Karma? Apa benar itu yang terjadi padaku? Disaat aku benar-benar tidak berdaya seperti ini.
Bagaimana mungkin aku meghadapi sebuah pernikahan tanpa cinta? Pernikahan yang tidak pernah ku impikan. Tapi sekali lagi aku tak berdaya. Tidak mampu menentang takdir yang ditentukan oleh keluarga. Pria yang akan menikahiku...aku tidak tahu siapa dia? Seperti apa sifatnya? Bagaimana karakternya? Aku hanya bisa pasrah atas apa yang terjadi dalam hidupku.
Aku sebenarnya masih menunggu seseorang dari masa laluku. Seorang pria yang sangat ku cintai sekaligus pria yang telah ku lukai hatinya. Nando Saputra, mantan kekasihku yang telah memutuskan pergi dariku setelah aku dengan tega mengusirnya begitu saja.
Sekarang rasa menyesal kembali menghatuiku saat ku tahu sebuah fakta yang lebih mengerikan...dia Nando, pria yang selama ini ku rindukan adalah adik dari pria yang menikahiku. Rasanya aku ingin bunuh diri saat ini juga....!
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Amy Zahru, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
19. Kenangan yang Membakar
Tubuhku masih gemetar saat Nando menarikku ke pinggir kolam. Aku sungguh tidak sadar bahwa saat itu aku duduk di pangkuannya, basah kuyup, air menetes dari rambutku, sementara tangannya masih melingkar dipinggangku, menahan agar aku tidak goyah. Nafas kami sama-sama tersengal.
Aku bisa merasakan betapa dekatnya wajahnya. Begitu dekat hingga aku bisa menghitung bulu mata di matanya. Detak jantungku seperti ingin meledak. Ada jeda hening yang panjang, seolah waktu berhenti, hanya menyisakan aku dan dia.
“Nando…” bisikku lirih, nyaris tak terdengar.
Dia menatapku, matanya seperti menyimpan sesuatu yang tak terucapkan. Ada sedih, ada rindu, ada rasa yang ia sendiri mungkin tak mengerti. Jarak di antara kami terlalu tipis, begitu tipis hingga aku mengira… hanya satu helaan nafas lagi dan bibirnya akan menyentuhku.
Namun sebelum momen itu bisa terwujud—
“AUUURAAA!!!”
Suara berat itu menggelegar dari arah pintu rumah.
Aku terperanjat. Nando langsung melepaskan tangannya dariku.
Ali.
Suamiku berlari mendekat, wajahnya panik bercampur amarah. Tanpa basa-basi, dia mengangkat tubuhku dari pinggir kolam, menggendongku dalam posisi bridal style. Air masih menetes dari bajuku, membasahi kemeja kerjanya.
Aku sempat menoleh ke belakang. Nando masih duduk di tepi kolam, basah kuyup, tubuhnya kaku. Tatapan matanya… kosong tapi juga penuh luka. Sesuatu dalam hatiku terasa ditarik paksa, melihat kesedihan itu.
Ali melangkah cepat menuju kamar, sama sekali tak memberi kesempatan aku menjelaskan.
“Apa-apaan kamu bisa sampai jatuh begini?! Bi Ina bilang kamu jatuh, aku langsung ngebut pulang!” suaranya bergetar, setengah marah, setengah cemas.
Aku hanya bisa diam dalam gendongannya. Perasaan campur aduk, antara hangatnya perhatian Ali, dan dinginnya tatapan terakhir Nando.
___
Malamnya, tubuhku demam. Panas tinggi membuat kesadaranku mengabur.
Aku terbaring, dan dalam mimpiku… masa lalu menyeruak.
Malam itu samar-samar kembali dalam mimpi.
Kamar kecil dengan lampu redup. Aroma hujan yang baru saja reda masih menempel di udara. Suasana begitu sunyi, hanya ada detak jam dinding dan suara napas kami yang saling berpacu.
Aku, gadis polos yang masih belajar tentang cinta, duduk gelisah di atas kasur tipis. Nando ada di depanku, menatapku dengan mata hangat yang dalam. Tatapan yang seolah berkata: kau milikku, hanya milikku.
Tangannya menyentuh pipiku. Jemari hangat itu bergetar, sama gugupnya denganku.
“Aura… yakin?” bisiknya pelan, seolah takut menghancurkan diriku.
Aku menggigit bibir, air mataku menggenang entah karena takut atau karena cinta. Aku hanya bisa mengangguk. Tubuhku gemetar, namun aku tak pernah sekalipun ingin mundur.
Bibirnya menempel di bibirku—awal yang lembut, ragu, tapi kemudian semakin dalam. Ciuman itu mencuri nafasku, membuatku mabuk oleh rasa yang belum pernah kualami sebelumnya.
Saat jemarinya menyusuri wajahku, lalu menelusup ke rambutku, tubuhku seperti meleleh. Aku menangis dalam diam. Bukan hanya karena rasa sakit yang menusuk ketika akhirnya ia benar-benar menyatu denganku, tapi juga karena perasaan—perasaan dicintai seutuhnya, seolah aku dan dia takkan pernah terpisahkan.
“Nando…” suaraku terisak, setengah perih, setengah nikmat.
Dia berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang ikut basah. “Maaf… aku akan pelan. Aku janji.”
Dan malam itu, setiap gerakan terasa membekas. Rasa sakitku perlahan bercampur dengan sesuatu yang lebih dalam, lebih hangat, lebih nikmat daripada yang bisa kubayangkan.
Air mataku jatuh, namun bukan lagi karena takut. Itu adalah tangis penyerahan—aku menyerahkan segalanya, tubuh dan jiwa, pada satu-satunya laki-laki yang kupilih.
Suara napas kami bercampur, semakin cepat, semakin berat, sampai akhirnya hanya ada satu kenyataan: aku, Aura, bukan lagi gadis yang polos. Aku telah menjadi milik Nando.
Dan ketika ia memelukku erat setelahnya, keringat kami bercampur, aku merasa dunia berhenti. Dalam dekapnya, aku menangis lagi—tapi kali ini karena bahagia.
___
Aku terbangun dari mimpi itu dengan wajah basah air mata. Nafasku memburu, tubuhku bergetar. Jantungku masih berdetak kencang, seolah momen itu baru saja benar-benar terjadi.
Ya Tuhan…, aku memejamkan mata dengan getir. Aku benar-benar milik Nando sejak dulu. Dan sekarang aku adalah istri kakaknya.
Bukan hanya itu, Nando… adalah yang pertama untukku. Dialah yang mengambil mahkota kegadisanku.
Dan saat menatap langit-langit kamar yang temaram, aku sadar… mimpi itu bukan sekadar mimpi. Itu adalah potongan nyata dari masa lalu yang selama ini kutekan dalam-dalam.