Perselingkuhan adalah sebuah dosa terbesar di dalam pernikahan. Namun, apakah semua perselingkuhan selalu dilandasi nafsu belaka? Atau, adakah drama perselingkuhan yang didasari oleh rasa cinta yang tulus? Bila ada, apakah perselingkuhan kemudian dapat diterima dan diwajarkan?
Sang Rakyan, memiliki sebuah keluarga sempurna. Istri yang cantik dan setia; tiga orang anak yang manis-manis, cerdas dan sehat; serta pekerjaan mapan yang membuat taraf hidupnya semakin membaik, tidak pernah menyangka bahwa ia akan kembali jatuh cinta pada seorang gadis. Awalnya ia berpikir bahwa ini semua hanyalah nafsu belaka serta puber kedua. Mana tahu ia ternyata bahwa perasaannya semakin dalam, tidak peduli sudah bertahun-tahun ia melawannya dengan gigih. Seberapa jauh Sang Rakyan harus bergulat dalam rasa ini yang perlahan-lahan mengikatnya erat dan tak mampu ia lepaskan lagi.
Kisah ini akan memeras emosi secara berlebihan, memberikan pandangan yang berbeda tentang cinta dan kehidupan pernikahan. Cerita p
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nikodemus Yudho Sulistyo, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Sang: Ledakan
Ledakan itu terjadi juga.
Pecah di angkasa, berwarna-warna, menggelegar, menyedot seluruh perhatian yang ada di dalam diri seorang Sang.
Laki-laki 40-an tahun itu tak tahu dimulai dari mana.
Awalnya, kebiasaan menilik Florencia adalah sebuah aktifitas seru tetapi santai baginya. Paras cantik Florencia, caranya berbusana, perilaku unik antara lucu dan mengesalkan, serta tentu saja bentuk komunikasi mereka berdua, adalah komponen-komponen ‘seru’ yang sebenarnya lumayan menyita perhatian dan waktu Sang.
Masalahnya, ia menyukainya, tetapi menganggapnya biasa saja. Sampai akhirnya, Sang terjerat dan bergumul dengan jebakan yang telah membelitnya itu.
Kian hari, Florencia kian memukau. Bukan hanya unik, menarik, dan memesona, tetapi sungguh memukau.
Sang tidak ragu-ragu melirik ke meja kerja sang gadis, ia bahkan menunggu kehadirannya, menggunakan segala daya dan kesempatan untuk berinteraksi dengan Florencia. Yang menjadikan semuanya semakin ‘parah’ adalah bahwa Florencia menanggapi dan bahkan mengakomodir ‘hubungan’ ini.
Sang sudah ratusan kali menyakinkan kepada dirinya sendiri bahwa ia sedang dalam tahap kegilaan seorang laki-laki di usia empat puluhan. Nafsu belaka, itu jawabannya. Ada yang salah dengan dirinya, ada yang salah dengan beban yang sedang ia rasakan, ada yang salah dengan hubungannya dan Florentina istrinya. Itu sebabnya, Florencia menjadi semacam ‘hiburan’ baginya.
Ia bersikukuh bahwa Florencia menjadi target dari obyek fantasi dan khayalan syahwatnya belaka. Ini berarti ia sekarang sedang menjadi seorang laki-laki yang brengsek, yang nakal, yang tidak tahu diuntung.
Rasa bersalah itu berjalan bersama dengan rasa-rasa lain, apalagi kalau bukan rasa keterpesonaan terhadap Florencia?
Suatu hari, Florencia hanya terlihat dari jauh. Siluetnya; warna pakaiannya; caranya berjalan; bahkan suaranya yang rendah, datar, bervolume tinggi, dan mengganggu itu merampok segala perhatian Sang. Ia gelisah sepanjang hari. Dadanya berdegup kencang setiap saat sosok tersebut muncul.
Sebelumnya, Sang merasa senang dan cenderung penasaran dengan Florencia, namun sekarang, ia seperti sudah terkena candu, seperti sedang menggunakan narkotika. Kehadiran Florencia sangat ditunggu-tunggunya. Tetapi di saat yang sama, ia seperti tak mampu berhadapan dengannya.
Baru beberapa waktu yang lalu, pandangannya pada Florencia tidak separah ini. Namun, hari itu, kemunculan Florencia, sepersekian detik saja, membuat jiwanya berantakan. Jantungnya serasa jatuh ke perut.
Secara profesional, mudah saja bagi Sang untuk bersikap biasa. Namun, di dalamnya, ledakan itu sudah terlanjur terjadi.
Sang berusaha mati-matian untuk mencari jawaban atas semua ini. Sejak kapan, dan apa sejatinya titik yang membuatnya memiliki perasaan ini terhadap Florencia.
Nafsu, nafsu, nafsu … itu yang dipikirkan Sang. Ia yakin, tidak ada yang membuatnya memikirkan Florencia selain alasan ini.
Meskipun merasa brengsek, Sang masih dapat mencoba memahaminya. Paling tidak, dengan berpikir seperti ini, ia tahu masalahnya dimana. Ke depan, ia akan mencoba menghindari dan menghilangkan perasaan ini sepenuhnya.
Sang berdiri menatap gendung-gedung perkantoran dari lantai 3 kantin di DisPLAY Media. Sudut matanya melihat siluet itu, terlalu mudah untuk dikenal. Florencia berjalan cepat, menandak-nandak seperti biasa, kadang malah seperti melompat-lompat.
Sang merasakan degup jantungnya terlalu cepat. Sosok indah itu menghampirinya. Sang memalingkan wajah untuk melihat ke arah Florencia, tetapi dibuat sedemikian rupa agar tidak terlihat bahwa ia begitu bersemangat atas kehadiran sang gadis.
“Ngapain, Pak?” tanya Florencia. Binar matanya membuat Sang takluk.
“Sedang meneliti alam dan kehidupannya,” ujar Sang bercanda.
Florencia terkekeh. “Wah, ikutan dong. Jadi, gimana kesimpulan Bapak soal alam dan kehidupannya?”
“Rumit, tetapi indah.”
“Indah Sulastri, nama temanku waktu SMP,” ujar Florencia asal.
Sang tertawa. Ia memalingkan kembali wajahnya, menatap kembali gedung-gedung. Ia tak mau terlihat terlalu menonjol, khawatir akan terserap terlalu lama menikmati wajah Florencia.
Tak disangka, walau awalnya hanya bercanda, percakapan itu menjadi semakin dalam dan serius. Mula-mula, seperti biasa, Florencia memang menjengkelkan. Potong percakapan sana-sini, menimpali, kemudian melompat ke pembahasan lainnya. Sang sudah terbiasa. Sampai kemudian akhirnya percakapan itu mendapatkan jalurnya.
Sang merasa cocok dengan pemikiran Florencia.
“Nggak banyak yang bisa nyambung gini, lho, Pak. Makanya aku kadang males ngobrol sama orang, kayaknya beda dunia aja. Aku selama ini merasa terlalu, apa ya, terlalu nyeni gitu, terlalu aneh bagi banyak orang. Pikiranku selalu nggak sejalan sama mereka,” jelas Florencia.
Dan kita sejalan? Gumam Sang di dalam hati.
Momentum itu membekas di hati Sang. Seakan-akan ada ikatan di antara keduanya. Kecerdasan Florencia, tingkah laku uniknya, dan tentunya kecantikannya, membuat Sang merasa terpenjara. Ia terus-terusan menagih kebersamaan mereka. Setiap memiliki kesempatan, makin lama pembicaraan mereka, makin serius, makin kental dengan deep thought, semakin intim pula.
Tidak sekali dua Sang dan Florencia menjadi terbuka. Mereka berbagi satu dua hal berhubungan dengan keluarga, pandangan mereka tentang dunia, selera musik dan film, buku yang mereka baca, atau hal-hal yang remeh.
Sang hampir-hampir merasa bahwa sedikit banyak, Florencia merasa nyaman ketika bertemu dan berbicara dengannya. Dan ini menjadi masalah. Sang khawatir ia hanya berprasangka dan cenderung geer.
Misalnya saja hari itu, beberapa pegawai sedang berkerumun di area meja divisi Design. Florencia menutup kedua telinganya dengan earphone, sama sekali tidak terusik dengan rekan-rekannya yang sedang kumpul bercanda di sela-sela waktu senggang.
Sang lewat dan mendapatkan perhatian dari para penulis dan designer tersebut. Sang mampir, bercanda dengan mereka.
Florencia yang dari tadi sama sekali tidak terpengaruh dengan keributan dan keceriaan rekan-rekannya itu melihat kedatangan Sang dari sudut matanya. Secara otomatis, ia melepaskan earphone, dengan mata berbinar ikut nimbrung dalam percakapan penuh canda itu, menimpali lelucon yang diberikan Sang.
Itu hanya satu contoh. Dalam banyak kesempatan, kegeeran Sang menjadi terpupuk semakin subur tatkala Florencia berlari ke arahnya dalam satu kesempatan, menegurnya dengan ceria, berbicara panjang dengannya, juga menggunakan banyak kata ‘kita’ dengan cara yang membuat Sang kesulitan meninterpretasikannya. “Orang-orang kayak kita memang nggak selalu bisa dapat rekan yang pas buat diajak ngobrol, Pak,” ujarnya. Atau, “Kita sih aman-aman aja, ya, kan, Pak?”
Sang menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Malam itu pikirannya sudah tak bisa tidak memikirkan seorang Florencia Halim. Caranya berbicara, berjalan, melirik, tersenyum dan tertawa, suaranya yang mengganggu sekaligus bikin rindu itu, atau cerita-cerita tentang latar belakang keluarganya, membuat Sang semakin tersiksa. Saat ini, meskipun belum secara menyeluruh, telah berani mengakui bahwa ia memiliki rasa tertarik pada rekan kerjanya tersebut. Hanya saja, setengah mati ia meyakinkan bahwa rasa suka ini hanya sebatas nafsu saja, yang mana, meskipun buruk, masih bisa ia sendiri terima.
Masalahnya, kalau ia berani berpikir lebih jauh, hal-hal yang bersifat seksual yang ada pada diri Florencia, tidak sampai 5% saja yang hinggap di otaknya: sebutlah tubuhnya yang tinggi, kulitnya yang putih mulus, atau wajahnya yang cantik, sisanya yang terus-menerus ada di dalam pikirannya adalah karakter Florencia dan segala komplesitasnya itu sendiri.
kelainan kek Flo ini, misal nggak minum obat atw apa ya... ke psikiater mungkin, bisa "terganggu" nggak?
kasian sbnrnya kek ribet kna pemikirannya sendiri
Awalnya sekedar nyaman, sering ketemu, sering pke istilah saling mengganggu akhirnya?
tapi semoga hanya sebatas dan sekedar itu aja yak mereka. maksudnya jngn sampe kek di sinetron ikan terbang itu😂
biarkan mereka menderita dan tersiksa sendiri wkwkwkwk.
Setdahhh aduhhh ternyata Florencia???
Jangan dong Flooo, jangan jadi musuh dari perempuan lain.
Itu bkn cinta, kamu ke Sang cuma nyaman. Florentina selain cantik baik kok, anaknya tiga loh... klopun ada rasa cinta yaudah simpan aja. cinta itu fitrah manusia, nggak salah. tapi klo sampe kamu ngrebut dari istri Sang. Jangan deh yaa Flo. wkwkwkwk
Keknya Florentina biarpun sama introvert kek Flo, tipe yg kaku ya... berbeda sama Flo. intinya Sang menemukan sesuatu yg lain dari Flo, sesuatu yg baru... ditambah dia lagi masa puber kedua. yang tak dia temukan sama istrinya. Apalagi setelah punya tiga anak. mungkin yaaa
Flo dengan segala kerumitannya mungkin hanya ngrasa nyaman, karena nggak semua orang dikantor bisa memahami spt Sang memahami Flo. sekedar nyaman bkn ❤️😂
Flo berpendidikan kan? perempuan terhormat. masa iya mau jadi pelakorr sihh? ini yg bermasalah Sang nya. udah titik. wkwkwkwk