Evelyn, penulis webtoon yang tertutup dan kesepian, tiba-tiba terjebak dalam dunia ciptaannya sendiri yang berjudul Kesatria Cinta. Tapi alih-alih menjadi tokoh utama yang memesona, ia justru bangun sebagai Olivia, karakter pendukung yang dilupakan: gadis gemuk berbobot 90kg, berkacamata bulat, dan wajah penuh bintik.
Saat membuka mata, Olivia berdiri di atas atap sekolah dengan wajah berantakan, baju basah oleh susu, dan tatapan penuh ejekan dari siswa di bawah. Evelyn kini harus bertahan dalam naskahnya sendiri, menghindari tragedi yang ia tulis, dan mungkin… menemukan cinta yang bahkan tak pernah ia harapkan.
Apakah ia bisa mengubah akhir cerita sebagai Olivia? Atau justru terjebak dalam kisah yang ia ciptakan sendiri?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Anastasia, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 19.Mencoba berbaikan.
Di koridor sekolah yang ramai, Oliv berjalan pelan sambil menoleh ke kanan dan kiri, mencari sosok Luna. Setiap langkahnya terasa berat karena sudah berhari-hari ia berusaha bicara dengan Luna, tapi gadis itu selalu saja menghindar.
Akhirnya, ia melihat Luna di dekat loker, sibuk membereskan buku. Oliv pun memberanikan diri mendekat. Namun, saat mata mereka hampir bertemu, Luna buru-buru menutup loker dan berbalik, pura-pura tidak melihatnya. Ia berjalan cepat melewati Oliv tanpa sepatah kata pun.
Beberapa teman sekolah yang melihat kejadian itu mulai berbisik-bisik.
"Kasihan banget, ditolak mentah-mentah," salah satu siswa berkomentar sambil tertawa kecil.
"Oliv nggak capek ngejar cewek yang jelas-jelas nggak mau?" celetuk yang lain dengan nada mengejek.
Oliv hanya bisa menunduk, menahan rasa malu yang mulai terasa menyengat. Meskipun cibiran itu membuatnya kesal, ia tetap tidak menyerah. Dalam hatinya, ia yakin ada alasan mengapa Luna bersikap seperti itu,karena kesalahannya telah mengecewakan dirinya. Walaupun Luna bersikap seperti itu padanya ia yakin kalau Luna bersikap seperti itu padanya karena marah,meski seluruh sekolah kini mulai memperhatikan mereka tapi Oliv tidak akan menyerah.
Di halaman belakang sekolah yang sepi, Oliv akhirnya berhasil menghadang Luna. Ia berdiri tegak di depan Luna, menahan langkah gadis itu yang hendak pergi.
“Luna, cukup! Kita perlu bicara, sekarang,” kata Oliv tegas, suaranya terdengar sedikit bergetar karena campuran emosi dan rasa sakit hati.
Luna terdiam sejenak, menatap tanah tanpa berani menatap mata Oliv. “Oliv… aku tidak punya apa-apa untuk dibicarakan,” jawabnya pelan, mencoba tetap tenang.
Namun Oliv tidak bergeming. “Kalau begitu aku yang akan bicara. Aku nggak peduli kalau kamu mau menjauh, tapi aku berhak tahu alasannya. Aku lelah pura-pura tidak melihat tatapan dinginmu setiap hari. Jadi..kita perlu berbicara empat mata?”
Udara terasa menegang di antara mereka. Suara angin yang melewati pepohonan terdengar lebih jelas dari biasanya. Luna akhirnya menarik napas panjang, matanya beralih menatap Oliv meski terlihat ragu.
“Baiklah… kita bicara,” ucapnya akhirnya. “Tapi jangan salahkan aku kalau setelah ini, kamu menyesal sudah memaksa.”
Oliv hanya menatap balik, hatinya berdebar kencang. Ia tidak tahu apa yang akan Luna katakan, tapi ia siap mendengarnya.
Oliv menatap Luna dengan tatapan bersalah. Ia menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara lirih, “Luna… aku minta maaf. Aku tahu aku salah waktu itu. Aku pergi dari sekolah tanpa bicara sama kamu, tanpa penjelasan… Aku bodoh. Dan aku paham kalau kamu marah.”
Luna menatapnya tajam, perasaan yang ia tahan selama ini akhirnya meledak. “Marah? Tentu saja aku marah, Oliv! Kau pergi begitu saja, menghilang tanpa kabar, dan sekarang kau datang seolah semuanya bisa kembali seperti semula?”
Oliv terdiam, menahan rasa sakit dari kata-kata Luna. “Aku punya alasan… tapi aku tahu itu bukan pembenaran. Aku hanya ingin kau dengar penjelasanku. Aku nggak mau kita terus begini, pura-pura nggak saling kenal di sekolah.”
Perdebatan pun pecah. Mereka berdua saling mengeluarkan unek-unek yang selama ini yang terpendam, Luna dengan rasa sakit dan kecewanya, Oliv dengan rasa bersalah dan keinginannya memperbaiki semuanya. Suara mereka sesekali meninggi, namun jelas keduanya masih peduli satu sama lain meski amarah menguasai.
Yang tidak mereka sadari, di kejauhan, tiga sosok berdiri memperhatikan mereka dari balik gedung sekolah. 3T kelompok siswa yang dikenal suka ikut campur urusan orang lain memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu.
Salah satu dari mereka berbisik, “Kenapa Luna bersikap seperti itu pada Oliv?”ucap Owen
Yang lain tersenyum melihat sikap perduli Owen pada Oliv,
"Owen, ada apa kamu dengan Oliv ?" Tanya Damian sambil tersenyum.
"Ak..aku tidak apa dengan si bakpao! " Ucap gugup Owen.
"Sudahlah sebaiknya kita pergi, tak pantas menguping pembicaraan orang" Ucap Leo.
Akhirnya mereka bertiga pergi, dengan Damian menarik tangan Owen yang masih terus disana,matanya tak lepas dari Oliv dan Luna yang masih berdebat. Mereka berdua tanpa menyadari mereka sedang diawasi.
Di tempat lain tidak jauh dari tempat mereka, Owen menarik tangannya dari Damian.
"Lepaskan!, memangnya aku anak kecil kalian perlakuan aku seperti ini" Ucap kesal Owen.
Di lapangan basket sekolah, Owen berdiri dengan wajah tegang. Ia mengepalkan tangan, jelas terlihat amarahnya memuncak.
“Aku nggak bisa tinggal diam lihat dia terus-terusan nyakitin Oliv kayak gini,” gumam Owen sambil melangkah cepat menuju arah mereka.
Namun sebelum ia sempat mendekat, Leo berdiri menghadang di depannya. “Berhenti, Owen. Ini bukan urusanmu.”
Owen menatap Leo tajam. “Bukan urusanku? Oliv yang meminta perlindungan Luna pada kita,tapi ia malah memperlakukan Oliv seperti itu! Kau nggak lihat bagaimana dia dipermalukan terus sama Luna? Kalau dia nggak mau bicara baik-baik, aku yang akan memaksanya!”
Leo menggeleng pelan, suaranya dingin. “Kau pikir dengan memaksa Luna itu akan menyelesaikan apa pun? Kau cuma akan memperburuk keadaan. Oliv nggak butuh kau jadi pahlawan, dia butuh ruang.”
Owen mendengus kesal. “Ruang? Yang dia dapat sekarang cuma rasa sakit! Kau selalu terlalu lembut, Leo. Kadang masalah harus dihadapi, bukan dihindari!”
Perdebatan keduanya mulai memanas, suara mereka meninggi hingga menarik perhatian beberapa siswa di sekitar.
Damian, yang sejak tadi memperhatikan, akhirnya maju dan berdiri di antara mereka. “Cukup kalian berdua! Ini bukan waktunya untuk saling serang. Kita di sini harusnya bantu mereka, bukan malah ribut sendiri!”
Owen dan Leo sama-sama terdiam sejenak, meski sorot mata mereka masih saling menantang. Damian mendesah panjang, berusaha menahan kedua sahabatnya agar tidak membuat keributan lebih besar.
Suara Owen dan Leo makin meninggi.
“Aku nggak peduli, Leo! Aku nggak bisa tinggal diam lihat Oliv disakiti!” bentak Owen, mendorong bahu Leo.
Leo tak tinggal diam, sorot matanya tajam. “Dan kau pikir Oliv mau kau ikut campur? Kau cuma bikin semuanya makin buruk, Owen!”
Suasana memanas, dan beberapa siswa mulai memperhatikan mereka dari jauh. Damian, yang berdiri di tengah, mengangkat kedua tangannya.
“Cukup, kalian berdua!” serunya. “Kalau kalian terus berisik begini, semua orang bakal fokus ke kalian dan Oliv bakal kena gosip lebih parah lagi!”
Kedua sahabatnya terdiam, meski wajah mereka masih dipenuhi amarah. Damian menghela napas panjang, lalu menoleh ke arah halaman belakang sekolah, tempat Oliv dan Luna berada. Diam-diam, ia melangkah mendekat dan mengintip dari balik pohon.
Pandangannya melembut saat ia melihat Oliv dan Luna yang kini berdiri lebih tenang. Mereka tampak berbicara dengan suara pelan, bahkan sesekali tersenyum tipis. Tampaknya, pertengkaran tadi berakhir dengan saling pengertian.
Damian berbalik dan menatap Owen serta Leo. “Sudah cukup kalian ribut. Ayo ikut aku.”
Kedua sahabatnya saling bertukar pandang bingung. “Untuk apa?” tanya Owen.
Damian tersenyum samar. “Untuk lihat sendiri. Oliv dan Luna sudah berbaikan. Jadi berhentilah bertengkar, dan biarkan mereka menyelesaikan sisanya tanpa drama tambahan dari kalian.”
Dengan enggan, Owen dan Leo mengikuti Damian. Perlahan mereka bertiga mendekat, menyaksikan dari kejauhan bagaimana Oliv dan Luna akhirnya bisa berbicara dengan tenang, tanpa amarah yang tadi sempat menguasai mereka.
Owen dan Leo akhirnya berdiri berdampingan, saling melempar pandang sejenak sebelum Owen mendecak pelan. “Baiklah… aku akui, mungkin aku terlalu panas kepala,” gumamnya.
Leo menatapnya singkat lalu mengangguk. “Dan aku mungkin terlalu keras kepala. Yang penting, Oliv sudah beres dengan Luna.”
Keduanya akhirnya saling menepuk bahu, menandakan perdamaian. Damian tersenyum lega melihat keduanya akhirnya berhenti bertengkar.
Tak jauh dari mereka, Oliv dan Luna berdiri berdua dengan wajah lebih tenang. Senyum tipis akhirnya muncul di wajah keduanya, tanda mereka sudah berdamai.
Saat suasana terasa lebih damai, 3T yang sedari tadi mengintai,akhirnya berjalan mendekat. Mereka menyeringai melihat mereka berdua berkumpul.
“Wah, wah… akhirnya rukun lagi. Sayang sekali, aku kira bakal ada drama lebih banyak,” ujar Damian salah satu anggota 3T dengan nada mengejek.
Owen menoleh, matanya menyipit. “Aku kira kalian akan saling jambak rambut?,gak seru ah!”
Namun sebelum suasana kembali memanas, Damian cepat-cepat menahan Owen dengan menepuk bahunya. “Bukannya kamu tadi begitu khawatir dengan Oliv dan mau membelanya.”
"Kamu bi..bicara apa?, siapa yang mengkhawatirkan bakpao?, aku cuma tidak mau melihat pertengkaran dua wanita"
Suasana pun sedikit mencair ketika Owen melirik ke arah Oliv dan tersenyum nakal. “Jadi… kalian sudah baikan, ya? Hmm… jangan-jangan sebentar lagi aku harus siap-siap terima undangan makan malam berdua?”
Oliv langsung memutar bola matanya. “Serius, Omelet? Baru juga damai, kau sudah mulai usil lagi!.Walaupun kami sudah baikan ataupun bertengkar, itu bukan urusanmu”
Mereka berdua saling menatap dengan kesal, Luna dan Leo terkekeh kecil, sementara Damian hanya menggeleng pelan. “Nah, kurasa semuanya kembali normal sekarang…,” ucapnya sambil tersenyum.