NovelToon NovelToon
Glass Wing

Glass Wing

Status: sedang berlangsung
Genre:Romansa Fantasi / Cinta Terlarang / Penyeberangan Dunia Lain / Fantasi Wanita / Saudara palsu / Dark Romance
Popularitas:1.2k
Nilai: 5
Nama Author: Vidiana

—a dark romance—
“Kau tak bisa menyentuh sayap dari kaca… Kau hanya bisa mengaguminya—hingga ia retak.”

Dia adalah putri yang ditakdirkan menjadi pelindung. Dibesarkan di balik dinding istana, dengan kecantikan yang diwarisi dari ibunya, dan keheningan yang tumbuh dari luka kehilangan. Tak ada yang tahu rahasia yang dikuburnya—tentang pria pertama yang menghancurkannya, atau tentang pria yang seharusnya melindunginya namun justru mengukir luka paling dalam.

Saat dunia mulai meliriknya, surat-surat lamaran berdatangan. Para pemuda menyebut namanya dengan senyum yang membuat marah, takut, dan cemburu.

Dan saat itulah—seorang penjaga menyadari buruannya.
Gadis itu tak pernah tahu bahwa satu-satunya hal yang lebih berbahaya daripada pria-pria yang menginginkannya… adalah pria yang terlalu keras mencoba menghindarinya.

Ketika ia berpura-pura menjalin hubungan dengan seorang pemuda dingin dan penuh rahasia, celah di hatinya mulai terbuka. Tapi cinta, dalam hidup tak pernah datang tanpa darah. Ia takut disentuh, takut jatuh cinta, takut kehilangan kendali atas dirinya lagi. Seperti sayap kaca yang mudah retak dan hancur—ia bertahan dengan menggenggam luka.

Dan Dia pun mulai bertanya—apa yang lebih berbahaya dari cinta? Ketertarikan yang tidak diinginkan, atau trauma yang tak pernah disembuhkan?

Jika semua orang pernah melukaimu,
bisakah cinta datang tanpa darah?



Di dunia tempat takdir menuliskan cinta sebagai kutukan, apa yang terjadi jika sang pelindung tak lagi bisa membedakan antara menjaga… dan memiliki?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Vidiana, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

18

Kael melambaikan tangan pelan ke arahnya. “Kemari.”

Ara menatapnya ragu. Alisnya sedikit berkerut, seperti mencoba membaca maksud di balik gerakan sederhana itu. Sejak datang ke rumah ini, Kael memang nyaris tak pernah menyentuhnya. Ia menjaga jarak. Bahkan saat menyembunyikan Ara di kamar mandi tadi, Kael tetap seperti patung es—dingin, tapi terkontrol. Sopan. Dan justru itu yang membuat Ara semakin bingung.

Tapi Kael tidak berkata apa-apa lagi. Ia hanya tetap menatapnya dengan tatapan tenang… menunggu.

Akhirnya, perlahan, Ara bangkit dari sisi ranjang dan berjalan mendekat. Langkahnya pelan, nyaris tanpa suara. Saat ia berdiri tepat di depan Kael, lelaki itu meraih handuk dari tangannya.

“Duduk,” ucapnya pendek.

Ara menuruti. Ia duduk membelakangi Kael di tepi ranjang. Bahunya tampak kaku, namun tidak menjauh saat Kael mulai menyentuhkan handuk ke rambutnya.

Gerakannya lembut—berbeda dari wajahnya yang dingin. Kael mengusap rambut Ara perlahan, menyerap air yang tersisa dengan penuh kesabaran. Ia tidak terburu-buru. Tidak asal. Tangannya bekerja diam, tapi hati Ara mulai berisik.

Tidak ada yang pernah mengeringkan rambutnya seperti ini.

Hening menyelimuti mereka, hanya diisi suara kain menyentuh helaian rambut, dan napas Kael yang tenang di belakangnya.

“Aku tidak mengira kamu bisa melakukan ini,” bisik Ara, setengah gugup.

Kael tidak menjawab.

Tapi Ara bisa merasakan kehadirannya terlalu dekat. Nafasnya terasa di punggung leher. Tubuhnya hangat meski Kael belum mengenakan baju lengkap sejak keluar dari kamar mandi. Ara menunduk, tak berani menoleh.

“Kau pikir aku hanya bisa memakan orang?” Kael akhirnya berbisik di dekat telinganya, membuat tengkuk Ara menegang.

Ara menelan ludah. “Kau… bilang begitu, bukan aku.”

Kael terkekeh kecil. “Benar juga.”

Tangan Kael masih terus bergerak di rambut Ara, hingga akhirnya berhenti.

“Sudah.” Kael menyingkirkan handuk itu dan berdiri.

“Kael…” suara Ara pelan, hampir tenggelam dalam udara malam yang lembap. Ia masih duduk di tepi ranjang, memunggungi Kael yang berdiri tak jauh darinya. “Bagaimana kalau Tania tahu aku tinggal di kamarmu? Maksudku… Kau menyukainya, kan? Kau sedang mendekatinya.”

Kael tidak menjawab. Dia memakai piyamanya dan mengancingkannya.

Saat keheningan itu terlalu lama.

Ara menoleh perlahan, dan mendapati Kael sedang menatapnya seperti seseorang yang baru saja mendengar sesuatu yang mengganggunya—bukan karena tuduhan, tapi karena Ara benar-benar percaya itu.

“Jadi itu yang kau pikirkan selama ini?” tanya Kael akhirnya.

“Kau tidak bilang apa pun pada Elvero. Kau juga tidak bilang ke Tania,” kata Ara pelan, matanya menunduk. “Kau bisa menyuruhku tidur di kamar tamu, tapi kau tidak lakukan itu. Kita… tidur sekasur selama seminggu, Kael.”

Kael mendekat. Ia berhenti tepat di hadapan Ara yang masih duduk. Tinggi tubuhnya membuat Ara harus mendongak sedikit. Tapi yang membuat dadanya sesak bukan tingginya—melainkan ekspresi kosong Kael yang terasa… menusuk.

“Kalau aku benar-benar menyukai Tania,” ucap Kael pelan, “apa menurutmu aku akan membawa perempuan lain ke tempat tidurku?”

Ara terdiam.

“Dan kalau aku benar-benar ingin dia tahu,” lanjutnya, suaranya tetap dingin tapi dalam, “apa kau pikir dia tidak akan menemukannya sejak malam pertama kau di sini?”

“…Kenapa tidak kau usir saja aku?”

Kael tidak menjawab langsung. Ia menunduk sedikit, lalu menyentuh ujung dagu Ara dengan dua jarinya, mengangkat wajah gadis itu agar menatap langsung ke matanya.

“Karena kau pacarku,” jawab Kael tenang, masih menatap mata Ara dari jarak dekat.

Ara tersentak. “Kael, jangan bercanda…”

Kael tidak tertawa.

Ara mencoba mundur, tapi Kael tidak menurunkan tangannya dari dagu Ara. Mata mereka masih bertemu—dan tidak ada gurauan dalam tatapan Kael. Tidak ada senyum. Tidak ada nada ringan.

“Bukankah kau sendiri yang bilang ini hanya hubungan pura-pura?” bisik Ara, suaranya mulai goyah.

“Ya,” Kael mengangguk pelan. “Tapi kau sudah ada di sini. Di ruanganku. Di tempat tidurku. Di bawah air mandianku. Dan tak satu pun dari kita yang berhenti.”

Ara terdiam.

“Kau pikir aku masih pura-pura?” lanjut Kael dengan suara nyaris berbisik.

Wajah Ara memucat. “Kael…”

Kael perlahan menurunkan tangannya dari wajah Ara. “Kalau kau ingin tetap menyebut ini pura-pura, silakan. Tapi kalau aku memperlakukanmu seperti milikku… sekarang kau tahu alasannya.”

Ia membalikkan badan, berjalan menuju sisi ranjangnya, lalu duduk tanpa suara. “Matikan lampunya kalau kau sudah selesai...”

Ara tampak gugup. Tubuhnya gelisah. Napasnya pendek.

Ia tahu malam ini akan sulit untuk tidur. Bukan karena suara, bukan karena ketidaknyamanan… tapi karena kata-kata Kael yang masih terngiang di kepalanya.

“Kau pikir aku masih pura-pura?”

Dengan langkah ringan tapi terburu, Ara menjauh dari tempat tidur, menuju sudut kamar yang ia ingat pernah menjadi tempat Kael menyimpan beberapa obat. Ia membuka laci kecil itu pelan-pelan, mencoba tidak menimbulkan suara, meski Kael sudah tak menoleh lagi.

Tangannya menemukan botol plastik putih. Ia menggenggamnya, membaca sekilas labelnya—tidak peduli apa itu sebenarnya. Hanya satu hal yang ia inginkan sekarang: ketenangan.

Dia membuka tutup botol itu dengan jari yang sedikit gemetar. Menuang dua pil ke telapak tangannya. Lalu memasukkannya ke mulut dan menelan dengan cepat, tanpa air.

Ara menutup kembali botol itu dengan hati-hati, memastikan tidak ada suara mencurigakan. Tangannya masih sedikit gemetar saat ia menyelipkannya kembali ke tempat semula. Ia tidak ingin Kael tahu. Ia tidak ingin menjawab pertanyaan apa pun malam ini.

Obat itu mungkin tidak akan membuat semuanya hilang, tapi setidaknya bisa menenangkan kepalanya yang terus berputar tanpa arah sejak beberapa hari terakhir… atau mungkin, sejak Kael mulai menatapnya dengan cara yang berbeda.

Dia menarik napas dalam-dalam, lalu berjalan pelan ke arah tempat tidur. Kael masih di sana, berbaring dengan punggung menghadap ke arahnya. Napasnya tenang, seperti seseorang yang tidak terbebani apa pun.

Ara naik ke sisi tempat tidurnya—sisi yang selalu menjadi miliknya sejak hari pertama ia tinggal di kamar ini. Ia menarik selimut sampai ke dagu, lalu membalikkan tubuh menghadap tembok.

Tidak ada suara.

Hanya ada jeda panjang, dingin, sunyi… dan degup jantungnya yang entah kenapa terasa lebih keras dari biasanya.

Kepalanya berat. Bukan hanya karena obat yang mulai bereaksi perlahan, tapi juga karena rasa bersalah, takut, dan tanya yang terus menekan dari dalam.

“Kenapa aku harus merasa begini? Ini hanya pura-pura. Ini hanya sementara. Kenapa rasanya seperti… sungguhan?”

Dia memejamkan mata.

Namun detik demi detik berlalu tanpa rasa kantuk. Justru tubuhnya terasa… aneh. Dadanya sesak, kulitnya seperti terbakar dari dalam. Ia menggeliat kecil, menarik selimut lebih tinggi. Tapi bukannya nyaman, justru hawa panas menjalar, memerangkap tubuhnya sendiri dalam keheningan kamar yang gelap.

Obat itu—bukan obat tidur biasa.

Dia mulai menyadari, mungkin ada efek lain yang tidak ia pahami.

Jantungnya berdetak kencang. Tangannya gemetar, bukan karena takut, tapi karena tubuhnya bereaksi. Gelisah. Panas. Ada sesuatu di bawah kulitnya yang menuntut… sentuhan.

Ia menoleh perlahan.

Kael masih di sana, punggungnya tampak tenang. Tapi bayangan tubuhnya, cara dia bernafas, keberadaannya yang terlalu dekat… hanya membuat semuanya terasa lebih gila.

Ara menutup matanya. Tapi justru bayangan Kael yang muncul. Tatapannya. Cara dia menahan Ara waktu itu. Cara dia bersikap seolah Ara tidak berarti… tapi juga tidak bisa ia lepaskan.

Nafas Ara mulai berat. Tubuhnya menggeliat resah. Ia menggigit bibir, mencoba menahan sesuatu yang bahkan tidak bisa ia jelaskan.

“Kenapa tubuhku begini…? Apa ini hanya efek obat? Atau karena dia ada di sini? Karena aku bersamanya terlalu lama… terlalu dekat…?”

Ara memeluk dirinya sendiri. Tapi pelukannya tak cukup.

Tubuhnya memberontak, hatinya kacau. Ia merasa ingin lari—atau disentuh—atau… dipeluk. Ia tidak tahu. Yang jelas, ia tak bisa menenangkan dirinya.

Dan Kael masih diam. Tapi Ara bisa merasakan kehadirannya seperti nyala api di kegelapan, menggodanya untuk datang lebih dekat.

Lalu… tiba-tiba Kael berguling perlahan, kini menghadap ke arah Ara.

“Kael…” suara itu terdengar begitu pelan, nyaris seperti bisikan angin yang kehilangan arah. Lirih. Lemas. Tapi cukup untuk membuat mata Kael terbuka.

Dia memang tidak benar-benar tidur.

Begitu melihat Ara meringkuk di sisi tempat tidur, wajahnya memerah, napasnya memburu seperti sedang diliputi kegelisahan yang tidak biasa, Kael langsung duduk tegak.

“Ada apa?” tanyanya rendah, suara khasnya tetap dingin, meski dadanya mendadak mengencang.

Ara memejamkan mata. Tangan kecilnya menggenggam selimut, tubuhnya gemetar. “Tubuhku… aneh. Aku merasa panas… setelah meminum obat dari rak itu.”

Detik itu juga, Kael berdiri.

Langkahnya panjang dan cepat, menuju sudut kamar tempat ia biasa menyimpan beberapa botol kosong—bekas wadah obat tidur dan vitamin, tempat ia sembunyikan segala sesuatu yang seharusnya tidak pernah digunakan.

1
Vlink Bataragunadi 👑
hmmmm.... ada yg cemburu?
Vlink Bataragunadi 👑: oooh gitu, siap kak, aku ke sana dulu /Chuckle/
Vidiana A. Qhazaly: Mungkin supaya paham alur yg ini bisa baca di morning dew dulu klik aja profilku
total 2 replies
Vlink Bataragunadi 👑
kynya rameeee, tp awal bab byk kata kiasan yg aku blm ngerti
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!