Kecelakaan maut yang menimpa sahabat baiknya, membuat Dara Asa Nirwana terpaksa menjalani nikah kontrak dengan Dante Alvarendra pria yang paling ia benci.
Hal itu Dara lakukan demi memenuhi wasiat terakhir almarhumah untuk menjaga putra semata wayang sahabatnya.
Bagaimanakah lika-liku perjalanan lernikahan kontrak antara Dara dan Dante?
Cerita selengkapnya hanya ada di novel Nikah Kontrak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Irma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter - 19
Dara mengikuti saran Dante untuk tidak melayangkan surat somasi terhadap Sofia. Dante yakin Sofia tidak akan berani mengganggu Dara lagi, kalau pun Sofia masih mengganggu Dara, Dante sendirilah yang akan membereskannya.
Dante membantu Dara merapihkan kursi dan meja yang terkena amukan Sofia, kejadian itu menyedot atensi orang-orang sekitar. Namun berkat Dante yang datang tepat waktu menolong Dara, maka perlahan toko roti Dara berangsur normal kembali, tudingan mengenai Dara seorang pelakor hilang sudah.
"Terima kasih banyak, Dante," ucap Dara lega melihat akhirnya toko rotinya kembali ramai. Terlebih ada Dion yang membuatnya semakin banyak pembeli. "Aku tidak tahu apa jadinya jika tidak ada kamu."
"Tidak masalah," ucap Dante sembari mengelus pipi anaknya yang sedari tadi ada saja pengunjung yang mecubitnya karena gemas, padahal sejak tadi Dion selalu berada dalam gendongannya. "Jadi bagaimana? Masih mau belanja ke supermarket?"
Dara mengangguk sembari tersenyum, begitu pula dengan Dion terlihat senang. Bocah itu menggerak-gerakan tangan dan kakinya. "A-yo," ucap Dion.
"Sepertinya kau sudah tidak sabar ingin jajan," Dante menggiring Dara menuju mobilnya.
"Pakai mobilmu?" Dara mengerutkan keningnya melihat mobil tua di hadapannya. "Bagaimana kalau pakai mobilku saja?"
"Tidak. Mobilmu sempit," tolak Dante, tak menerima penolakan ia membuka pintu dan mendorong Dara masuk. "Sudah ayo cepat!"
Ia lalu mendudukan Dion di kursi bayi di bagian belakang, barulah Dante memutar dan duduk di belakang kemudi.
"Dante ACnya panas sekali," Dara terus protes sepanjang perjalanan. "Mana berisik sekali mesin mobilmu."
"Namanya juga mobil tua, kau buka saja jendelanya dan nikmati angin yang berhembus."
"Kau gila, Dante! Kulitku bisa terbakar kena sinar matahari," gerutu Dara.
Berbeda dengan Dara yang terus menggerutu, Dion justru nampak senang, bayi itu terus mengoceh dan tertawa sepanjang jalan.
"Mobil ini sebaiknya di taruh digudang saja, di jual kerongsokan pun tidak ada yang mau," ujar Dara.
"Jaga ucapanmu Dara!" Dante memberi peringatan jika apa yang di katakan Dara sudah kelewatan. "Ini mobil banyak sejarahnya."
"Kalau begitu kau museumkan saja bersama fosil dinosaurus atau manusia purba. Toh sudah seperti fosil sungguhan ini mobil..."
Belum selesai Dara berbicara, mendadak mesin mobil berhenti, dan ia begitu terkejut. "Eh.. Ada apa ini?"
"Sudah kukatakan jaga ucapanmu," ucap Dante kesal. "Kau lihat sekarang mobilku mogok karenamu!"
"Kenapa malah menyalahkanku? Memang mobilmu sudah tua dan butut, tidak seharusnya di pakai. Kalau saja tadi kita naik mobilku, tentu hal ini tidak akan terjadi," Dara tak mau kalah.
"Kalau kau dari tadi tidak menghina-hinanya, mobilku tidak akan..."
"Eaa.. Eaaa.."
Tangis Dion menghentikan perdebatan mereka, seketika keduanya menoleh kearah putranya dan menenangkannya.
"Kita hanya salah paham, maafin Mama ya sayang," Dara melepas sabuk pengaman, dan membawa Dion dalam pangkuannya.
Sementara Dante membuatkannya susu, setelah selesai ia memberikannya pada Dara. "Aku mau cek mesinnya dulu."
Sudah lebih dari setengah jam Dante belum juga selesai, bahkan Dion sudah menghabiskan sebotol susu dan beberapa keping cookies buatan Dara pagi tadi.
Dara menggendong Dion keluar dari mobil dan menghampiri Dante. "Apa tidak sebaiknya kita menelepon derek agar mobilmu di angkut ke bengkel?" tanyanya.
"Tidak perlu, sebentar lagi selesai. Kau dan Dion duduk saja di dalam!"
Dara menoleh ke sekeliling, matanya menemukan mini market tak jauh dari tempatnya berada. "Aku mau beli minum, kau mau apa?"
"Apa saja," jawab Dante singkat, ia fokus pada mesin mobilnya.
"Oke." Dara pun pergi ke minimarket, tentunya dengan membawa serta Dion. Ia membeli dua kaleng minuman dingin, dan beberapa cemilan untuk dirinya dan juga cemilan Dion.
Sekembalinya mereka dari minimarket, Dante menyuruh Dara untuk menyalakan mesin. "Merepotkan saja," gumam Dara, ia mendudukan Dion dikursi bayi, lalu melakukan apa yang Dante perintahkan.
"Tidak mau nyala," teriak Dara dari jendela.
Dante menutup kap mobil kemudian mengitari mobil. "Coba lagi, biar aku dorong!"
"Hah, dorong?" Dara terkejut, pandangannya mengikuti Dante kebelakang mobil.
"Ayo Daraaaa." Teriak Dante, ia mulai mendorong.
Dara terus mencobanya, sementara Dion seolah memberikan semangat kepada Dante dengan mengatakan. "Pa.. Pa.. A-yo!"
Tak lama kemudian mereka berhasil, Dara menurunkan kecepatan agar Dante bisa masuk. "Akhirnya..." Dante menghela napas panjang saat masuk, ia di sambut gembira oleh Dion.
Hari sudah mulai senja, Dante pun terlihat sangat lelah sehingga Dara memutuskan untuk menunda waktu belanjanya.
"Bagaimana kalau kita cari makan saja?" tanya Dante.
Dara mengangguk setuju. "Pecel lele sebelah mana yang enak?" tanyanya sembari fokus ke jalanan.
"Kau tidak keberatan makan pecel lele?" tanya Dante hati-hati.
"Tentu saja tidak, aku sedang tidak menggunakan dress jadi bebas makan dimana saja." Dara menegaskan jika saat itu ia marah bukan karena ia merasa tidak level makan dipinggir jalan melainkan dandanan dan baju yang ia kenakan adalah pakaian formal.
"Padahal kau tinggal ganti baju saja, aku tidak keberatan menunggu."
Seketika Dara melotot kearah Dante. "Kau tahu berapa banyak waktu yang kuhabiskan untuk dandan secantik itu? Segampang itu kau menyuruhku untuk ganti?"
Nyali Dante menciut, ia tahu jika di teruskan ini akan panjang. "Baiklah, baiklah. Aku yang salah, dan aku minta maaf." Ia mengibarkan bendera perdamaian demi terciptanya suasana yang nyaman di dalam mobilnya.
Dante menunjukan tempat pecel lele favoritnya, saking akrabnya ia memesan langsung pada sang juru masak sembari menyapa mereka.
Setelah memesankan menu terenak, ia menghampiri Dara dan Dion dimeja makan.
"Dante, sepertinya popok Dion penuh. Aku ganti dulu ya," ucap Dara.
"Biar aku saja," cegah Dante, mengambil Dion dari pangkuan Dara. "Kau makan saja dulu, sebentar lagi makanannya datang." Dengan menggendong Dion, ia berlalu menuju mobilnya.
Saat Dara tengah menikmati makanannya, ada dua orang ibu-ibu di sebelahnya tengah menggosipinya mengani Dante yang mengganti popok, sementara dirinya makan dengan nyaman.
"Loh memangnya kenapa jika suamiku yang menggantikan popok? Toh itu anaknya juga, dan dia sendiri yang menawarkan diri untuk mengganti popok." Dara sudah tak tahan digosipi oleh mereka.
"Kami terbiasa melakukan semuanya bersama-sama, dirumah tangga kami tidak ada yang merasa lebih tinggi atau dominan. Dia adalah sosok suami sekaligus ayah yang bertanggung jawab, dan sangat bisa di andalkan dalam hal apapun," tegas Dara.
Tanpa ia sadari Dante yang sudah ada dibelakannya tersenyum mendengar Dara menuji-muji dirinya.
karena saat kamu make love ama Dante kan saat itu kamu masih jadi istri sahnya Dante jadi tentu itu seharusnya gak ada masalah seeh
kok saya juga ikutan kepo neeeh💃💃💃
lalu mereka gak pakai cerai dulu gitukah?
kok Dara dan Dante langsung pulang ke rumah mereka sendiri-sendiri gitu
apa kamu gak capek karena seharian nangis mulu tuuuuh?
apa dengan menangis seharian, kamu bisa membuat Dion kembali ke pelukan kamu?
jawabannya: enggak kan Ra....