NovelToon NovelToon
Gara-gara Buket Bunga

Gara-gara Buket Bunga

Status: sedang berlangsung
Genre:Cinta Seiring Waktu
Popularitas:2.3k
Nilai: 5
Nama Author: hermawati

Disarankan membaca Harumi dan After office terlebih dahulu, agar paham alur dan tokoh cerita.


Buket bunga yang tak sengaja Ari tangkap di pernikahan Mia, dia berikan begitu saja pada perempuan ber-dress batik tak jauh darinya. Hal kecil itu tak menyangka akan berpengaruh pada hidupnya tiga tahun kemudian.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon hermawati, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Jadian

"Nih ..." Ari menyodorkan pipinya.

"Mau ngapain?" Setelah kejadian barusan, Sandi bersikap waspada. Dia memundurkan tubuhnya menjauh, sayangnya pegangan sofa membuatnya tetap di sana.

"Tampar lah, apalagi? Kan aku cium bibir kamu tanpa izin." Ari masih di posisi yang sama.

Sandi mendorong pipi mulus tanpa noda di depannya. "Aku tidak suka melakukan kekerasan." Sahutnya.

Ari menahan tangan yang mendorong pipinya. Matanya menatap Lamat gadis di hadapannya. "Artinya kamu, nggak marah sama aku. Begitu?"

"Udah terlanjur, dan nggak ada gunanya aku marah. Emang bisa ciuman pertama aku balik lagi?" Sandi tak berani menatap balik lelaki di depannya, dia terlalu grogi.

"Serius?" Mata Ari melebar. "Barusan itu, ciuman pertama kamu?" Dia tak percaya. "Umur kamu? Astaga, Sandi ... Mimpi apa aku semalam?" Ari benar-benar tak habis pikir.

Sandi menghempas tangan yang memeganginya. "Tidak usah mengejek dan menyamakan aku dengan perempuan yang pernah dekat kamu. Aku ini kolot dan tak menyukai sentuhan fisik sebelum menikah. Aku takut dosa." Dia memberikan alasan.

Ari berusaha mati-matian menahan senyumnya, rasanya dia bagai mendapatkan Jack pot terbesar.

"Aneh kan aku?"

Ari menggeleng tak setuju. "Sama sekali nggak, aku justru bangga dengan pemikiran kamu. Dan aku merasa beruntung bisa dekat dengan kamu." Tuturnya. "Aku boleh peluk, nggak?" Dia meminta Izin.

"Kalau aku tolak, emang kamu mau nurut?" Sandi memicingkan matanya. "Ciuman aja nggak bilang-bilang." Gumamnya pelan.

Ari terkekeh sambil menyandarkan dahinya pada pundak Sandi. "Hari ini aku bahagia banget. Terima kasih ya!"

"Bahagia kenapa?" Sandi melirik sekilas, dia mendapati rambut hitam legam dengan wangi shampo.

Ari menegakkan punggungnya sejenak, lalu menaruh dagunya di bahu perempuan yang diakuinya sebagai kekasih. "Sepertinya aku melanggar kesepakatan kita lebih awal."

Sandi memejamkan matanya, dia berharap Ari tidak mendengar detakan jantungnya yang begitu cepat. Ditatap intens dan begitu dekat, membuatnya salah tingkah.

"Jadi pacar aku beneran ya, San? Aku nggak mau pura-pura lagi." Ari meminta.

Sandi membuka lebar matanya, dia menoleh. Otomatis wajah mereka berjarak sangat dekat. Hendak mundur, tapi tangan Ari dengan sigap menahan tengkuknya. Lagi, Bibir mereka kembali bertaut. Tapi kali ini Sandi membalasnya, walau masih kaku.

Ari jelas tak menyia-nyiakan kesempatan ini, dia menekan kembali tengkuk Sandi agar ciuman mereka lebih dalam. Lidah beradu dan saling bertukar saliva.

Di sela-sela ciuman tersebut, Ari mengeram. Sudah lama sekali dia tak berciuman sampai sedalam ini. Mungkin terakhir saat bersama mantan calon istrinya.

Sandi melepas tautan bibir itu terlebih dahulu, karena malu dia langsung membuang muka. Sandi ingat beberapa menit lalu mengatakan, tidak menyukai sentuhan fisik. Tapi barusan? Dia benar-benar munafik.

"Hey ... Sayang! Kok buang muka? Ini aku di sini." Ari menyentuh lembut pipi pacarnya, agar menghadap padanya. Kini wajah keduanya kembali berhadapan. "Jadi pacar aku, ya?" Pintanya.

Dengan menahan senyum dan pipi memerah, Sandi menganggukkan kepalanya. Nasihat dari Jaka, Indah dan Mia. Dia abaikan.

"Yes ..." Ari berteriak dan memeluk tubuh pacarnya. "Terima kasih sayang ... Aku akan berusaha menjadi pasangan yang baik untuk kamu, dan aku akan berusaha tidak membuat kamu kecewa."

Sandi membalas pelukan hangat itu, rasanya hatinya lega. Dia bahagia, karena cintanya berbalas. Sandi benar-benar tak menyangka akan seperti ini.

***

Permintaan soal tinggal bersama, Sandi tolak mentah-mentah. Dia tetap kekeh kembali ke kamar kos. Ari terpaksa menerima keputusan pacarnya, karena diancam akan diputuskan.

Kini bukan hanya Antar jemput, tapi juga makan siang. Ari akan mendatangi Sandi. Mereka akan makan di warung kaki lima sekitar gedung kantor. Atau makan bersama di mobil, dengan menu makanan permintaan Sandi.

"Mas,"

"Hmmm ... Apa sayang?" Ari menaruh kotak makanannya, dia menyeka mulut dengan tisu yang selalu tersedia di mobilnya.

"Soal pulang ke Malang, kamu serius mau ikutan?" Sandi memastikan. Esok sudah hari Jumat, yang artinya dia harus pulang kampung untuk menghadiri resepsi pernikahan adik kandungnya.

"Kan udah pesan tiket, sayang!"

"Kamu memperkenalkan diri sebagai apanya aku?"

"Pacar lah."

"Aku baru putus dari Ali belum sampai dua bulan, terus sekarang aku pulang bawa pacar. Menurut kamu, apa tanggapan keluarga aku nantinya?"

Ari menaikan bahunya, "apapun itu aku akan hadapi." Dia mengambil Tumbler dari cup holder dan meminum isinya. "Kamu sudah menetap di Jakarta, dan mungkin akan sangat jarang pulang ke Malang. Dengan kata lain, kamu dan keluarga besar akan jarang berinteraksi. Jadi buat apa dipikirin. Hadapi aja! Ada aku bersama kamu." Ari menyemangati.

Ada benarnya ucapan Ari. Sandi hanya perlu datang bersama lelaki itu, menyapa kedua orang tuanya. Memberikan selamat kepada mantan pacar dan adik kandungnya. Satu lagi, memamerkan pacarnya yang tampan.

"Lanjut makan, mas!" Sandi menatap ke arah kotak makanan pacarnya.

Ari menurut, "sayang ... Di kampung kamu, kan kita cuma datang ke acara pernikahan adik kamu." Sandi mengangguk. "Sorenya naik kereta buat pulang ke rumah ibu aku, yuk! Aku mau kenalin kamu." Ajak Ari.

Sandi melongo, sendok yang seharusnya dia masukan ke mulut justru tertahan di udara. "Makan dulu itu, sayang ..." Ari menahan tawa, kekasihnya itu benar-benar memiliki ekspresi menggemaskan menurutnya.

Sandi memasukan sendok ke dalam mulut dan mulai mengunyah makanannya. "Apa nggak terlalu cepat? Belum ada seminggu jadian, masa mau dikenalkan ke ibu kamu."

"Aku kan juga akan dikenalkan ke orang tua dan keluarga besar kamu." Ari mengingatkan balik.

"Iya juga sih," Sandi bergumam. Dia meletakan sendok terlebih dahulu, "tapi apa kamu nggak malu?"

"Aku nggak lagi telanjang, jadi kenapa mesti malu?"

"Bukan itu maksud aku." Sandi menggoyangkan tangan nya.

"Lalu maksudnya apa?"

Sandi menatap gedung tempatnya bekerja dari balik kaca mobil. Di dalam sana ada mantan calon istri Ari, yang memiliki paras cantik dan bentuk tubuh bak gitar Spanyol. Sementara dirinya?

Sandi menunduk, dan menatap dirinya sendiri. Bisa dibilang, dia kurus walau masih ada lemak di dada. Tidak besar tapi juga tidak kecil, sedang lah. Wajahnya tidak ramah, sebagian orang bahkan mengatainya judes. Lalu apa yang akan Ari banggakan, kalau tiba-tiba dikenakan pada keluarga besar lelaki itu?

Kepercayaan dirinya, menurun drastis. "Datang ke kampung kamu lain kali aja ya? Aku belum siap ketemu keluarga kamu." Ungkap Sandi. Dia merasa minder, seandainya ada yang membandingkannya dengan mantan calon istri pacarnya.

Ari menelan terlebih dahulu makanan yang dikunyah nya. "Nggak bisa gitulah, nggak adil namanya. Aku aja ikut ke kampung kamu."

"Aku nggak minta." Sandi mendengus kesal, dia bahkan tidak berniat menghadiri pernikahan adiknya. Tapi karena Ari sudah terlanjur membelikan tiket pesawat, mau tidak mau dia harus berangkat. Sayang kalau seandainya tiket itu dibatalkan.

"Iya kamu emang nggak minta dan itu mau aku. Tapi cepat atau lambat, kamu akan aku perkenalkan dengan ibuku."

"Kenapa mesti kenalan? Baru banget jadian, kayak mau nikah aja." Sandi menggerutu.

"Memangnya kamu nggak mau nikah sama aku?" Tanya Ari.

"Mas, aku masih muda dan kita baru jadian belum sampai seminggu. Kok bisa-bisanya mikir cepat-cepat nikah. Lagian aku juga baru banget kerja di sini, nggak enak sama rekan kerja ku." Sandi menjawab, cukup masuk akal alasannya.

"Kamu nih, ada yang ngajak serius. Malah nolak. Katanya nggak mau ada kontak fisik berlebihan, ya aku tawarkan nikah lah."

"Kita belum tau karakter masing-masing." Sandi membantah. "Menikah itu butuh kesiapan mental dan finansial untuk rumah tangga."

"Aku sudah siap mental, masalah finansial aku nggak masalah. Aku punya properti, kendaraan, usaha dan tabungan."

Sepertinya Sandi akan kalah jika berdebat dengan pacarnya. "Kamu kali yang belum yakin sama aku." Tutur Ari. "Apa yang harus aku lakukan untuk meyakinkan kamu?" Tanyanya.

Sandi menaikan bahunya, tanpa diterangkan pun. Dia sudah memiliki bayangan soal kesiapan finansial dari pacarnya. Sejak mengetahui, jika Ari adalah pemilik gedung kosan. Sandi sadar betapa kayanya lelaki itu. Pekerjaan di warung kopi dan Binatu, hanya sekedar mengisi waktu luang. "Aku baru merasakan kerja di ibu kota, kalau kita nikah. Kamu pasti akan membatasi aku."

"Aku akan membiarkan kamu bekerja, selama kita belum punya anak. Atau kamu mau tetap kerja setelah punya anak, aku nggak masalah. Aku yang akan mengurus anak kita di rumah." Ari berkata penuh keyakinan. "Jadi kapanpun kamu siap, aku akan menikahi kamu."

"Oke, kalau gitu tunggu aku umur tiga puluh."

Ari mendelik, jika mereka menikah saat Sandi berumur tiga puluh tahun. Itu artinya tiga sampai empat tahun lagi. "Kelamaan, aku nggak mau jagain jodoh orang lagi." Trauma ditinggalkan, membuat Ari sedikit waspada.

"Siapa yang suruh kamu jagain jodoh orang? Aneh-aneh aja kamu." Sandi hampir tertawa, tapi setelahnya dia tersadar. "Maaf mas, bukan maksud aku menyinggung kamu." Dia merasa tak enak.

"Aku maafin." Sahut Ari. "Tapi selain aku nggak mau jagain jodoh orang lagi, aku juga nggak yakin bisa terus-terusan nahan diri soal hubungan fisik. Aku ini laki-laki normal yang sehat. Aku memiliki kebutuhan biologis yang harus terpenuhi, dan akan jadi masalah jika tak dipenuhi." Kepala pening dan mood yang dipastikan bakal memburuk.

"Kenapa jadi ngomongin kebutuhan biologis?" Sandi tak habis pikir.

"Aku laki-laki normal dan butuh menyalurkan hasrat. Sementara kita sudah sepakat tidak akan melakukan kontak fisik selain ciuman dan pelukan. Dan ..." Ari menggantung ucapannya.

"Dan apa?" Sandi penasaran.

Ari menghela napas, "setelah kita ciuman atau pelukan. Milikku mengeras, dan itu artinya kepalaku akan pening serta emosiku jadi tidak stabil. Jadi dari pada aku tiduri kamu sebelum menikah, bukannya lebih baik cepat-cepat menikahi kamu?"

Ingin Sandi bertanya soal kapan terakhir kali Ari menyalurkan hasratnya, tapi dia takut sakit hati mengetahui masa kelam pacarnya. Ingat, pemikirannya itu kolot.

"Terserah kamu." Hanya itu yang bisa Sandi tanggapi.

1
bunny kookie
top deh pokoknya 👍🏻💜💜
bunny kookie: bagus banget loh padahal kak,sat set loh cerita nya gk menye2 ,,
😭😭 apa yg sempat baca di paijo gk ikut kemari ya,ikut syedihh aku 😭😭😭
nabila anjani: Ka up lagi dong
total 3 replies
nabila anjani
Kak up lagi dong
Mareeta: udah aku up lagi ya
total 1 replies
bunny kookie
up lagi gak kak 😂
Mareeta: aku usahakan pagi ya kak
total 1 replies
bunny kookie
lanjut kak ☺
bunny kookie
nyampek sini aku kak thor ☺
Mareeta: terima kasih 😍 aku ingat dirimu pembaca setia karyaku
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!