Pertemuan antara Yohanes dan Silla, seorang gadis muslimah yang taat membawa keduanya pada pertemanan berbeda keyakinan.
Namun, dibalik pertemanan itu, Yohanes yakin Tuhan telah membuat satu tujuan indah. Perkenalannya dengan Sila, membawa sebuah pandangan baru terhadap hidupnya.
Bisakah pertemanan itu bertahan tanpa ada perasaan lain yang mengikuti? Akankah perbedaan keyakinan itu membuat mereka terpesona dengan keindahan perbedaan yang ada?
Tulisan bersifat hiburan universal ya, MOHON BIJAK saat membacanya✌️. Jika ada kesamaan nama tokoh, peristiwa, dan beberapa annu merupakan ketidaksengajaan yang dianggap sengaja🥴✌️.
Semoga Semua Berbahagia.
---YoshuaSatio---
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon YoshuaSatrio, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
sarapan pertama
Pagi yang dingin di kota B diawali dengan hujan rintik yang turun malas sejak semalam.
“Aku berangkat agak pagi, Mah. Ada yang harus dikerjakan di tempat lain,” pamit Yohan setelah menyelesaikan sarapan.
“Oke, hati-hati ya!” sahut Bu Maria penuh kasih mengusap punggung sang putra.
“Oke … aku duluan ya Pah!” pamitnya juga pada pak Isaac.
Yohan bersiap di depan kemudi, memanaskan sejenak mesin mobilnya, seraya mengetik sebuah pesan singkat.
—Tolong siapkan beberapa sampel yang sudah jadi, aku mau ambil beberapa sebagai contoh.—
Jam masih menunjukkan jam tujuh pagi lebih beberapa menit, Yohan telah siap bertempur dengan kesibukannya hari ini.
Begitu juga dengan Silla, ia disibukkan dengan briefing pagi dengan beberapa staf produksi, lalu fokus dengan tugas selanjutnya hingga tak sempat memperhatikan ponselnya.
“Neng Silla, ini laporan stok bahan warnanya, beberapa warna dasar ada yang kosong. Design kedua harusnya masuk list proses hari ini.”
“Oh, oke Mang. Aku hubungi supplier-nya dulu, biar dikirim segera.”
“Sill! Silla! Buruan kesini buruan!”
Usna masih dengan piyamanya berseru memanggil Silla tanpa memperdulikan banyak pasang mata menatap ke arah putri bos mereka itu.
Silla menoleh dan segera menghampiri Usna. Dengan tatapan malas seakan menyetujui bahwa pagi yang dingin ini benar-benar harus dinikmati di depan perapian.
“Ada apa sih ribut pagi-pagi?” tanya Silla sedikit malas.
“Kenapa bisa temennya Koko Alex itu nyariin kamu?”
“Hah? Siapa Weh?”
“Aku lupa siapa namanya, tapi pria paling misterius diantara semua temannya Koko Alex itu.”
“Apaan sih Us, aku nggak ngerti, deh!”
“Ah dasar lemot, yok gue tunjukin!” Usna menggandeng lengan Silla lalu menyeretnya menuju ke depan. “Ini tuh baru jam setengah delapan, tapi dia udah rapih ngejongkrok nyariin Silla! Kan gue jadi curiga!”
“Apaan sih, pagi-pagi ribut gangguin Silla, mandi sana, katanya ada kuliah pagi.” Pak Abdi muncul dari balik pintu yang menghubungkan rumah utama dengan pabrik.
“Mau sidang dulu, Yah. Bisa-bisanya Silla pagi-pagi udah dicariin cowok ganteng!” sewot Usna
Pak Abdi terkekeh mendengar tuturan sang putri. “Itu buyernya papah, namanya pak Yohan.”
Usna menghentikan langkahnya lalu berbalik cepat menatap sang ayah. “Oh? Yang duduk didepan? Itu beneran buyer yang Ayah ceritain kemarin?” tuntut Usna tak percaya.
Pak Abdi mengangguk dengan senyuman teduh seorang ayah. “Iya, kan tadi pagi ponsel papah mati,asih di-cas, jadi pak Yohan mengirim pesan sama Silla. Dah biarin Silla mengurus pak Yohan dulu, Ayah harus benerin mesin soalnya.”
Usna melepaskan lengan Silla dari pelukannya, memandang Silla dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, lalu membenahi sedikit penampilan Silla.
“Sepupu gue ini mau nggak mandi pun cakepnya tetep kentara, dah sana temuin calon imamnya!”
“Mampus!” seru Silla setelah memeriksa ponselnya.
Apaan? Dipuji kok malah marah?”
“Tuh manusia udah WhatsApp dari tadi ternyata, bentar ya Us, emergency ini!”
Silla mempercepat langkahnya lalu menemui Yohan yang duduk tenang di ruang tamu seraya mengetik sesuatu di ponselnya.
Dengan napas sedikit terengah Silla menyapa. “Aduh, maaf gue nggak lihatin hape. Kalau pagi tuh sibuk gue.”
“Hmm its oke, gue bisa tunggu … bisa siapkan sekarang?”
“Aduh, belum ada yang siap, masih di proses penjahit. Gimana dong, lu mendadak banget sih! Dikira bikin kaos kayak bikin tahu bulat aja bisa dadakan!”
“Ck! Jangan ngomel pagi-pagi, gue udah bilang bisa nunggu. Jadi tolong percepat prosesnya, beberapa aja dulu.”
“Tapi bisa sampai tiga puluh menit, lu oke?”
“Hmm.”
Silla bergegas berbalik menuju ke tempat produksi dan memberikan arahan pada beberapa pekerja untuk memproses cepat sesuai permintaan Yohan.
“Minta dibuatkan berapa memangnya?” tanya pak Abdi yang belepotan dengan noda oli dari mesin yang rusak.
“Sepuluh Om!”
“Biar Om yang bantu proses, kamu temenin dulu Pak Yohannya, masa malah dibicarakan sendirian di depan.”
“Nggak perlu!” Yohan tiba-tiba sudah berdiri tak jauh dari pak Abdi. “Saya bisa menunggu di sini sekalian memperhatikan prosesnya.”
“Aduh, maaf ya Pak, beberapa mesin potong rusak dari kemarin, jadi proses awal sudah terkendala,” terang Pak Abdi.
“Tidak apa-apa, Pak. Saya juga mintanya terlalu mendadak. Maaf atas kerepotan pagi ini.” Yohan sedikit membungkukkan badan sebagai kesopanan dasar meminta maaf atas permintaan nya pagi ini.
“Tidak apa-apa, Pak! Kami akan segera proses! Silakan duduk di sini Pak sembari menunggu.”
“Baiklah terimakasih, saya mau sambil jalan-jalan melihat bagaimana cara mereka bekerja.”
“Oh, silakan Pak kalau begitu, maaf saya harus memperbaiki ini.” Dengan sangat menyesal pak Abdi mengungkapkan alasannya tak bisa menemani Yohan.
“Silakan Pak Abdi.”
Yohan tampak beberapa kali sibuk dengan ponselnya, lalu kembali berjalan melihat setiap proses produksi hingga selesai.
“Mau minum sesuatu nggak?” Silla mendekat, tiba-tiba ia teringat hal yang terjadi di malam sebelumnya.
Yohan tak menjawab, ia hanya mengangkat kedua alisnya seraya mengacungkan botol air mineral yang dibawanya sejak awal.
“Oh, sudah bawa!” seru Silla. “Hm … sudah sarapan?”
“Sudah. Ko?”
“Belum, biasanya selesai briefing pagi baru aku sarapan.”
“Neng Silla, tolong dilihat di depan, sudah ada beberapa yang jadi.” Salah satu pegawai menghampiri Silla.
“Oh, oke Bu. Terimakasih ya.”
Silla menuju ke bagian quality control, diikuti Yohan.
“Nah sudah selesai, jadi Pak Yohan mau bawa sepuluh?”
“Huum.”
Entah dorongan darimana, tapi setelah mendengar jawaban polos Silla, ada rasa tak enak hati menyambangi batin Yohan.
Yohan menghampiri pak Abdi untuk mengucapkan maaf sekali lagi. “Pak, bisakah saya bawa Silla sebentar, sepertinya Silla harus membantu saya mengirimkan barang itu hingga ke kurir.”
“Oh, boleh-boleh Pak, silakan. Asal anaknya bisa, nggak apa-apa.”
Merasa mendapatkan ijin dari sang bos, Yohan kembali menghampiri Silla.
“Tolong bawakan ke depan ya!”
Ah … begitulah Yohan, rasanya canggung untuk mengajak Silla terang-terangan.harus ada alasan agar bisa menebus rasa bersalah itu.
“Sialan! Bawa ginian aja juga masih berani nyuruh! Katanya udah sarapan, masa badan Segede gitu nggak kuat bawa barang segini doang!” gerutu lirih Silla tapi tetap melakukan apa yang diminta Yohan.
“Masuk!”
Kali ini Yohan bermaksud membuka pintu untuk Silla. Namun karena pengalaman tempo hari, Silla justru salah sangka. Ia hanya menaruh barang Yohan di jok mobil.
“Lah? Kamu juga masuk!”
“Hah?” Tentu saja Silla dibuat terkejut.
Tak ingin banyak berdebat atau harus menjelaskan panjang lebar, Yohan bermaksud menyentuh bahu Silla untuk membimbingnya masuk ke mobil, namun Silla buru-buru menghindar.
“Eh?! Mau apa? Bukan muhrim!” seru Silla seraya menarik diri menjauhi Yohan beberapa langkah.
Sekarang giliran Yohan yang terkejut.
...****************...
Bersambung