NovelToon NovelToon
Jadi Simpanan Ceo

Jadi Simpanan Ceo

Status: sedang berlangsung
Genre:Obsesi / CEO / Selingkuh / Nikah Kontrak
Popularitas:343
Nilai: 5
Nama Author: Celyzia Putri

Nadia mengira melarikan diri adalah jalan keluar setelah ia terbangun di hotel mewah, hamil, dan membawa benih dari Bramantyo Dirgantara—seorang CEO berkuasa yang sudah beristri. Ia menolak uang bayaran pria itu, tetapi ia tidak bisa menolak takdir yang tumbuh di rahimnya.
Saat kabar kehamilan itu bocor, Bramantyo tidak ragu. Ia menculik Nadia, mengurungnya di sebuah rumah terpencil di tengah hutan, mengubahnya menjadi simpanan yang terpenjara demi mengamankan ahli warisnya.
Ketika Bramantyo dihadapkan pada ancaman perceraian dan kehancuran reputasi, ia mengajukan keputusan dingin: ia akan menceraikan istrinya dan menikahi Nadia. Pernikahan ini bukanlah cinta, melainkan kontrak kejam yang mengangkat Nadia .

‼️warning‼️
jangan mengcopy saya cape mikir soalnya heheh

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Celyzia Putri, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Kehancuran di mata Nadia malam itu memicu sesuatu yang sudah lama Bramantyo coba padamkan. Penyesalan memang ada, namun keinginan untuk melindungi miliknya dari tangan Adrian jauh lebih besar.

Bramantyo tidak lagi berdiri sebagai suami yang memohon, melainkan sebagai predator yang sedang mempertahankan wilayahnya.

Setelah Nadia mengunci pintu kamar dan jerit tangisnya mereda menjadi isak kecil, Bramantyo melangkah menuju ruang kerjanya. Ia tidak menuang alkohol; ia butuh otak yang sangat jernih.

Ia menekan tombol rahasia di bawah mejanya. Tak lama kemudian, tiga orang pria berpakaian hitam tanpa lencana masuk melalui pintu belakang. Mereka adalah tim "Pembersih" yang hanya digunakan untuk urusan hidup dan mati.

"Adrian sudah kembali," ucap Bramantyo, suaranya sedingin es. "Dia berada di Jakarta, mungkin di hotel The Grand atau apartemen pribadinya yang lama. Aku tidak ingin dia sekadar pergi."

"Instruksi Anda, Tuan?" tanya pemimpin tim itu.

Bramantyo menatap foto keluarga di mejanya—foto Arka yang sedang tersenyum. "Cari tahu siapa pengacara yang bersamanya. Hancurkan reputasinya dalam semalam. Mengenai Adrian... buat dia menghilang secara permanen dari peta. Tapi jangan bunuh dia dengan cepat. Aku ingin dia merasakan bagaimana rasanya kehilangan segalanya sebelum napas terakhirnya."

Bramantyo tahu Adrian adalah ular yang cerdik. Maka, ia sengaja memancing Adrian keluar. Keesokan harinya, Bramantyo merilis berita palsu ke media internal Dirgantara Group bahwa ia akan memindahkan seluruh aset pribadinya ke atas nama Nadia dan Arka di sebuah kantor notaris di pinggiran kota yang sepi.

Ia tahu Adrian yang serakah akan mencoba menginterupsi proses itu untuk membuktikan bahwa Bramantyo "tidak stabil" secara mental agar bisa mengambil alih perusahaan.

Sesuai prediksi, Adrian muncul di lokasi tersebut bersama para pengawalnya. Namun, alih-alih menemukan notaris, yang ia temukan hanyalah sebuah gudang kosong dengan Bramantyo yang duduk tenang di tengah ruangan, memegang sebuah kincir angin kertas yang sudah rusak.

"Kau selalu terobsesi dengan apa yang aku miliki, Adrian," ucap Bramantyo tanpa menoleh.

"Karena kau tidak layak memilikinya, Kak!" teriak Adrian, mengeluarkan pistolnya. "Kau membunuh anak pertamamu demi takhta ini! Kau monster, dan Nadia harus tahu itu setiap hari!"

"Nadia memang sudah tahu," Bramantyo berdiri, perlahan berbalik. "Tapi perbedaannya adalah... aku menghancurkan diriku sendiri untuk menebusnya. Sedangkan kau? Kau menghancurkan orang lain hanya untuk kesenanganmu."

Tiba-tiba, lampu-lampu gudang menyala terang. Adrian menyadari bahwa pengawalnya sudah dilumpuhkan tanpa suara.

Bramantyo melangkah mendekat, mengabaikan moncong pistol yang diarahkan Adrian ke dadanya. "Tembak aku, Adrian. Jika kau punya keberanian. Tapi ingat, saat pelatuk itu ditarik, timku akan memastikan kau tidak akan pernah sampai ke pintu keluar."

Adrian gemetar. Ia hanyalah pengecut yang bermain di balik layar, tidak siap untuk konfrontasi fisik langsung dengan kegilaan Bramantyo.

Bramantyo merebut pistol itu dengan satu gerakan cepat, lalu menghantam wajah Adrian hingga tersungkur. Ia menginjak tangan Adrian yang sering digunakan untuk mengirim pesan-pesan fitnah itu.

"Ini untuk setiap air mata yang Nadia tumpahkan karena mulutmu," desis Bramantyo. "Dan ini... untuk setiap ketakutan yang kau tanam di hati anakku."

Bramantyo tidak membunuhnya di sana. Ia memerintahkan timnya untuk membawa Adrian ke sebuah pulau terpencil yang ia beli di luar negeri—sebuah penjara mewah tanpa akses komunikasi, tanpa manusia, di mana Adrian akan menghabiskan sisa hidupnya dalam kesendirian yang mutlak. "Biarkan dia hidup selamanya dengan bayang-bayang kegagalannya sendiri," perintah Bramantyo.

Bramantyo kembali ke penthouse saat fajar menyingsing. Ia membersihkan bercak darah di tangannya sebelum mendekati kamar Nadia.

Ia tidak masuk. Ia hanya duduk bersandar di depan pintu kamar istrinya.

"Adrian sudah tidak akan pernah mengganggumu lagi, Nadia," bisik Bramantyo melalui celah pintu. "Aku tahu kau membenciku. Aku tahu aku adalah monster di matamu. Tapi aku telah menyingkirkan iblis yang sebenarnya. Sekarang, jika kau ingin pergi... aku tidak akan menghalangimu. Aku akan memberikanmu semua sahamku agar kau dan Arka bisa hidup tanpa aku."

Di dalam kamar, Nadia yang sudah mengemas kopernya terdiam. Ia memegang gagang pintu, hatinya berperang antara kebencian yang mendalam dan kenyataan bahwa pria di balik pintu itu baru saja mengotori tangannya sekali lagi demi melindunginya.

Pintu kamar itu perlahan terbuka dengan derit yang memilukan. Nadia berdiri di sana, matanya sembab namun sorotnya setajam silet.

Ia menatap koper yang sudah ia siapkan di atas ranjang, lalu beralih menatap Bramantyo yang terduduk lesu di lantai.

Nadia menyadari satu hal yang pahit: di dunia yang penuh dengan serigala seperti keluarga Dirgantara, pergi sendirian hanya akan membuat Arka menjadi sasaran empuk di masa depan. Untuk melindungi Arka, ia butuh monster yang paling kuat di sisi mereka. Dan monster itu adalah Bramantyo.

Nadia melangkah keluar, berdiri tegak di depan Bramantyo yang mendongak menatapnya dengan secercah harapan.

"Aku akan tetap tinggal," suara Nadia dingin, tanpa emosi. "Tapi jangan pernah berpikir ini karena aku memaafkanmu, Bramantyo."

Bramantyo berdiri, mencoba meraih tangan Nadia, namun Nadia mundur selangkah.

"Dengarkan syaratku," lanjut Nadia. "Pertama, seluruh aset dan kendali Dirgantara Group harus dipindahkan atas namaku sekarang juga. Kau akan menjadi CEO, tapi aku adalah pemilik tunggalnya. Kedua, kau tidak akan pernah menyentuhku lagi sebagai seorang suami kecuali aku yang memintanya—dan itu mungkin tidak akan pernah terjadi. Dan yang terakhir... jika Arka sampai meneteskan air mata karena perbuatanmu, aku sendiri yang akan menghancurkanmu, bukan dengan melarikan diri, tapi dengan kekuasaan yang kau berikan padaku hari ini."

Bramantyo menatap wanita di depannya. Gadis kecil yang dulu memberinya kincir angin kertas kini telah benar-benar hilang, digantikan oleh seorang ratu yang tangguh dan tak kenal ampun.

"Apapun, Nadia," bisik Bramantyo. "Selama aku bisa melihatmu dan Arka setiap hari, aku akan menjadi budak di istanaku sendiri."

Beberapa bulan kemudian, wajah Nadia menghiasi sampul majalah bisnis terkemuka. Ia dikenal sebagai wanita paling berpengaruh yang berhasil mengambil alih kekaisaran Dirgantara.

Di kantor pusat, Bramantyo bekerja dengan disiplin yang luar biasa, menjalankan setiap instruksi Nadia. Ia tidak lagi mengejar ambisi pribadinya; semua yang ia lakukan adalah untuk mempersembahkan keuntungan bagi Nadia dan masa depan Arka.

Masyarakat melihat mereka sebagai pasangan paling serasi dan kuat, namun di balik pintu penthouse, mereka hidup dalam keheningan yang sopan. Bramantyo tetap menjadi "Ayah" yang sempurna bagi Arka, bermain dan belajar bersama, sementara Nadia mengawasi mereka dari kejauhan dengan perasaan yang bercampur aduk.

Suatu malam, Arka sudah tertidur lelap. Nadia sedang memeriksa laporan keuangan di ruang kerja saat Bramantyo masuk membawakan secangkir teh chamomile.

"Ini sudah larut, kau harus istirahat," kata Bramantyo pelan, meletakkan cangkir itu di meja.

Nadia menatap teh itu, lalu menatap Bramantyo. Ia melihat pria itu tidak lagi memakai topeng kekuasaan. Yang tersisa hanyalah seorang pria yang sangat merindukan pengampunan.

"Kenapa kau masih bertahan, Bram? Kau bisa saja melawan dan mengambil kembali semuanya," tanya Nadia tiba-tiba.

Bramantyo tersenyum pahit. "Karena bagiku, kekuasaan hanyalah alat untuk menjagamu. Jika alat itu sekarang ada di tanganmu, maka tugas pertamaku sudah selesai. Aku bertahan karena aku mencintai wanita yang memberiku kincir angin itu, meski sekarang wanita itu ingin membenciku selamanya."

Nadia tidak menjawab, tapi ia tidak menyuruh Bramantyo keluar. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, mereka duduk dalam satu ruangan tanpa ketegangan yang menyesakkan. Luka itu masih ada, namun mereka mulai belajar untuk hidup bersamanya.

Di sebuah pulau terpencil di tengah samudera, Adrian duduk di pinggir pantai yang sunyi, menatap cakrawala tanpa ada satu pun kapal yang lewat. Ia memiliki segalanya—makanan mewah, pakaian mahal—namun ia tidak memiliki suara manusia untuk didengar. Ia terkubur hidup-hidup dalam kemewahan, persis seperti rencana Bramantyo.

Sementara di Jakarta, Arka terbangun dari mimpinya dan berjalan menuju ruang kerja ibunya. Ia melihat ayah dan ibunya duduk bersama. Ia berlari dan memeluk keduanya.

"Bunda, Ayah... besok kita ke taman lagi ya?" pinta Arka polos.

Nadia menatap Bramantyo, lalu mengangguk perlahan. "Iya, Sayang. Besok kita ke taman."

Di atas luka, pengkhianatan, dan darah, sebuah keluarga baru sedang mencoba untuk tumbuh kembali. Bukan sebagai simpanan atau penculik, tapi sebagai dua manusia yang diikat oleh satu nyawa kecil yang mereka cintai lebih dari segalanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!