NovelToon NovelToon
Serafina'S Obsession

Serafina'S Obsession

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / Romansa Perdesaan / Mafia / Romansa / Aliansi Pernikahan / Cintapertama
Popularitas:49
Nilai: 5
Nama Author: Marsshella

"Apa yang kau lakukan di sini?"

"Aku hanya ingin bersamamu malam ini."

🌊🌊🌊

Dia dibuang karena darahnya dianggap noda.

Serafina Romano, putri bangsawan yang kehilangan segalanya setelah rahasia masa lalunya terungkap.

Dikirim ke desa pesisir Mareluna, ia hanya ditemani Elio—pengawal muda yang setia menjaganya.

Hingga hadir Rafael De Luca, pelaut yang keras kepala namun menyimpan kelembutan di balik tatapannya.

Di antara laut, rahasia, dan cinta yang melukai, Serafina belajar bahwa tidak semua luka harus disembunyikan.

Serafina’s Obsession—kisah tentang cinta, rahasia, dan keberanian untuk melawan takdir.

Latar : kota fiksi bernama Mareluna. Desa para nelayan yang indah di Italia.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Marsshella, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

01. Signorina yang Dibuang

Dibuang. Dihapus. Dilupakan.

Tiga kata itu yang terngiang di kepala Serafina Romano sepanjang perjalanan meninggalkan Roma. Mobil sopir keluarga Romano mengantarnya menjauh dari segala kemewahan dan kekejian yang membesarkannya. Dari seorang putri yang diakui, kini ia menjadi noda yang harus dihapus dari silsilah keluarga Romano.

Sembilan belas tahun hidup dalam kebohongan. Mamma-nya, Gia, yang selama ini ia kira hanya seorang cameriera yang baik, ternyata adalah darah dagingnya sendiri. Dan laki-laki yang ia panggil ‘Papa’ dengan takzim, ternyata adalah pria yang merenggut kemurnian Mamma-nya. Dan Nyonya Romano merebut bayi Gia untuk menggantikan bayinya yang meninggal.

Padahal hidup Serafina Romano sangat bahagia saat dia hanya merupakan anak tunggal dari Leonardo Romano dan Isabella tapi ternyata dia hanyalah anak hasil nafsu Leonardo dengan cameriera Gia.

Ketika kebenaran terungkap, kemarahan Leonardo seperti badai yang menghancurkan segala sesuatu. Gia dikurung di dalam istana, dijadikan tumbal untuk memastikan Serafina tidak mencoba kembali.

Dan Serafina? Ia dibuang.

Dikirim ke ujung dunia, ke sebuah desa pesisir terpencil bernama Mareluna, dengan satu pengawal setia—Elio Marcenzo—dan seorang nenek tua yang disuruh berpura-pura menjadi keluarganya.

“Darah Romano adalah kutukan, Signorina,” bisik Elio saat mobil mulai melambat, pemandangan laut malam mulai menggantikan gedung-gedung megah. “Tapi di sini, mungkin laut bisa mencucinya.”

*Nona

Serafina memandangnya. Di balik ketenangan Elio, matanya yang hijau kelabu selalu menyimpan samudra rahasia yang tak pernah ia ceritakan.

“Atau justru menenggelamkanku,” balas Serafina lembut.

Elio tidak menjawab. Dia hanya menarik napas panjang, seolah sudah tahu bahwa kedamaian Mareluna hanyalah ilusi sementara. Karena laut mungkin bisa menyembunyikan luka—tapi tidak selamanya bisa menenggelamkan dosa darah Romano.

Mobil hitam itu akhirnya pergi, meninggalkan mereka berdua di tepi jalan aspal yang sepi, hanya diterangi cahaya lampu jalan kuning yang berkedip-kedip. Bunyi mesinnya perlahan hilang ditelan deru angin laut, memutus tali terakhir yang menghubungkan Serafina Romano dengan kehidupan lamanya.

Di depan mereka, rumah-rumah batu kapur dengan jendela kayu biru pudar berbaris di tebing, lampu-lampu neon kecil berkelip seperti kunang-kunang yang menempel di dinding. Indah, tapi asing dan menakutkan.

“Ayo, Signorina,” ucap Elio, suaranya rendah namun tegas. Tangannya yang kuat sudah memegang dua koper besar, sementara tas ransel berat tergantung di punggungnya.

Serafina, dengan tubuh mungilnya yang hanya 160 cm, berusaha membantu dengan menarik koper kecilnya. Tapi sebelum sempat, tangan Elio yang lain sudah merebutnya.

“Biarkan saya saja,” katanya. Sekarang, dengan dua koper di masing-masing tangan, dia berjalan seperti titan yang tak tergoyahkan.

Mereka berjalan menyusuri jalan setapak berbatu menuju rumah yang ditunjukkan. Rumah batu tua itu berdiri tegak di ujung tebing, pagar kayunya sedikit miring diterpa angin laut bertahun-tahun. Dan di depan pagar itu, berdiri seorang wanita tua dengan postur tegap, membawa lentera minyak.

Nonna Livia Veraldi. Mantan cameriera senior keluarga Romano, tangan kanan yang dipercaya selama puluhan tahun sebelum pensiun dengan diam-diam diasingkan ke desa ini. Dia adalah salah satu dari sedikit orang yang tahu rahasia kelahiran Serafina dan pengorbanan Gia. Pengabdiannya yang tanpa kompromi membuatnya dipilih sebagai penjaga rahasia terakhir putri yang terbuang.

“Serafina. Elio,” sambutnya, matanya yang keriput namun tajam memandangi mereka berdua. “Akhirnya kalian sampai juga. Gia sudah memberi tahu saya.”

Mereka masuk ke dalam rumah. Suasananya langsung menusuk tulang Serafina. Dingin, lembab, dan penuh dengan aroma campuran garam laut, ikan asin, dan aroma tanah.

Sangat kontras dengan istana Romano yang hangat oleh pemanas lantai, wangi parfum mahal, dan kemewahan yang steril. Serafina merinding, bukan hanya karena udara, tapi karena ketidaknyamanan yang mendalam.

Setelah menunjukkan kamar-kamar—sederhana, bersih, tapi menyedihkan—Elio dengan sikap hormat menyerahkan sebuah amplop tebal kepada Livia.

“Atas perintah Nyonya Romano, dan ... dari cameriera Gia,” ucap Elio, menundukkan kepala sedikit. “Untuk biaya hidup dan keamanan kami di sini.”

Livia menerimanya dengan anggukan bijak. “Uang ini akan kugunakan untuk kalian. Untuk membuat kalian tetap aman.” Dia kemudian memandang mereka bergantian. “Mulai besok, aku adalah nenek kalian. Kalian adalah cucu-cucu dari saudaraku yang sibuk bekerja di kota, dan kalian sedang berlibur panjang di sini.”

“Sampai kapan ‘liburan’ ini?” tanya Serafina, suaranya bergetar ketakutan dan kelelahan.

Livia mendekat, menatapnya dalam-dalam. “Selama rahasia kita aman, Bambina, selamanya. Tapi jika angin berubah membawa bahaya, kalian harus pergi. Mencari ‘nenek’ baru di tempat lain.”

*Little girl

...🌊🌊🌊...

Kasarnya kasur tua itu terasa seperti batu bagi tulang belakang Serafina yang terbiasa dengan kasur bulu angsa. Keputusasaan akhirnya mendorongnya keluar kamar, merayap dalam gelap.

Dia menemukan Elio tergeletak di sofa kayu yang keras di ruang keluarga, matanya terpejam tapi tubuhnya masih tegap. Begitu Serafina membuka pintu depan, dia langsung terduduk.

“Ke mana?” gumam Elio, suaranya serak.

“Jalan. Aku tidak bisa tidur.”

Tanpa bicara, Elio bangkit, mengambil jaket tebalnya dan memakaikannya ke bahu Serafina yang menggigil. Jaket itu terlalu besar, membuatnya terlihat semakin kecil dan rentan.

Mereka berjalan menuruni jalan setapak yang sempit, diapit oleh dua baris rumah. Jalanan itu menurun tajam, dan di ujungnya, di antara celah dua bangunan, terbentang pemandangan laut lepas yang disinari cahaya bulan. Laut hitam yang bergolak, seperti jiwanya.

“Aku bisa jalan sendiri,” bantah Serafina saat Elio terus membimbingnya.

“Signorina terjatuh di karpet Persia yang tebal. Aku tidak percaya Signorina bisa menuruni jalan batu licin ini sendirian,” balas Elio datar. Kenangannya akan Serafina yang ceroboh dan selalu dipayungi itu begitu jelas.

Kata-katanya menyentuh luka lain. “Aku seharusnya sedang kuliah. Tapi semuanya dihentikan.” Air matanya mulai berkaca-kaca. “Dan itu salahnya Gia! Mau saja jadi pelampiasan ... dan tega membuang anaknya sendiri setelah semua ini!” Amarahnya meledak, ditujukan pada wanita yang dipanggilnya ‘cameriera Gia’ selama ini, yang darahnya tidak cukup biru untuk keluarga Romano.

Elio diam. Dia hanya pendengar setia, benteng yang bisu bagi badai emosi nona mudanya.

Sampai di jalan aspal yang lebih rata, Serafina terus berjalan tanpa tujuan, hingga Elio memegang lengannya lembut.

“Sudah, Signorina. Ayo pulang. Nanti masuk angin,” pinta Elio. Di bawah sinar lampu jalan, hidung Serafina sudah memerah, mata hazel-nya berair.

Serafina berhenti, menatapnya. Elio begitu tinggi, menjulang di hadapannya seperti pelindung hidup. 190 cm vs 160 cm.

“Kenapa kau mengikutiku, Elio? Kau tidak punya keluarga? Kehidupan sendiri?”

Elio tersenyum tipis, senang akhirnya nona mudanya menanyakan soal dirinya. “Aku anak panti. Tidak tahu siapa orang tuaku. Keluargaku hanya keluarga Romano,” balasnya lalu membatin, “dan tentu saja Serafina.”

Serafina tiba-tiba berjongkok, tubuhnya terguncang oleh isak tangis yang dipendam terlalu lama. Elio langsung waspada, berdiri di dekatnya seperti panther yang siaga, matanya yang hijau keabu-abuan menyapu lingkungan sekitar, memastikan tidak ada yang melihat kelemahan nona mudanya.

Dia tahu Serafina manja. Dia tahu dia suka digendong saat masih kecil dan sedang bersedih.

“Gendong?” tawarnya lembut.

Tak ada jawaban selain tangis. Elio pun jongkok, membelakangi Sera, menawarkan punggungnya yang lebar. Tanpa bicara, Serafina merangkul lehernya, membiarkan Elio mengangkatnya dengan mudah. Dia mendaki kembali jalan menanjak yang tadi dengan beban di punggungnya yang justru terasa ringan baginya.

“Kau tidak sendirian, Signorina. Aku di sini. Akan selalu menjagamu,” bisik Elio sambil berjalan, suaranya adalah satu-satunya hal yang hangat di malam yang dingin itu.

Serafina, dengan pipi yang masih basah menempel di leher Elio, bergumam, “lututmu tidak pegal?”

Elio terkekeh pendek, sinis. “Sejak kapan Signorina peduli pada bodyguard rendahan seperti aku?”

Kalimat itu menyadarkan Serafina. Dia ingat semua perlakuan semena-menanya—perintah yang seenaknya, bahkan tamparan yang pernah dia berikan karena Elio salah mengambil tugas sekolahnya. Rasa bersalah menusuk hatinya yang sudah kacau.

Sampai di rumah, Elio menidurkannya di kasur yang masih terasa menyiksa. “Kau akan terbiasa. Ini lebih empuk dari kasur tipis di panti, atau lantai tanpa alas yang biasa aku tiduri.”

Saat Elio hendak pergi, sebuah tangan mungil menggenggam jarinya.

“Temani aku,” pinta Serafina, suaranya lirih seperti anak kecil.

Elio menghela napas, lalu duduk di lantai bersebelahan dengan kasur. Serafina memejamkan mata, masih menggenggam erat jari Elio, lalu berguling miring. Tangan Elio yang tergenggam tertarik, hingga tanpa sengaja menjadi bantal bagi pipinya yang lembut.

Serafina tersenyum kecil, puas, dalam tidurnya yang akhirnya datang.

Elio terpana. Nafasnya tertahan. Ini pertama kalinya dia bisa menatap Serafina sedekat ini tanpa rasa bersalah. Bulu mata lentiknya yang masih basah, hidung mungilnya yang mancung, bibirnya yang merona, dan pipi serta hidungnya yang masih memerah karena udara dingin. Dia sangat cantik.

Dengan tangan bebasnya, dengan sangat hati-hati, dia membelai poni Serafina yang berantakan. Dorongan untuk mendekat, untuk mengecup pipi itu, hampir tak tertahankan. Tapi kemudian, bayangan Signore Leonardo Romano muncul. Suara dinginnya menggema di telinga Elio.

“Jangan pernah menatap putriku dengan nafsu seperti itu, anak panti rendahan. Mata bisa dicungkil, kau tahu.”

Dia menghentakkan kepalanya mundur. Dia tidak pantas. Bahkan tangan yang kini menjadi bantal Serafina pun terasa terlalu kotor untuknya. Saat dia mencoba menariknya perlahan, Serafina mendengus kecil, mengeluh dalam tidur, dan menggenggamnya lebih erat.

Elio menyerah. Dia duduk di lantai yang dingin, membiarkan tangannya dikorbankan sebagai bantal, menatap gadis yang dicintainya dalam diam sampai akhirnya kantuk menaklukkannya, dan dia tertidur dalam posisi bersandar di pinggiran kasur, penjaga yang setia bahkan dalam mimpi.

...🌊🌊🌊...

“Ada apa?” tanya Serafina akhirnya.

“Jangan dekat-dekat dengan pria itu,” gumam Elio.

...🌊🌊🌊...

Serafina Romano : 19 tahun

Elio Marcenzo : 25 tahun

Nonna Livia Veraldi : 68 tahun

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!