangan mata yang dalam nan tajam. Seolah-olah semuanya sudah direncanakan.
"Kenapa... Om di sini...?"
Gissele bahkan tak sanggup mengeluarkan suara. Suaranya tercekat dan tenggorokannya kering. Darah di tubuhnya seolah mundur kembali ke jantung.
Pria itu hanya menatapnya tenang seakan menyambut keterkejutannya dengan penuh perhitungan.
Bibirnya melengkung membentuk senyum tipis—senyum yang membuat bulu kuduk Gissele berdiri karna campuran emosi yang sulit dijelaskan. Gadis itu merasa marah, malu, bingung... dan deg-degan.
Dia tak bisa menerima kenyataan itu dan tubuhnya bergetar. Tanpa berpikir panjang, Gissele berbalik dan lari.
Gissele tak bisa menghadapi ini, ia meninggalkan tatapan teman-temannya. Meninggalkan Federico. Meninggalkan rasa malu yang membakar wajahnya.
“Cell!!” Suara Zara menggema. Tapi Gissele tak menoleh.
Federico bergerak cepat mengejarnya, “Nona!!”
Gissele tak peduli. Kakinya sakit karena high heels yang menancap keras di jalanan berbatu, tapi ia terus berlari, sampai akhirnya ia melepas sepatu itu dan menapaki malam dengan kaki telanjang.
Udara dingin malam menggigit kulitnya.
Gaun tipis yang ia kenakan tak mampu melindungi tubuhnya dari hembusan angin. Tapi rasa malu dan kaget yang memenuhi dadanya lebih menusuk daripada dingin malam.
Dia terus berlari… sampai seseorang menarik tangannya dari belakang.
“Nona, tunggu!”
Tarikan itu membuat tubuh Gissele terhuyung ke belakang, dan sebelum ia jatuh, Federico memeluknya dari belakang.
Gadis itu meronta. Tapi pelukan Federico terlalu erat, terlalu dekat.
“Lepasin gue!”
Nafasnya terengah tapi Federico tidak melepasnya.
“Kenapa harus kabur, hm?” Bisiknya lembut, namun ada tekanan dalam suaranya.
Gissele membeku dan pelan-pelan, ia berbalik. Menatap Federico yang kini berdiri begitu dekat. Tatapan pria itu tajam seolah menembus matanya.
Detik itu juga, dada Gissele seakan pecah.
Jantungnya berdetak cepat. Ia merasa bingung—antara ingin menangis, ingin marah, atau ingin bersembunyi entah ke mana.
“Kenapa harus... pacaran, sih?” Tanyanya dengan nada penuh bingung dan kekesalan. Suara kecil dan serak keluar dari bibirnya.
Federico mengerutkan dahi, lalu tersenyum sedikit. “Kalau pacaran, saya nggak akan godain cewek lain sembarangan,” katanya pelan. “Dan… saya hanya bisa cium nona.”
Wajah Gissele memerah tapi bukan karna marah. Bukan karena malu semata.
Ada sesuatu yang aneh mengalir dalam dadanya—sebuah rasa yang selama ini dia tolak, dia sangkal, tapi diam-diam tumbuh.
Gissele menunduk. “Nggak suka pacaran, gue trauma sama pacar-pacaran..” Gumamnya.
Federico tertawa pelan, “Kalau begitu,” ucapnya sambil mendekatkan wajahnya ke arah Gissele, "Bagaimana kalau… bibir ini hanya untuk nona, tanpa status pun tak masalah.”
Gissele mengangkat wajahnya, menatap Federico dengan campuran syok dan bingung.
“Maksudnya apa sih om?” Suaranya bergetar.
"Saya serius, Nona."
Suara Federico terdengar rendah—seperti seseorang yang tahu persis apa yang ia mau. Perlahan, ia meraih tangan Gissele dan mengecup jari gadis itu seolah menujukan bahwa bibirnya adalah milik Gissele.
Gerakan itu pelan, hati-hati, tapi tetap tak bisa ditolak. Gissele menahan nafas. Hatinya berdegup keras, dadanya naik-turun dengan cepat.
Gissele ingin mundur, ingin menolak. Tapi tubuhnya tak sejalan dengan pikirannya.
“Tapi, Nona suka nggak?”
Gissele menarik nafas cepat, kepalanya menunduk. Tangannya mengepal di sisi tubuh dan ia tidak menjawab langsung.
“Suka apaan lagi, sih…” jawabnya ketus, mencoba terdengar biasa saja, padahal hatinya porak poranda.
“Ciumannya?” Federico tersenyum miring, suaranya nyaris terdengar seperti godaan. “Nggak suka?”
Gissele melotot kecil. “Pake nanya… ya nggak lah!”
Tapi pipinya panas, matanya masih menghindar. Dan Federico tau bahwa Gissele mungkin berbohong. Gadis itu mati-matian menutup perasaannya.
Walau bilang 'nggak suka' Gissele tetap saja tak bisa melupakan ciuman itu apalagi itu adalah ciuman pertamanya.
“Hmm…” Federico mengangguk pelan, seolah mempertimbangkan jawaban itu.
Gissele terdiam, ia ingin membantah. Tapi tubuhnya mengkhianatinya. Kakinya lemas, jantungnya berdetak tak karuan, dan pikirannya masih dipenuhi bayangan ketika Federico menciumnya.
“Gue nggak tau,” katanya akhirnya. Suaranya pelan, nyaris seperti gumaman. “Gue bahkan nggak ngerti apa yang gue rasain. Gue bingung, Om.”
Wajah pria itu melunak, Federico menangkup pipi Gissele dengan kedua tangannya. Jari-jarinya dingin tapi lembut, menyelimuti kulit pipi Gissele yang hangat.
Tatapan Federico jatuh tepat ke matanya—dalam, menghanyutkan, seakan bisa menembus ke dasar pikirannya.
Gissele berdiri diam. Terlalu bingung untuk bergerak, terlalu terjebak dalam pusaran emosi. Ia tak bisa menjawab bahkan saat Federico mendekat lebih jauh, hanya satu inci antara wajah mereka—ia masih tetap berdiri di situ.
“Mau tau ciuman yang sebenarnya, Nona?” Bisiknya lagi. “Mungkin Nona bisa menilainya lagi.. Apakah suka atau sebaliknya?”
Jantung Gissele seolah berhenti berdetak dan sebelum ia bisa berkata apa-apa, Federico perlahan menunduk. Bibirnya menyentuh bibir Gissele, kali ini tanpa tergesa-gesa. Perlahan, dalam, penuh tekanan tapi juga kehangatan.
Ciuman itu bukan sekadar menyentuh, itu adalah luapan. Desakan yang ditahan terlalu lama dan akhirnya dilepaskan.
Bibir mereka saling beradu, Federico memimpin dengan baik dalam pagutan yang dalam itu. Li ur yang panas saling mengecap, mengeksplorasi dalamnya rasa hangat rongga mulut gadis itu.
Gissele sempat menekan dada Federico, berniat mendorongnya. Tapi tenaganya lepas, pikirannya buram, tubuhnya gemetar. Ciuman itu… terlalu dalam. Terlalu membingungkan, terlalu membuatnya terhanyut.
Seperti tenggelam ke dalam laut yang hangat, gelap, dan tak ada jalan keluar.
Federico makin dalam mencium, tangannya melingkar di pinggang Gissele, menariknya lebih dekat. Helaan napas mereka menyatu. Dunia terasa begitu sepi, hanya ada mereka berdua dan dentuman jantung mereka masing-masing.
Ketika akhirnya Federico melepaskan ciumannya, Gissele menatapnya dengan mata dan bi bir yang masih basah.
Wajahnya merah padam, bibirnya sedikit bergetar, dan napasnya tercekat.
“Apa... maksudnya sekarang?” Tanyanya lirih.
Federico menatapnya lembut.
“Sekarang…” bisiknya, “Nona suka?”
Ciuman itu...
Hangat. Dalam. Mengguncang.
Untuk sesaat, Gissele tak mampu bernapas. Bibirnya masih terasa panas, pipinya menyala seperti bara. Ia hanya berdiri diam, menunduk, menggigit bibir bawahnya yang baru saja disentuh oleh pria itu.
“Gue...” Gissele mencoba bicara, tapi suaranya tercekat.
Matanya mulai berkaca-kaca. Dan tak lama kemudian, air matanya menetes satu per satu. Ia bahkan tak sadar saat tubuhnya mulai bergetar. Bukan karna marah—tapi karna bingung. Karna terlalu banyak yang ingin ia katakan, tapi tak satu pun berhasil keluar dari mulutnya.
“Nona... maaf...” Bisik Federico begitu ia melihat Gissele menangis. Suaranya berubah panik, wajahnya pucat. “Maaf ya. saya terlalu keterlaluan... saya nggak bermaksud menyakiti Nona...”
Gissele hanya menangis. Ia menutup wajahnya dengan kedua tangan, berusaha mengendalikan isakannya. Tapi semakin ditahan, semakin pecah tangisannya.
Perlahan, Federico mendekat dan memeluknya. Ia memeluk Gissele dengan lembut, penuh hati-hati, seolah memeluk sesuatu yang rapuh dan bisa pecah kapan saja.
“Maaf... kalau ciuman itu terlalu tiba-tiba... maaf kalau saya membuat Nona bingung,” bisiknya di dekat telinga Gissele.
Pelan-pelan Gissele menarik nafas, berusaha menenangkan diri.
“Om tahu kan...” ucapnya lirih, masih dengan suara parau karena menangis. “Itu... ciuman pertama gue. Bibir seksi prawan gue dicium Om-Om hwaa.. Pokoknya Om harus tanggung jawab!”
Federico menatapnya dalam, “Iya, Nona. Saya akan tanggung jawab. Apapun yang Nona minta dari saya... Saya akan lakukan.”
Gissele menatapnya lekat. Ia tak menjawab langsung. Tapi dalam hati, emosinya berkecamuk. Ia tidak tau apakah ia marah, sedih, senang, atau semuanya sekaligus. Perasaan itu masih mengambang—masih terlalu baru, terlalu mentah untuk diartikan.
Gadis itu membuang nafas panjang, lalu menunduk. Kemudian Federico melepas jasnya dan menutupi tubuh Gissele yang sedikit menggigil dengan jas itu.
Gissele merasa hangat dan wangi maskulin dari nas itu benar-benar menyeruak.
"Pasti dingin kan, Nona." Federico lalu menyodorkan tangannya. “Mau pulang, Nona? Ini sudah sangat gelap.”
Gissele menatap tangan itu dan ia mengangguk. Akhirnya Federico menuntun jalan ke mobil dan sambil berjalan, Gissele bergumam pelan, “Nanti gue harus minta maaf sama Zara...”
Federico tersenyum kecil, menoleh padanya. “Saya juga harus minta maaf sama teman-teman Nona."
Gissele menoleh cepat, “Lo nggak usah minta maaf nggak apa-apa, nanti mereka heboh.”
Tapi dari kejauhan, di balik kaca mobil yang gelap, sepasang mata membelalak penuh kemarahan.
Dion, mantan Gissele menyaksikan itu semua.
Tangannya menggenggam setir dengan begitu erat hingga buku jarinya memutih. Nafasnya berat, terengah, dan penuh dendam. Matanya tak lepas dari dua sosok yang berjalan menjauh.
Dion melihat dengan jelas… bagaimana Federico mencium Gissele.
"B*jingan… b*jingan sialan.. bangs*t!"
"KENAPA HARUS DIA?!" Raung Dion di dalam mobil, meninju dashboard dengan keras hingga retak. "KENAPA BUKAN GUE?!"
Dion merogoh laci dashboard dan mengeluarkan sebuah pistol hitam—berat dan dingin di tangannya. Ia menggenggamnya kuat-kuat, dan matanya memerah.
"Gue butuh waktu lama buat nyium dia dan sekarang, lo datang seenaknya, Federico? GUE NGGAK TERIMA BANGS*T!"
Tangannya sudah membidik—senjata itu kini diarahkan ke arah Federico yang sedang tertawa kecil sambil menjahili Gissele.
Tapi…
Tepat saat jarinya nyaris menekan pelatuk, ia merasa ragu. "Tahan Dion.." Bicaranya pada diri sendiri. Ia ingat saat kemarin melemparkan batu, Gissele hampir terluka.
"Gue harus sikat dia kalau sendirian."
..