NovelToon NovelToon
GLOW UP : SAYONARA GADIS CUPU! (MISI MEMBUATMU MENYESAL)

GLOW UP : SAYONARA GADIS CUPU! (MISI MEMBUATMU MENYESAL)

Status: sedang berlangsung
Genre:Sistem / Crazy Rich/Konglomerat / Mengubah Takdir / Aplikasi Ajaib
Popularitas:1.6k
Nilai: 5
Nama Author: Kde_Noirsz

Hancurnya Dunia Aluna Aluna Seraphine, atau yang akrab dipanggil Luna, hanyalah seorang siswi SMA yang ingin hidup tenang. Namun, fisiknya yang dianggap "di bawah standar", rambut kusut, kacamata tebal, dan tubuh berisi, menjadikannya target empuk perundungan. Puncaknya adalah saat Luna memberanikan diri menyatakan cinta pada Reihan Dirgantara, sang kapten basket idola sekolah. Di depan ratusan siswa, Reihan membuang kado Luna ke tempat sampah dan tertawa sinis. "Sadar diri, Luna. Pacaran sama kamu itu aib buat reputasiku," ucapnya telak. Hari itu, Luna dipermalukan dengan siraman tepung dan air, sementara videonya viral dengan judul "Si Cupu yang Gak Tahu Diri." Luna hancur, dan ia bersumpah tidak akan pernah kembali menjadi orang yang sama.

Akankah Luna bisa membalaskan semua dendam itu? Nantikan keseruan Luna...

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Kde_Noirsz, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 18 : PERMAINAN BAYANGAN

Salju yang mencair di jalanan Zurich menyisakan hawa dingin yang menusuk tulang, namun bagi Reihan Dirgantara, udara dingin ini tidak sebanding dengan rasa hina yang membakar dadanya. Ia berdiri di depan Bandara Internasional Zurich dengan hanya membawa satu koper kecil sisa-sisa dari kejayaannya yang telah runtuh. Pakaiannya yang bermerek kini tampak lusuh, dan wajahnya yang dulu angkuh kini dipenuhi guratan kecemasan serta dendam.

"Tuan Reihan?" seorang pria berjas hitam dengan perawakan tegap mendekatinya.

Reihan menoleh waspada. "Ya. Siapa Anda?"

"Saya utusan Nona Valerie. Silakan ikut saya. Nona sudah menunggu Anda di markas operasional," ucap pria itu tanpa ekspresi.

Reihan mengikuti pria itu masuk ke dalam sebuah SUV hitam yang mewah. Di sepanjang perjalanan menuju pusat kota, Reihan menatap gedung-gedung tua Zurich yang megah dengan perasaan getir. Beberapa bulan lalu, ia adalah penguasa di sekolahnya, ditakuti dan dipuja. Sekarang, ia hanyalah seorang "pelayan" yang dipanggil oleh seseorang yang bahkan belum pernah ia temui, hanya karena ia memiliki informasi tentang seorang gadis bernama Aluna.

Mansion tempat Valerie tinggal selama di Zurich bukanlah mansion yang tenang seperti milik Madam. Ini adalah sebuah griya tawang modern di puncak gedung pencakar langit yang menghadap ke arah Danau Zurich. Di dalamnya, teknologi canggih berpadu dengan kemewahan yang agresif.

Valerie Seraphine berdiri di balkon, menatap pemandangan kota dengan segelas anggur di tangannya. Saat Reihan masuk, ia tidak segera berbalik.

"Kamu terlambat lima menit, Reihan," suara Valerie terdengar tajam, seperti gesekan silet pada sutra.

Reihan menelan ludah. "Maaf, urusan imigrasi tadi agak lama karena... masalah keuangan keluargaku."

Valerie berbalik perlahan. Senyum meremehkan tersungging di bibirnya. "Aku tidak peduli dengan kemiskinanmu. Aku hanya peduli pada apa yang kamu tahu. Katakan padaku, gadis bernama Aluna itu... apakah dia punya tanda lahir kecil di bawah telinga kirinya?"

Reihan mengernyit, mencoba mengingat. "Tanda lahir? Saya tidak pernah memperhatikannya sedetail itu. Saya lebih sering... menyiksanya daripada menatap wajahnya."

Valerie tertawa kecil, suara tawa yang dingin. "Tentu saja. Kamu adalah predator kecil di kolam yang dangkal. Tapi sekarang, mangsamu sudah berubah menjadi sesuatu yang tidak bisa kamu bayangkan. Gadis yang kamu injak-injak itu sekarang sedang bersembunyi di bawah sayap nenekku. Dan aku butuh kamu untuk memancingnya keluar."

"Apa yang harus saya lakukan?" tanya Reihan penuh dendam. "Saya akan melakukan apa saja untuk melihat dia hancur lagi."

Valerie berjalan mendekati Reihan, menyerahkan sebuah tablet yang menampilkan foto-foto hasil pengintaian di depan hotel lelang malam sebelumnya. "Gadis bermasker perak ini. Aku yakin ini adalah Aluna. Besok akan ada pameran seni di Galeri Kunsthaus. Madam akan mengirimnya ke sana untuk 'memperkenalkan' dia pada dunia secara halus. Kamu akan hadir di sana, Reihan. Kamu akan berdiri di depannya, dan kamu akan memanggilnya dengan nama 'Si Cupu'. Aku ingin melihat reaksinya."

Di sisi lain kota, di dalam mansion Madam yang tenang, Luna sedang menjalani latihan terakhirnya bersama Xavier. Namun, kali ini bukan latihan fisik. Mereka berada di ruang simulasi sosial.

Luna mengenakan gaun sutra berwarna gading yang sangat anggun. Rambut pendeknya ditata dengan gaya minimalis namun berkelas. Ia sedang belajar cara memegang gelas kristal, cara berjalan tanpa menimbulkan suara, dan cara menatap orang lain seolah-olah ia sedang melihat menembus jiwa mereka.

"Ingat, Luna," Xavier bicara sambil memperlambat gerakan Luna. "Seorang penguasa tidak perlu bicara keras untuk didengar. Kehadiranmu adalah perintah. Jika seseorang menyerangmu dengan kata-kata, jangan membalas dengan kemarahan. Balaslah dengan keheningan yang membuat mereka merasa tidak berarti."

Luna menatap pantulannya di cermin. Ia bukan lagi Aluna yang gemetar saat melihat Reihan. Di balik matanya yang indah, kini tersimpan kedinginan yang dipelajari dari Madam.

"Xavier," panggil Luna.

"Ya, Nona?"

"Madam menyuruhku ke pameran seni besok. Tanpa topeng. Apakah ini berarti aku sudah resmi menampakkan diri?"

Xavier terdiam sejenak. "Madam ingin memberikan peringatan pada Valerie. Beliau ingin menunjukkan bahwa 'pengganti' yang sesungguhnya sudah tiba. Namun, ini juga berarti kamu akan menjadi target terbuka. Aku akan berada sangat dekat denganmu, tapi aku tidak boleh terlihat sebagai pengawalmu. Aku akan menyamar sebagai tamu."

Luna mengangguk. Ada sedikit rasa gugup, namun rasa haus akan pembalasan jauh lebih besar.

Hari Pameran Seni di Kunsthaus Zurich

Galeri seni itu dipenuhi dengan tokoh-tokoh penting Eropa. Karya-karya abstrak dan patung-patung modern menghiasi ruangan yang luas dan diterangi lampu-lampu temaram. Luna masuk ke dalam galeri dengan langkah yang sangat tenang. Ia tidak lagi menunduk. Kepalanya tegak, matanya menatap lurus ke depan dengan otoritas yang tenang.

Setiap mata tertuju padanya. Orang-orang mulai berbisik, bertanya-tanya siapa gadis Asia yang begitu anggun ini, yang datang tanpa didampingi siapapun namun memiliki aura yang begitu kuat.

Luna berjalan menuju salah satu lukisan bertema "Kehancuran dan Kebangkitan". Ia berdiri di sana, mengamati detail sapuan kuas, saat sebuah suara yang sangat ia kenali suara yang sering muncul dalam mimpi buruknya terdengar tepat di belakang telinganya.

"Gaya lo boleh berubah, tapi bau sampah pelabuhan itu nggak pernah hilang ya, Aluna?"

Tubuh Luna membeku sesaat, namun ia tidak berjingkat ketakutan. Ia menutup matanya sebentar, menghirup napas panjang, lalu berbalik dengan perlahan.

Di depannya berdiri Reihan Dirgantara.

Wajah Reihan tampak merah karena amarah dan kepuasan. Ia mengira akan melihat Luna yang ketakutan, yang akan menangis dan memohon padanya seperti di gudang pelabuhan. Namun, apa yang ia lihat justru membuatnya tertegun.

Luna menatap Reihan dengan pandangan yang benar-benar kosong. Seolah-olah Reihan bukanlah seorang manusia, melainkan hanya sebongkah batu di pinggir jalan yang mengganggu pemandangannya.

"Siapa Anda?" tanya Luna dalam bahasa Inggris dengan aksen yang sangat sempurna dan elegan.

Reihan terperanjat. "Nggak usah akting lo! Ini gue, Reihan! Lo pikir dengan baju mahal ini lo bisa hapus fakta kalau lo itu cuma alat pemuas nafsu gue kalau gue mau? Lo itu cuma sampah yang beruntung dipungut orang kaya!"

Beberapa tamu di sekitar mereka mulai menoleh. Bisik-bisik mulai terdengar. Reihan merasa menang karena ia merasa telah mempermalukan Luna di depan umum.

Namun, Luna justru tersenyum tipis. Sebuah senyum yang sangat menghina.

"Maaf, Tuan," ucap Luna, kali ini beralih ke bahasa Jerman yang fasih sehingga tamu-tamu di sekitar mereka bisa mengerti. "Saya tidak mengerti bahasa yang Anda gunakan, tapi dari nada bicara Anda yang kasar dan pakaian Anda yang... agak berdebu, sepertinya Anda salah masuk ruangan. Petugas keamanan sedang menuju ke sini untuk membantu Anda keluar."

"Luna! Brengsek lo!" Reihan berteriak, hendak maju dan mencengkeram bahu Luna.

Brak!

Sebelum tangan Reihan menyentuh Luna, seorang pria yang tampak seperti tamu biasa Xavier muncul dan mencengkeram pergelangan tangan Reihan dengan kekuatan yang bisa mematahkan tulang.

"Tuan, Anda mengganggu kenyamanan Nona ini," ucap Xavier dengan suara dingin yang membuat bulu kuduk Reihan berdiri.

Reihan menatap Xavier, matanya melebar. "Xavier? Lo juga di sini?! Kalian berdua bersekongkol?!"

Xavier tidak menjawab. Ia hanya memutar tangan Reihan sedikit, memaksa pemuda itu untuk berlutut di lantai marmer yang dingin. Di saat yang sama, petugas keamanan galeri datang dan langsung meringkus Reihan.

"Bawa dia keluar. Dia mengancam keselamatan tamu terhormat kami," perintah salah satu petugas keamanan senior yang sudah dibayar oleh Madam.

Saat Reihan diseret keluar, ia terus berteriak, "LUNA! LO NGGAK AKAN BISA SEMBUNYI! KAK VALERIE BAKAL HANCURIN LO!"

Luna tetap berdiri di tempatnya, tidak bergerak sedikitpun. Ia hanya merapikan sarung tangannya yang sedikit bergeser. Di kejauhan, di lantai balkon galeri, ia melihat Valerie sedang mengamati kejadian itu dengan mata menyipit.

Mata mereka bertemu.

Valerie mengangkat gelasnya ke arah Luna, sebuah isyarat tantangan. Luna tidak membalas. Ia hanya berbalik kembali ke lukisan di depannya, mengabaikan keberadaan Valerie seolah-olah sepupu angkatnya itu hanyalah debu yang lewat.

Malam itu, setelah kembali ke mansion, Luna masuk ke ruang kerja Madam.

"Bagaimana rasanya, Aluna?" tanya Madam Celine yang sedang duduk di kursi kebesarannya.

"Rasanya... memuaskan melihatnya berlutut, Madam. Tapi saya sadar, Reihan hanyalah pion. Valerie-lah yang menggerakkannya," jawab Luna dengan nada yang jauh lebih dewasa.

Madam Celine mengangguk puas. "Benar. Valerie mencoba memancing emosimu agar kamu terlihat seperti 'gadis bermasalah' di depan publik Zurich. Tapi kamu menanganinya dengan sempurna. Kamu membalasnya dengan martabat. Itu adalah langkah Seraphine yang sesungguhnya."

Madam kemudian membuka sebuah laci rahasia dan mengeluarkan sebuah paspor diplomatik serta sebuah kartu identitas baru.

"Waktumu di Zurich sudah berakhir lebih cepat dari rencana, Aluna. Valerie sudah mulai menggunakan koneksi gelapnya untuk menyabotase dokumen kewarganegaraanmu. Kita harus bergerak sebelum dia menutup semua pintu."

"Lalu apa rencana kita, Madam?"

"Kamu akan kembali ke Indonesia besok pagi. Tapi bukan sebagai Aluna Seraphine yang dicari Valerie," Madam Celine tersenyum misterius. "Kamu akan kembali sebagai Nona Muda A, perwakilan resmi Seraphine Global yang akan mengaudit seluruh aset keluarga di Jakarta. Termasuk sekolahmu, SMA Pelita Bangsa."

Luna mengambil paspor itu. Di sana tertera nama baru yang akan menjadi identitas samarannya sebelum pengungkapan besar.

Di sebuah hotel murah di pinggiran Zurich, Reihan dilempar ke luar oleh petugas keamanan setelah dibebaskan dari kantor polisi atas jaminan Valerie. Ia babak belur.

Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke ponselnya dari nomor yang tidak dikenal:

"Reihan, jangan menyerah. Luna akan kembali ke Jakarta besok. Aku sudah menyiapkan tiket untukmu di penerbangan yang sama. Tapi kali ini, kamu tidak akan menyerangnya secara fisik. Kamu akan menjadi saksi kunci di depan seluruh sekolah bahwa dia adalah penipu yang menggunakan nama Seraphine."

Reihan tersenyum menyeringai di tengah rasa sakitnya. "Gue bakal hancurin lo di depan semua orang, Luna. Kali ini, nggak akan ada Xavier yang bisa nyelamatin reputasi lo."

Sementara itu, di dalam pesawat pribadi yang sedang melaju di landasan pacu, Luna menatap ke luar jendela. Xavier duduk di sampingnya, memeriksa dokumen-dokumen audit sekolah.

"Sudah siap untuk babak terakhir di sekolah, Luna?" tanya Xavier.

Luna melepaskan cincin lamanya—satu-satunya benda yang tersisa dari masa kemiskinannya—dan menjatuhkannya ke dalam kotak sampah kecil di pesawat.

"Aku sudah tidak sabar melihat wajah Maya dan Reihan saat mereka menyadari bahwa sekolah yang mereka banggakan... kini adalah milikku," jawab Luna dingin.

Pesawat jet itu pun lepas landas, membelah malam menuju Jakarta, membawa badai yang akan meratakan segala ketidakadilan yang pernah dialami Luna.

1
Ayu Nur Indah Kusumastuti
😍😍 xavier
Ayu Nur Indah Kusumastuti
semangat author
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!