NovelToon NovelToon
Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Satu Satunya Yang Tak Terpilih

Status: sedang berlangsung
Genre:Action / Fantasi / Light Novel
Popularitas:942
Nilai: 5
Nama Author: nazeiknow

Oiko Mahakara bukan siapa-siapa.
Di sekolah, dia hanya bayangan yang selalu diinjak.
Tertawa orang lain adalah derita baginya.
Tapi ketika cahaya menelan dunia lamanya, semuanya berubah.

Dipanggil ke dunia lain bersama murid-murid lainnya, takdir mereka tampak seperti cerita klasik: menjadi pahlawan, menyelamatkan dunia.

Namun, tidak semua yang datang disambut.
Dan tidak semua kekuatan... bersinar terang.

Ketika harapan direnggut dan dunia membuangnya, dari kehampaan… sesuatu terbangun.

Kegelapan tidak meminta izin. Ia hanya mengambil.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon nazeiknow, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Chapter 19: di lembah kematian

langkah.

Langkah.

Langkah.

Langkah demi langkah masih berlanjut.

Semak-semak terbelah pelan saat mereka berjalan melewatinya. Rinya, mungil dan lelah, masih tertidur dalam gendongan Oiko. Tubuhnya ringan, napasnya tenang, dan kuping di atas kepalanya bergerak pelan karena hembusan angin hutan.

Mikami berjalan di depan, bersama Sizu, yang wajahnya tetap tenang. Sorot matanya seperti selalu waspada pada sekeliling. Keduanya tak banyak bicara, hanya fokus—karena mereka tahu, hutan di Lembah Kematian tidak pernah benar-benar aman.

Oiko melangkah di belakang, mengikuti jejak mereka. Ia sesekali menunduk, menyesuaikan langkahnya dengan berat Rinya di pelukannya, namun wajahnya tetap teduh.

Mereka meninggalkan jejak.

Langkah mereka seperti irama teratur di tanah lembab.

Pohon demi pohon telah mereka lewati, ranting-ranting kecil patah di bawah kaki mereka. Aroma rumput dan udara pagi yang dingin masih menyelimuti lembah.

Namun, jauh di tempat lain, di sebuah tebing tinggi—tempat yang tidak asing bagi mereka karena di sanalah mereka dahulu jatuh ke lembah ini—suatu pergerakan baru dimulai.

Air Terjun tempat oiko mikami Rinya terjatuh

Di atas tebing yang mengarah ke air terjun besar itu, tujuh sosok berdiri.

Mereka diam, tapi mengintimidasi.

Pandangan mereka tertuju jauh ke bawah, ke dalam hutan lebat dan lembah berkabut yang dipenuhi suara liar dan aura bahaya.

Tujuh orang. Lima laki-laki. Dua perempuan.

Masing-masing membawa senjata. Masing-masing memiliki ciri khas aura berbeda.

Mereka bukan orang biasa.

Seorang laki-laki di antara mereka berdiri di depan. Tinggi, rambutnya keperakan, dan matanya tajam seperti elang. Di tangannya, ia menggenggam pedang panjang berwarna obsidian.

Namanya Arx.

Ia tak berbicara. Tapi saat angin meniup jubahnya, suara pelan terdengar:

“Kita akan masuk.”

Yang lainnya tak menjawab.

Namun mata mereka berubah tajam, seolah menunggu aba-aba.

Di samping Arx, seorang perempuan dengan rambut hitam panjang mengikat rambutnya perlahan. Di punggungnya, busur sihir dengan anak panah yang tak biasa—berkilau seperti terbuat dari kristal es. Matanya biru dingin, dan wajahnya tenang seperti danau beku.

Namanya Neira.

Di belakang mereka, seorang laki-laki lain mengusap sarung tangan yang menyala merah. Seringai tampak di wajahnya.

Namanya Roud, petarung brutal dengan kekuatan fisik mematikan.

Dua sosok lain, Zeth dan Ivar, berdiri diam. Zeth mengenakan tudung gelap dan tongkat pendek penuh ukiran di tangannya. Ivar, lelaki berotot dengan dua kapak pendek tergantung di pinggangnya, menatap jauh seperti menimbang sesuatu.

Satu lagi perempuan di ujung, Lia, terlihat muda dan pendiam. Di tangannya, seuntai pita biru melambai tertiup angin, tapi aura sihir mengalir dari tubuhnya, terasa lembut namun mencekam.

Dan yang terakhir—seorang anak muda berambut merah, lebih pendek dari yang lain. Ia tampak gugup, tapi matanya berbinar penasaran. Namanya Kilen, sang pemula, namun ia diakui cukup berbakat untuk ikut ke misi ini.

“Semua anggota, nol TERJUNN!”

Seruan Arx menggema.

Tak ada aba-aba kedua.

Mereka melompat.

Tujuh bayangan menjatuhkan diri dari tebing curam, tubuh-tubuh mereka melayang di udara, diterpa angin lembah yang keras. Jubah mereka berkibar. Langit kelabu seolah menyambut kehadiran mereka dengan raungan sunyi.

Wuuusshhh...

Beberapa dari mereka memperlambat jatuhnya dengan sihir.

Lainnya menghantam tanah dengan teknik ringan kaki, menghilangkan dampak gravitasi.

Mereka tiba di dasar.

Lembah Kematian.

Pintu awal—tempat yang sama di mana Oiko, Mikami, dan Rinya pernah terjatuh.

Namun, mereka bukan tersesat.

Mereka datang dengan tujuan.

...

Tujuh Bayangan Baru

Arx berdiri di depan, matanya menyisir hutan yang luas.

“Kita mulai perburuan dari sini.”

Neira mengangguk. “Target utama masih buram. Tapi energi ganjil terdeteksi sejak dua hari lalu… mungkin karena mereka.”

Roud memutar lehernya. “Semoga mereka kuat, aku lagi pengen gebukin sesuatu.”

Kilen menoleh ke atas tebing. “Kita beneran ga bakal bisa naik lagi ya?”

Zeth menjawab datar, “Begitulah Lembah Kematian. Sekali masuk, tak ada jalan kembali.”

Lia menunduk. “Tapi kita bisa cari pintu keluarnya. Itu bagian dari misinya, kan?”

Ivar tertawa pendek. “Kalau ga mati duluan.”

Semua diam sejenak.

Mereka tahu ini bukan tempat biasa.

Mereka tahu apa yang mengintai di balik kabut dan pohon-pohon tinggi itu.

Namun apa tujuan mereka sebenarnya?

Apa yang membuat mereka masuk ke wilayah yang bahkan dicap mustahil untuk keluar hidup-hidup?

Jawabannya ada di tengah hutan itu.

Tepatnya… pada satu anak laki-laki bernama Oiko.

Arx menatap ke arah timur.

“Kita mulai dari sana. Aku bisa mencium sesuatu… sesuatu yang berbeda.”

Langkah pertama mereka dimulai.

Tujuh orang.

Tujuh kekuatan berbeda.

Dan satu tujuan tersembunyi.

Sementara itu, Oiko dan teman-temannya tak menyadari bahwa mereka kini bukan satu-satunya yang ada di lembah ini.

Bayangan baru telah muncul. Dan nasib mereka akan segera berubah.

Langkah kaki mereka terus bergema di antara pepohonan lebat.

Tujuh orang dari kelompok Anggota Nol kini telah masuk lebih dalam ke wilayah Lembah Kematian. Mereka bergerak cepat, tapi tetap waspada. Aura dari lembah ini tidak ramah. Bahkan untuk para elite sekelas mereka, rasa dingin dan tekanan dari tempat ini masih mampu membuat bulu kuduk merinding.

Di antara mereka, seorang perempuan bersuara.

Lia, dengan pita biru di tangannya, menatap ke arah Ivar sambil berjalan.

“Tujuan kita ke sini… sebenarnya untuk apa?” tanyanya pelan namun penuh rasa ingin tahu.

Ivar mengangkat bahunya seolah santai, namun jawabannya lugas.

“Kita diperintahkan langsung oleh Tuan Zastro. Katanya, ada Leviathan yang bangun di sini. Kita harus menjinakkannya.”

Lia menaikkan alisnya, lalu tersenyum kecil—nada suaranya sedikit sombong,

“Leviathan? Huh… gampang itu.”

Beberapa anggota lain hanya menoleh sejenak, lalu kembali menatap ke depan.

Mereka tahu Lia bukan bicara kosong. Dia memang punya kekuatan besar, terutama di bidang sihir penjinakan dan ilusi. Tapi tetap saja… Leviathan adalah makhluk mitos kelas bencana. Bahkan para dewa pun berhati-hati bila berurusan dengannya.

Namun mereka tak ragu. Karena mereka adalah Anggota Nol, pasukan rahasia tingkat tertinggi dari organisasi Zastro. Dikirim hanya untuk misi yang mustahil. Dan bagi mereka, mustahil adalah makanan harian.

Langkah mereka terus melaju, membelah semak dan hutan berkabut.

...

Di sisi lain, di bawah naungan pohon rimbun…

Oiko, Rinya, Mikami, dan Sizu telah berjalan cukup jauh. Tubuh mereka mulai lelah, terutama Rinya yang kecil dan selalu tersandung sejak tadi. Oiko yang sejak awal menjaga posisi paling belakang, akhirnya berbicara.

“Kita istirahat dulu ya…”

Sizu dan Mikami yang berjalan di depan, langsung berhenti.

Mikami menoleh ke belakang dan mengangguk pelan. “Ya, setuju banget…”

Mereka semua lalu berbalik dan masuk ke sebuah area yang tampak cukup aman—di antara pohon-pohon tinggi dengan daun yang lebat, rerumputan hijau menyelimuti tanah, dan cahaya matahari menembus celah daun membentuk pola-pola indah di tanah.

Oiko menurunkan Rinya dari gendongannya, perlahan-lahan, seperti menangani benda rapuh.

Rinya masih setengah tertidur, namun matanya perlahan terbuka. Ia menatap Oiko dengan tatapan kosong sebentar, lalu memejamkan lagi matanya begitu menyentuh rumput empuk.

Oiko duduk di sampingnya.

Ia menatap Rinya yang kecil, mungil, dan tenang dalam tidur itu.

Lalu, perlahan—dengan hati-hati—Oiko mengulurkan tangan.

Ia menyentuh kuping kecil di atas kepala Rinya, kuping seperti milik hewan, yang selalu bergerak pelan setiap kali ditiup angin.

Kuping itu lembut.

Rinya tidak menolak. Dia hanya bergumam pelan dalam tidur, namun tidak membuka matanya. Mungkin... dia merasa nyaman.

Mikami tertawa ringan.

Duduk tidak jauh dari mereka, dia melihat adegan itu sambil tersenyum.

“Hahaha… kamu memang suka telinga si Rinya...”

Oiko hanya tersenyum kecil, tapi wajahnya agak memerah.

“.....”

Sizu berdiri diam beberapa meter di dekat batang pohon, bersandar sambil menatap langit dari celah dedaunan. Dia tak berkata apa-apa, hanya mengamati suasana sekitar. Meskipun terlihat tenang, namun dia selalu waspada.

Suasana menjadi damai untuk sesaat.

Daun-daun bergoyang pelan diterpa angin.

Mikami lalu merebahkan tubuhnya di rumput, mendesah lega.

“Duhh… akhirnya bisa selonjoran juga. Kayaknya kaki gue udah nempel ke tanah hahaha…”

Oiko tersenyum, tapi tetap fokus pada Rinya.

Perlahan, dia merapikan rambut Rinya agar tidak menutupi wajahnya.

Anak kecil itu memang terlihat seperti adik sendiri bagi Oiko—selalu ceroboh, tapi manis dan tulus.

"Tidurlah sebentar lagi ya..." bisik Oiko.

Langit sedikit berubah.

Di atas lembah, awan tipis mulai berkumpul.

Tak ada yang tahu bahwa tidak jauh dari tempat mereka, tujuh kekuatan besar kini mendekat.

Namun sekarang, yang ada hanya ketenangan.

Cahaya matahari hangat.

Rumput lembut.

Dan suara angin yang mendesir di sela daun.

Mikami menatap ke arah Oiko.

“Kamu kayak kakak beneran ya, haha.”

Oiko melirik sebentar. “Heh? Emang kenapa?”

“Liat aja. Rinya bisa tidur nyenyak di pangkuanmu. Kalo aku yang gendong, dia selalu nendang,” kata Mikami sambil ketawa pelan.

Oiko tertawa juga, pelan dan jujur.

Untuk sesaat, di antara tekanan dan bahaya yang mengintai, mereka bisa merasa normal.

Namun... Sizu tiba-tiba berkata,

“Jangan terlalu lama. Kita tak bisa berdiam terlalu banyak.”

Mikami mengangguk. “Iya, iya. Istirahat 10 menit aja cukup, kan?”

Oiko menunduk ke arah Rinya, lalu pelan-pelan mengusap pipinya.

“Maaf ya, Rin. Kita harus jalan lagi sebentar lagi.”

Sementara itu, di arah utara lembah…

Anggota Nol kini berada tidak jauh dari posisi Oiko.

Arx menghentikan langkahnya, dan Neira segera mendekat.

“Apa kau merasakannya?” tanya Neira.

Arx mengangguk pelan. “Ada sesuatu. Bukan Leviathan. Tapi... energi ganjil. Seperti… kekuatan yang belum bangkit sempurna.”

Zeth maju ke depan, membuka kitab kecil dari jubahnya dan membacakan sesuatu.

Ivar mengayunkan kapaknya ke samping.

“Apa kita bersihkan aja semua yang kita temui?”

Neira menjawab tegas,

“Tidak. Tuan Zastro ingin semua target hidup. Termasuk siapa pun yang dekat dengan Leviathan.”

Lia melirik ke semak-semak.

“Kupikir… kita akan segera bertemu mereka.”

1
Protocetus
jika berkenan mampir ya ke novelku Frontier
HarusameName
bukan hasil AI 'kan, ini?
HarusameName: Narasinya bagus, loh! Nice work.
nazeiknow: kalau ga libur up chapter nya per hari "Minggu"
total 4 replies
nazeiknow
JANGAN LUPA LIKE TEMAN BIAR SAYA LEBIH SEMANGAT MENULIS CERITA INI KALAU BISA LOVE LOVE DI PENCET 😉
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!