Aruna telah lama terbiasa sendiri. Suaminya, Bagas, adalah fotografer alam liar yang lebih sering hidup di rimba daripada di rumah. Dari hutan hujan tropis hingga pegunungan asing, Bagas terus memburu momen langka untuk dibekukan dalam gambar dan dalam proses itu, perlahan membekukan hatinya sendiri dari sang istri.
Pernikahan mereka meredup. Bukan karena pertengkaran, tapi karena kesunyian yang terlalu lama dipelihara. Aruna, yang menyibukkan diri dengan perkebunan luas dan kecintaannya pada tanaman, mulai merasa seperti perempuan asing di rumahnya sendiri. Hingga datanglah Raka peneliti tanaman muda yang penuh semangat, yang tak sengaja menumbuhkan kembali sesuatu yang sudah lama mati di dalam diri Aruna.
Semua bermula dari diskusi ringan, tawa singkat, lalu hujan deras yang memaksa mereka berteduh berdua di sebuah saung tua. Di sanalah, untuk pertama kalinya, Aruna merasakan hangatnya perhatian… dan dinginnya dosa.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Dewi Adra, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
TDT 19
Senja mulai menua di balik jendela rumah. Suara detik jam di dinding terdengar nyaring di tengah hening yang menggantung di ruang tamu. Aruna duduk seorang diri, tubuhnya membeku di sofa, sementara pikirannya melayang entah ke mana. Sudah berjam-jam ia menanti suara mobil di depan rumah, tapi yang terdengar hanya desir angin dan cuitan burung yang pulang ke sarang. Bagas belum pulang. Tak ada kabar. Tak satu pun pesan.
Kata-kata Bagas pagi tadi masih membekas seperti luka baru yang terbuka: “Kamu lupa kalau kamu itu dulu siapa.”
Seketika, semua kenangan tentang perjuangannya tentang cinta yang dulu mereka bangun bersama terasa seperti debu yang tak berharga.
Dengan mata nanar, Aruna mengusap sudut matanya. Lalu tiba-tiba, ponselnya berdering. Nama di layar itu membuat jantungnya bergetar Raka.
Ia mengangkatnya pelan. “Halo...”
“Ibu Aruna... apa kabar?” Suara itu lembut, tapi terdengar cemas. Seolah tahu bahwa seseorang di seberang sana sedang berjuang agar tidak runtuh.
Aruna menelan ludah sebelum menjawab. “Aku... masih bernapas,” ujarnya, mencoba tersenyum, meski suaranya nyaris pecah.
“Maaf kalau saya ganggu. Tapi sejak tadi siang saya kepikiran terus. Saya cuma ingin tahu Ibu baik-baik saja atau tidak.”
Ada jeda panjang sebelum Aruna menjawab. Hatinya menghangat. Di tengah kehampaan ini, masih ada seseorang yang benar-benar peduli, bukan karena kewajiban, tapi karena rasa.
“Terima kasih, Raka...” ucapnya lirih. “Teleponmu ini... menyelamatkanku dari rasa sepi yang begitu dalam.”
“Ibu tidak sendiri. Saya di sini, selalu ada kalau Ibu butuh seseorang buat dengar,” katanya dengan nada pelan tapi penuh keyakinan. “Kalau Ibu ingin keluar rumah, menghirup udara segar, atau apa pun biar saya yang antar. Tapi janji, jangan pendam semua sendirian.”
Aruna memejamkan mata, napasnya berat namun lega. “Kalau sampai besok Bagas belum pulang... mungkin aku harus benar-benar pergi dari rumah ini. Aku lelah... Raka. Aku nggak tahu lagi tempatku di hidupnya. Dia bicara seolah aku ini penumpang di rumah yang aku bangun bersamanya.”
“Kalau itu yang Ibu pilih, saya akan temani. Tapi malam ini, istirahat dulu. Jangan buat keputusan saat hati sedang luka. Besok pagi... kalau Ibu masih ingin pergi, saya akan siap di depan rumah, tanpa banyak tanya.”
Aruna tak menjawab langsung. Tapi senyum kecil mengembang di wajahnya. Senyum yang tulus, walau mata masih sembab.
“Terima kasih, Raka...” bisiknya. “Kamu selalu datang saat aku paling rapuh.”
Telepon ditutup. Tapi kehangatannya masih menetap. Malam itu, Aruna tak lagi merasa sendiri. Dan untuk pertama kalinya setelah lama, ia merasa punya tempat berpulang meski bukan pada Bagas.
Malam kian larut. Di dalam kamar yang remang, hanya suara kipas angin dan detak jarum jam yang menemani. Raka berbaring di atas tempat tidurnya, menatap langit-langit yang gelap, tapi pikirannya terang oleh satu nama Aruna.
Ia menghela napas panjang, tangannya menyilang di dada, sementara pikirannya terus berputar.
Ada apa denganku...? batinnya. Kenapa bayangan wajahnya selalu datang tanpa aku undang? Kenapa aku begitu ingin tahu keadaannya setiap waktu?
Ia memejamkan mata, mencoba mengusir resah yang mulai menjalar. Tapi yang terbayang justru raut wajah Aruna sore tadi lelah, tetapi tetap anggun. Rapuh, tapi tetap berusaha tegar. Wanita itu... begitu berbeda dari siapa pun yang pernah ia kenal.
Raka menggeliat, lalu duduk sambil mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia merasa bersalah. Pada dirinya sendiri. Pada kekasihnya Rita yang belakangan justru seperti bayangan. Hubungan mereka mulai terasa hambar, tanpa arah. Rita terlalu manja dan sibuk dengan ambisinya. Semuanya terasa berjalan dengan keterpaksaan.
Sementara Aruna... gumamnya lirih, wanita itu begitu sabar dan mandiri, aku ingin melindunginya, ingin membuatnya tenang. Padahal aku tahu aku tak seharusnya merasa sejauh itu.
Raka memandang ke luar jendela yang separuh terbuka. Angin malam masuk membawa dingin, tapi dadanya terasa panas oleh dilema yang membelit. Ia bukan pria yang suka bermain hati. Tapi kali ini, hatinya sendiri yang bermain tak adil.
Ia bangkit dan melangkah ke dapur, menuangkan segelas air. Tapi bahkan saat meneguknya pun, pikirannya tetap tertambat pada satu pertanyaan yang terus mengusik: Apakah aku jatuh cinta pada istri orang?
Ia tidak ingin mengakui. Tapi malam ini, diam-diam hatinya menjawab ya.
___
Keesokan harinya, sinar matahari menyelinap lembut ke dalam kamar, tapi tidak cukup hangat untuk menenangkan hati Raka. Ia menatap layar ponselnya yang berisi belasan pesan dari Rita pesan panjang berisi keluhan, tanya kenapa ia tidak membalas, dan nada-nada cemburu yang terasa menguras energi.
Raka mengembuskan napas pelan. Pesan-pesan itu terasa seperti beban, bukan pelipur rindu. Hubungan mereka sudah lama kehilangan kelembutan. Rita selalu ingin dimengerti, tapi tak pernah benar-benar mencoba mengerti. Ia manja, menuntut, dan sering mempermasalahkan hal-hal kecil yang tak penting. Dulu, Raka bisa mentoleransi semua itu. Tapi sekarang, semua terasa berbeda.
Sambil menyender di kursi kerjanya, ia membuka galeri foto dan tanpa sadar melihat gambar hamparan kebun dari kunjungannya bersama Aruna kemarin. Di sana ada foto Aruna berdiri dengan keranjang di tangan, rambutnya tertiup angin, wajahnya lelah tapi penuh ketulusan. Ia tidak pernah meminta perhatian, tapi diam-diam menarik hati.
Seketika ponselnya berdering nama Rita tertera di layar. Raka memandangi panggilan itu, membiarkannya berdering sampai mati. Ia tak siap mendengar suara Rita yang kemungkinan besar akan menuduh atau merajuk lagi. Ia lelah, dan untuk pertama kalinya... ia memilih diam.
Mungkin aku memang harus jujur pada diriku sendiri, pikirnya. Perasaanku sudah tak lagi utuh untuk Rita.
Ia tahu, jika terus begini, ia akan menyakiti dua hati: hati Rita yang menuntut kejelasan, dan hatinya sendiri yang kini mulai condong pada sosok yang tak seharusnya ia cintai.
Namun, saat ia kembali melihat langit biru di luar jendela dan mengingat senyum Aruna yang menyambutnya dengan secangkir teh kemarin, ia sadar ada hal-hal yang datang diam-diam, dan tumbuh tanpa pernah diminta.
Dan kini, Raka hanya bisa bertanya dalam diam, Apakah aku siap menanggung konsekuensinya...?
prosanya sip...mkin skbma novel mu thor