Yoga Permana, 22 tahun, pekerja biasa yang hidupnya terasa hampa setelah patah hati dan gagal move on dari cinta pertama. Pelariannya? Menulis webnovel… meski lebih sering buka Facebook daripada nulis.
Suatu malam, saat mencoba menulis prolog novel barunya Pe and Kob, laptopnya rusak, lalu menariknya masuk ke dalam dunia novel yang bahkan belum ia selesaikan.
Kini terjebak di dunia isekai hasil pikirannya sendiri, Yoga harus menjalani hidup sebagai karakter dalam cerita yang belum punya alur, belum punya nama kerajaan, bahkan belum punya ending.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon MagnumKapalApi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 6 - Menuju Bab 1 Bagian 2 (9)
Aku terbangun, dalam kondisi setengah lapar.
Mencoba mengingat satu hal penting, tubuh Lala adalah tubuh anak berusia sepuluh tahun, tubuh dalam masa perkembangan.
“Tak heran jika tubuh ini perlu banyak nutrisi...”
Bersama Silvanna, kami memutuskan untuk berburu. Dengan serigala perak bertanduk satu di dahinya, aku tak perlu khawatir akan bahaya.
Aku aktifkan kembali Sewu dalam posisi bersila, mendeteksi mangsa dari posisiku.
“Panas...” tubuhku seperti terbakar, bahkan untuk merasakan panas tubuh sendiri.
Tentang Sewu, aku bersyukur mempelajari teknik ini saat berusia delapan tahun, di dunia ini insting bekerja alami tergantung seberapa kuat individu ingin bertahan, insting hanya bekerja saat keadaan terdesak, namun semua itu terjadi karena alam bawah sadar seseorang atas kelangsungan hidupnya sendiri.
Kusadari seperti apa insting itu, kupelajari, dan kuciptakan sebuah teknik berdasarkan panca indra, teknik itu kunamai Ki.
Insting seseorang dapat bekerja bukan karena kebetulan semata saja, melainkan indra yang menjadi lebih peka terhadap adrenalin yang dialami.
“Aku bahkan meminta Ryan untuk memukuliku untuk teknik ini.”
Lebih dari konsep Mana, lebih menekankan tubuh secara fungsional.
“Saat situasi terancam, adrenalin akan meningkat, bahkan kamu bisa mendengar detak jantungmu sendiri.”
Batinku bergumam, mengingat seberapa mencekamnya berlatih tanding bersama Ryan. Selain itu aku memintanya secara pribadi untuk memukuliku dengan pedang kayunya, agar lebih merasakan gerak dan ayunan pedang Ryan.
Menguatkan kelima indra bukanlah hal mudah, sebuah ketekunan dan konsistensi tingkat tinggi dibutuhkan untuk mencapai teknik ini, bukan hal yang mustahil, namun sulit untuk dikuasai.
Seberapa jauh manusia dapat mendengar, seberapa jauh manusia dapat melihat, seberapa jauh manusia dapat merasa, dan seberapa dalam manusia dapat bernapas.
Saat Ki berhasil dikuasai, alam bawah sadar dapat terkendali, satu individu dapat mendengar detak jantung individu lain, langkah kaki, bahkan seberapa kencang individu tersebut bernapas, tanpa memacu adrenalin apapun.
Hal yang sulit dilakukan adalah memisahkan suara detak jantung dan napas diri sendiri, butuh konsentrasi tinggi untuk merasakan keberadaan sekitar.
Saat Ki dikuasai, aku mempatenkan teknik ini bersama dengan Mana, insting yang bekerja secara terkendali, dari Mana lingkungan sekitar menjadikan teknik ini ketahap yang lebih lanjut.
“Teknik yang kuberi nama Sewu ini adalah aset yang tak dimiliki siapapun...”
Memperdalam Sewu tak lebih sulit dari mempelajari dasarnya, Ki itu sendiri. Tanpa Ki, Sewu bukanlah teknik melainkan pengetahuan umum dunia ini, hanya merasakan potensi Mana seseorang, tak lebih dari itu.
Ki yang sudah digabungkan oleh Mana, dapat merasakan Mana lebih lanjut, melalui panca indra, merasakan hawa kehadiran seseorang dalam jarak yang jauh, merasakan Mana setipis tisu. Meningkatkan refleksifitas, juga menekankan kinerja otak secara tak sadar, bahkan tubuhmu dapat bergerak secara tak sadar dengan teknik ini.
“Teknik ini juga belum sepenuhnya sempurna.”
“Aku masih merancang teknik berikutnya.”
Dalam benakku, Sewu masih dapat berkembang, sama halnya dengan insting monster, hewan liar.
Alam liar memberikan pemahaman yang lebih signifikan dibanding kehidupan aman di desa.
Silvanna sebagai contoh nyata tentang kehidupan alam liar.
Hewan liar dapat merasakan perasaan negatif secara alami, siapa yang menjadi ancaman, siapa yang menjadi penolong.
Teknik ini akan ku beri nama 'Astra Sewu'.
Teknik tahap lanjut yang kuciptakan sendiri, dari dasar hingga akhir. Astra Sewu sendiri kupikirkan dengan konsep dapat merasakan hal yang tak dapat dirasakan secara nyata.
Merasakan suasana hati, niat, dan pikiran terdalam seseorang. Teknik yang kurancang untuk kehidupan di akademi.
“Aku harus lebih memperdalam Astra Sewu...”
“Merasakan niat siswa akademi serigala berbulu domba lebih penting untuk skenario.”
“Ingatlah sebagai penulis novel ini, naskah ini hanya gambaran besar premis, dengan outline yang berantakan, juga bab prolog yang belum selesai, aku tidak tahu siapa villain utama di akademi.”
Setiap menggunakan Sewu, aku selalu mencoba merasakan sisi gelap setiap makhluk disekitarku, namun belum memiliki titik terang, mungkin mustahil.
Salah satu alasan aku mencari daun sirih perawan hanya untuk teknik ini juga memperkuat diriku di ranah Mana.
Mungkin batasannya adalah Mana, potensi, dan kapasitas.
Dalam posisi duduk bersila, mata yang terpejam, tangan diantara dua lutut.
Posisi petapa buddha yang sedang bersemedi, merasakan hawa disekitar, lebih jauh dari posisiku.
“Sejuk...” Bahkan dapat merasakan suasana hutan menusuk kulitku.
Suara napas, kondisi makhluk tersebut, juga merasakan aliran darah dari hewan yang terluka.
Darah memiliki Mana? Tentu saja karena tubuh kaya akan Mana.
Sewu sendiri bisa digunakan dengan satu syarat, Mana yang meluas dapat merasakan Mana dalam posisi yang lebih jauh, itu sebabnya aku tak bisa menggunakan Sewu secara sembarang saat melawan sekelompok bandit.
“Bertanduk... Berkaki empat, tanduknya sedikit panjang yaa, napasnya stabil.” batinku dalam semedi, “Itu rusa... Siang ini kita akan memakan daging Rusa.”
“Silvanna waktunya berburu!” seruku dengan senyum pada Silvanna.
Silvanna melolong kecil mengisyaratkan siap padaku untuk berburu.
Kami bergegas, menunggangi Silvanna untuk mempercepat langkah menuju lokasi rusa tersebut.
Langkah kaki Silvanna benar-benar membuatku terkagum, cepat namun rapih dan seimbang.
“Sepertinya berkaki empat benar-benar sebuah keuntungan.” sindirku di atas punggung Silvanna, sekaligus memujinya.
Jarak rusa kini semakin dekat berirama dengan langkah kaki Silvanna.
Dari arah belakang rusa, dan jarak yang semakin mendekat, serta Ki yang kurasakan dari rusa yang tenang. Kurapalkan sihir panah api.
“Feuerpfeil” lingkaran sihir terbentuk ditangan kananku, namun belum kulepaskan.
Mataku terpaku pada tanduk Silvanna yang bersinar. Sinar sengatan listrik kecil dari tanduknya.
BZZZZZZTTT!!
Petir sekejap mengarah langsung pada rusa.
Mataku membelalak, terkejut.
Petir itu langsung menumbangkan rusa dalam sekali serang.
Silvanna berhenti tepat di jasad rusa yang gosong dan berasap tipis.
“Monster ini mengerikan...” pikirku Larasati lah yang menjinakan Silvanna. Bukan elf lain.
“Si elf berdada besar itu pintar merendah yaa... Menjinakan monster sekuat ini.” sembari membelai bulu Silvanna yang lembut, senyumku terlihat pada Silvanna.
“Silvanna tunggu di dahan pohon itu.”
Terasa sejuk dan damai, bersama dengan Silvanna, semuanya terasa mudah, aman.
Sejauh ini semua lancar, bahkan saat berurusan dengan bandit.
Ki sudah tak ku aktifkan, perburuan terasa lancar tanpa gangguan.
Aku berpikir untuk menguliti rusa yang sedikit besar dari tubuh anak kecil berusia sepuluh tahun langsung dilokasi, karena tak mungkin membawanya.
“Aku akan memakan bagian pahanya, itu sudah banyak untukku, Silvanna bagian tubuh atas dari dada hingga perut, sisanya kusimpan dalam ransel.”
Tak lama aku menguliti rusa, baru memisahkan bagian kaki dengan tubuhnya.
Zrkkkkk!!
Suara tusukan. Hening seketika, bukan dari sayatan pisau.
Detak jantungku meningkat, adrenalin kembali memuncak. Sontak kepalaku menoleh pada arah suara.
Dari arah Silvanna beristirahat, disana bukan lagi seekor serigala bertanduk yang sedang terbaring dalam tidurnya.
Pedang besar menancap tepat dileher Silvanna. Dan menembus daging leher Silvanna.
“Ahh... Sial.”
Berdiri sosok membelakangi diriku, bukan makhluk yang bernyawa.
Tidak bernapas, tidak memiliki detak jantung, juga tidak memiliki panas dalam tubuh.
Mananya tipis seperti ditekan, hampir sama saat aku melawan sekelompok bandit.
Dingin, mencekam.
“Tengkorak...”
Monster dalam gambaran premisku, tulang belulang dengan busana ala penyihir dengan pedang.
Sosok itu menoleh padaku. Matanya menyala seperti api kecil dari kerangka kosong yang tak memiliki bola mata.
“Bukan Undead!!”
Batinku bergumam panik, takut, gemetar.
Sekujur tubuhku membeku karena hawa kematian tepat dihadapan mataku.
Silvanna mati dengan pedang yang tertancap dilehernya. Serta genangan darah ditanah membanjiri jasadnya.
Dengan mulut terbuka dan tatapan matanya yang melotot, Silvanna mati secara tragis.
Kerangka bergerak itu bergumam tanpa tulang rahang yang bergerak. Namun suara itu bergema padaku diantara hutan belantara.
“Espèce d’agaçant, enfant humain qui joue dans la forêt sauvage.”
Bahasa yang tak kumengerti. Bahasa Prancis, yang kujadikan sebagai bahasa kuno dalam novel Pe and Kob.
“Ahh sial...”
“Litch tingkat tinggi.”
Bibirku bergetar namun suaraku tercekat, napasku terengah, dan jantungku berdetak seperti ingin meledak.
Sosok itu tak lain adalah sosok monster dengan akal sehat seperti manusia, Mananya setara para elf.
Tak memiliki aroma, namun hawanya terus mencekam
Bukan sekedar Undead yang dikendalikan penyihir gelap, atau sihir pengendali para penganut sekte gelap, melainkan Litch dengan kesadarannya sendiri.
Litch itu mengeluarkan pedang yang tertancap pada Silvanna.
Zaaaaaakkkkk!!
Suara pedang antara kulit dan daging serigala yang dikeluarkan secara perlahan. Tubuhku semakin lemas.
“Aku akan mati!!”
“T-tidak, aku gamau mati!”
Tubuhku tak mau bergerak karena rasa takut mematikan akal sehatku untuk berpikir rasional.
Sekejap pedang itu terlepas dari leher Silvanna.
Whooossshh!!
Dunia seperti melambat, melihat pedang yang dilontarkan Litch mengarah padaku.
Sekejap dalam waktu yang terasa melambat, batinku bergumam.
“Bahkan belum masuk bab satu.”
“Namun aku akan mati secara tragis...”
Setetes air mata terjatuh ke tanah dari mataku.
Sekejap.
ZRRRRRKKKK!!
Kepalaku terlontar, namun kesadaranku masih terjaga.
Sekejap aku melihat tubuhku sendiri dari kepala yang melayang di udara, tanpa kepala dan darah yang mengalir deras dari leher yang sudah terpisah dengan kepalaku.
Saat kepalaku menyentuh tanah, pandanganku kabur, mulutku menganga, berusaha bernapas, namun angin berhembus disela kepala tanpa kerongkongan.
Semakin kabur dan menggelap, kesadaranku menipis.
“Sial...”
Pikirku sebelum kesadaranku benar-benar menghilang.
“Maaf Dave, maaf liria.”
Musuh yang tak bisa dideteksi oleh Sewu, kecerobohanku hanya menyeretku dalam bencana diluar skenario.
Malapetaka yang membawaku menuju bendera kematian diluar para tokoh naskah.
Mati dalam bab kosong yang tak ada dalam outline.
Tahun 672, bulan 7 tanggal 10, putri seorang petani dan ibu rumah tangga, Lala Rosalia terbunuh di kedalaman hutan belantara desa Carrington, diarah paling timur desa menuju gunung Lunagen.
Kesannya lebih menyesakkan dan ada tekanan batin. Karena si MC ini tau, kalau dia kabur dari rumah tersebut. Orang tua asli dari tubuh yang ditempati oleh MC, akan khawatir dan mencarinya.