NovelToon NovelToon
Pernikahan Penuh Luka

Pernikahan Penuh Luka

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikah Kontrak / Obsesi / Dijodohkan Orang Tua
Popularitas:3.6k
Nilai: 5
Nama Author: Rima Andriyani

Aku tidak pernah percaya bahwa pernikahan bisa jadi sekejam ini. Namaku Nayla. Hidupku berubah dalam semalam saat aku dipaksa menikah dengan Reyhan Alfarezi, seorang pria dingin, keras kepala, dan kejam. Baginya, aku hanya alat balas dendam terhadap keluarga yang menghancurkan masa lalunya. Tapi bagaimana jika perlahan, di antara luka dan kemarahan, ada sesuatu yang tumbuh di antara kami? Sesuatu yang seharusnya tak boleh ada. Apakah cinta bisa muncul dari reruntuhan kebencian? Atau aku hanya sedang menipu diriku sendiri?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Rima Andriyani, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 18

Reyhan duduk di ruang rapat utama perusahaannya, dikelilingi para petinggi dan manajer proyek yang tengah memaparkan progres kerja mereka. Suara-suara berdengung, grafik-grafik digital terpampang jelas di layar proyektor, dan berkas-berkas menumpuk di hadapannya. Namun, perhatian Reyhan… melayang entah ke mana.

Senyum kecil terus bermain di sudut bibirnya. Sesekali ia mengangguk pelan, seolah menyimak, padahal pikirannya sama sekali tidak berada di ruangan itu.

Bayangan wajah Nayla, dengan rambutnya yang sedikit kusut, pipinya yang merona malu, dan matanya yang masih menyisakan kantuk, terus menari di benaknya. Ingatan akan kehangatan tubuh Nayla dalam pelukannya semalam membuat dada Reyhan terasa hangat, bahkan jantungnya berdetak lebih cepat hanya karena membayangkannya kembali.

“Anda setuju, Tuan Reyhan?”

Reyhan tersentak pelan. Ia segera mengangguk cepat, meskipun tidak sepenuhnya memahami apa yang barusan dikatakan.

“Ya… lanjutkan saja,” ucapnya cepat, berusaha menyembunyikan ketidakhadirannya secara mental.

Petinggi di seberangnya melanjutkan presentasi, dan Reyhan kembali bersandar pada kursinya, menghela napas panjang.

Kalau saja rapat ini tidak begitu penting...

Pikirannya melayang kembali pada kamar tidur yang ditinggalkannya pagi tadi. Pada tubuh Nayla yang masih berselimut dan wajah tenangnya yang belum terbangun. Ia menyesal tak sempat mengucapkan selamat pagi, tak sempat membelai pipi istrinya atau sekadar menyentuh jemarinya.

Kalau saja aku bisa memeluknya sekali lagi sebelum pergi…

Reyhan melirik jam tangannya. Baru pukul sepuluh pagi, dan meeting ini sepertinya masih akan berlangsung cukup lama.

Ia kembali menarik napas, kali ini berat.

Sudahlah, segera selesaikan semua ini. Setelah itu, aku akan pulang. Aku ingin melihatnya. Aku ingin memeluknya lagi. Aku ingin mengatakan bahwa semalam... bukan karena teh itu. Tapi karena aku memang tidak bisa lagi menjauh darinya.

Reyhan menegakkan tubuh, matanya menatap lurus ke arah layar, berusaha kembali fokus. Namun, hatinya… sudah jelas tertinggal di kamar tidur tempat Nayla berada.

Sementara Reyhan tengah berusaha mengalihkan pikirannya di ruang rapat, Nayla menatap dirinya di cermin, merapikan jilbabnya yang ia kenakan dan menarik napas panjang. Ia mengenakan setelan sederhana berwarna biru tua, formal, namun cukup santai untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Hari ini ia tidak berniat bersantai atau tinggal diam di rumah.

Ia menatap layar ponsel yang menampilkan alamat sebuah hotel bintang empat di pusat kota. Heru, nama yang beberapa hari ini terus mengusik pikirannya, tercatat sebagai tamu di hotel tersebut. Pria itu bukan hanya salah satu petinggi di perusahaan Reyhan, tetapi juga seseorang yang, berdasarkan informasi yang ia kumpulkan, memiliki hubungan erat dan mencurigakan dengan Mama Reyhan.

Puluhan transfer dana dalam jumlah besar, dilakukan berkala selama beberapa tahun terakhir.

Alasannya? Tidak jelas.

Tapi Nayla tahu, jika ada celah untuk membongkar semuanya, maka Heru adalah kunci itu.

Ia menoleh ke arah pelayan yang baru saja masuk ke ruang tamu. “Tolong katakan pada Tuan Reyhan bahwa saya hanya keluar sebentar. Jika ia menanyakan,” ucap Nayla tenang, namun nadanya cukup tegas untuk tak diganggu.

Pelayan itu ragu sejenak, namun akhirnya mengangguk. “Baik, Nyonya.”

Nayla melangkah keluar rumah dengan mantap. Di dalam hatinya, berkecamuk berbagai emosi, tekanan, harapan, dan rasa takut yang samar.

“Aku harus melakukannya. Sebelum semuanya terlambat,” gumamnya lirih. “Sebelum penyakit ini benar-benar merenggut segalanya.”

Ia menaiki mobil yang telah ia siapkan, mengatur GPS menuju hotel yang dituju.

Heru. Apa yang sebenarnya kau tahu?

Dan… mengapa Mama Reyhan terlihat sangat panik ketika bicara tentang masa lalu?

Perjalanan menuju pusat kota hanya memakan waktu empat puluh menit.

Begitu sampai, Nayla langsung menuju resepsionis dan menunjukkan foto Heru yang ia simpan. “Permisi, Nona. Tamu ini... saya ingin bertemu dengannya. Kami sudah janjian.”

Resepsionis itu menatapnya sejenak sebelum memeriksa komputer. “Pak Heru berada di kamar 917. Apakah Anda ingin saya menghubungi beliau lebih dulu?”

Nayla menggeleng. “Tidak perlu. Saya akan langsung ke sana.”

Dengan langkah cepat, ia menuju lift, jari-jarinya mengepal erat. Ia tidak tahu bagaimana percakapan nanti akan berjalan. Tapi ia tidak bisa lagi menunda.

Ia harus tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu.

Dan ia harus membuktikan bahwa Papanya... tidak bersalah.

Langkah Nayla terhenti tepat di depan lift yang baru saja terbuka. Ia baru saja hendak melangkah masuk ketika ponselnya bergetar. Nama Papa muncul di layar, membuat jantungnya berdetak tak karuan.

Ia ragu sejenak sebelum akhirnya menggeser layar untuk menjawab.

“Halo, Pa?”

“Nayla… kamu di mana sekarang?” Suara Papa terdengar berat, sedikit bergetar.

Nayla menelan ludah. “Aku… sedang di luar. Ada urusan sebentar.”

“Urusan apa?” Nada suara Papa berubah tajam, penuh kekhawatiran. “Aku baru saja bertemu Lani. Dia bilang kamu sedang mencari tahu tentang masa lalu… tentang Reyhan… dan tentang aku.”

Nayla menghela napas perlahan. “Maaf, Pa. Tapi aku harus tahu kebenarannya. Aku tidak bisa diam begitu saja. Aku tahu Papa bukan penyebab kematian Papa Reyhan. Aku hanya ingin membuktikannya.”

Terdengar hening di seberang. Beberapa detik kemudian, suara Papa terdengar lebih tegas dan penuh tekanan.

“Dengar baik-baik, Nayla. Kamu harus berhenti sekarang juga. Jangan temui siapa pun, terutama orang yang bernama Heru. Itu sangat berbahaya. Papa mohon…”

Nayla membeku di tempat. “Papa kenal dia?”

“Sayangnya, iya,” jawab Papa cepat. “Heru bukan orang biasa. Ia licik, pandai menutupi jejak, dan punya banyak ‘tangan’ yang bisa membuat masalah menghilang tanpa jejak. Orang-orang seperti dia tidak akan segan melakukan apa pun untuk melindungi kepentingannya.”

“Tapi Pa… kalau aku berhenti, siapa yang akan membersihkan nama Papa?”

“Biarkan waktu yang membuktikan. Bukan kamu. Kamu sudah cukup menderita, Nak. Jangan menambahkan luka baru.”

Nada suara Papa berubah lirih di akhir kalimatnya. Nayla bisa merasakan betapa besar kekhawatiran itu. Tapi semakin besar larangan itu, semakin yakin Nayla bahwa ada sesuatu yang benar-benar harus diungkap.

“Maaf, Pa…” bisiknya pelan. “Tapi aku tidak bisa berhenti sekarang. Ini bukan hanya tentang Papa… ini juga tentang Reyhan. Tentang pernikahan kami. Tentang hidupku.”

“Nayla…” suara Papa menegang. “Jangan lanjutkan. Sekali kamu melewati garis ini, tidak akan ada jalan kembali.”

Seketika, suara lift berdenting, menandai bahwa pintu akan segera tertutup.

Nayla menatap pantulan wajahnya di dinding logam lift, matanya terlihat bimbang, tapi juga mengandung tekad yang tak goyah.

“Aku akan hati-hati, Pa. Aku janji.”

Dan sebelum Papa sempat membalas, Nayla telah memutus sambungan telepon.

Ia melangkah masuk ke dalam lift, membiarkan pintu tertutup perlahan di belakangnya.

Kamar 917. Itu tujuannya.

Nayla menatap pintu kamar hotel itu dengan napas tertahan. Dia harus mendengar langsung dari pria bernama Heru, yang selama ini diam-diam terkait dengan Mama Reyhan.

Ketukan ringan terdengar tiga kali.

Tak lama, pintu terbuka. Sosok pria berusia sekitar lima puluhan muncul dari baliknya, mengenakan kemeja biru muda yang rapi, tetapi senyum yang terbit di wajahnya tak seramah penampilannya.

“Nona Nayla,” sapa Heru dengan nada datar, tapi penuh makna. “Saya sudah menunggu.”

Nayla tertegun. Pria itu mengenalnya? Ia belum sempat merespons, ketika dari dalam kamar hotel itu terdengar suara langkah kaki.

Sosok wanita elegan dengan pakaian mewah muncul dari balik Heru.

Nayla terpaku. Kedua matanya melebar ketika menyadari siapa yang berdiri di hadapannya.

"Mama?" bisiknya nyaris tak terdengar.

Wanita itu tersenyum sinis. “Kau benar-benar berani, Nayla. Tega sekali datang ke tempat seperti ini sendirian.” Dia mendekat, suaranya kini lebih tajam. “Kau pikir bisa menemukan sesuatu di sini? Kau pikir kami akan membiarkanmu mengorek-ngorek masa lalu semudah itu?”

Nayla menegakkan kepala. “Aku hanya ingin tahu yang sebenarnya.”

Mama Reyhan menyipitkan mata, menatap Nayla seperti memindai kelemahan dari wajah muda di hadapannya. “Lucu. Dulu aku pikir kau hanya gadis polos yang mudah diatur. Tapi rupanya, kau lebih keras kepala daripada yang kukira.”

“Aku hanya ingin membersihkan nama Papa,” jawab Nayla tenang, meskipun jantungnya berdebar tak karuan. “Kalau memang tidak ada yang disembunyikan, kenapa kalian harus takut?”

Heru terkekeh pendek di belakang Mama Reyhan. “Keberanian seperti itu berbahaya, Nona. Terutama jika tidak tahu dengan siapa kau berhadapan.”

“Tentu saja aku tahu,” balas Nayla, menatap lurus ke mata pria itu. “Pria yang sudah lama menerima transfer dari rekening milik istri salah satu pendiri perusahaan besar… tanpa alasan yang jelas.”

Wajah Heru berubah sedikit. Mama Reyhan segera memotong, “Itu tidak ada hubungannya denganmu.”

“Itu berhubungan dengan hidupku!” seru Nayla, suaranya mulai bergetar. “Dengan Reyhan, dengan Papa, dengan semuanya. Aku tidak akan mundur.”

Seketika suasana menjadi hening. Mama Reyhan menatap Nayla dengan tajam, lalu tertawa pelan.

“Baiklah, Nayla. Kau sudah sejauh ini. Maka dengarkan baik-baik. Permainan ini bukan permainan untuk anak-anak. Kalau kau ingin tahu kebenarannya, bersiaplah menanggung risikonya.”

Nayla mengepalkan tangan. “Aku tidak takut.”

Mama Reyhan mendekat dan menatap wajah Nayla dari dekat. “Kau akan menyesalinya.”

***

Reyhan melangkah keluar dari ruang rapat dengan langkah tergesa, berharap bisa segera sampai rumah dan memeluk istrinya. Namun langkahnya terhenti saat ponselnya bergetar. Sebuah panggilan masuk dari salah satu orang kepercayaannya, yang beberapa hari terakhir ia tugaskan untuk diam-diam mengawasi Nayla.

Reyhan mengangkatnya cepat.

“Halo?”

“Tuan, Nona Nayla baru saja masuk ke sebuah hotel di pusat kota. Dia datang sendirian. Dan sepertinya dia akan menemui seseorang bernama Heru—”

Sret.

Sambungan tiba-tiba terputus. Suara itu menghilang secepat angin tertiup.

Reyhan memandang layar ponselnya, mengerutkan dahi. Ia mencoba menelpon kembali.

Satu kali. Tidak tersambung.

Dua kali. Masih tidak tersambung.

"Kenapa tidak bisa dihubungi?" gumamnya dengan nada cemas.

Perasaan tidak enak langsung menyelimuti hatinya. Bukan hanya karena nama Heru yang disebut, pria yang ia tahu terlibat urusan abu-abu dalam manajemen lama perusahaan, tapi karena Nayla. Kenapa Nayla ingin bertemu dengannya? Dan... sendirian?

Reyhan langsung membuka aplikasi navigasi, memasukkan nama hotel yang dimaksud. Tanpa pikir panjang, ia menyambar jasnya dan berlari ke mobil. Belum sempat ia duduk sempurna, mobil sudah melaju cepat menembus lalu lintas siang itu.

Wajah Nayla terus terbayang di kepalanya, dan firasat buruk tak henti menyiksa benaknya.

Nayla duduk di sebuah ruangan hotel yang cukup mewah, namun hawa yang mengelilinginya terasa dingin dan menyesakkan. Di hadapannya, duduk dua orang yang kini menjadi pusat dari teka-teki masa lalu. Heru dan wanita yang selama ini ia panggil Mama. Mama Reyhan.

"Jadi, akhirnya kau datang juga, Nayla," ujar Mama Reyhan sambil menyilangkan kakinya dengan angkuh. Suaranya tenang, namun ada nada ancaman yang terselip di dalamnya. "Aku tidak perlu mengirim siapa pun untuk menculikmu. Kau malah datang sendiri ke sarang harimau."

Nayla tetap diam, berusaha menjaga ekspresi wajahnya tetap tenang meski hatinya mulai diliputi kegelisahan.

Heru hanya tersenyum kecil, menatap Nayla seolah ia adalah pion yang sudah terlalu mudah ditebak langkahnya.

"Aku hanya ingin kebenaran," kata Nayla akhirnya, suaranya tenang namun penuh ketegasan. "Aku ingin tahu apa yang sebenarnya terjadi pada ayah Reyhan, dan apa hubungan kalian dalam semua ini."

Mama Reyhan menyandarkan tubuhnya, lalu mendecak pelan sebelum akhirnya berkata, “Kalau itu yang kau cari… baiklah. Tapi aku rasa Reyhan berhak tahu siapa diriku sebenarnya.”

Nayla menatapnya, bingung.

“Aku bukan ibu kandung Reyhan,” lanjut wanita itu. “Aku menikahi ayahnya karena satu hal, harta. Reyhan adalah anak dari istri pertamanya, yang sudah lama meninggal dunia sebelum aku masuk ke dalam keluarga mereka.”

Napas Nayla tercekat.

“Papanya Reyhan adalah pria yang setia. Terlalu setia, sampai-sampai tak pernah menyangka bahwa aku bisa... menjalin hubungan dengan pria lain,” katanya, menoleh ke arah Heru dengan senyum sinis.

"Dan pria itu adalah dia?" Nayla menoleh tajam ke arah Heru.

Heru hanya mengangguk kecil, tanpa rasa bersalah.

“Alfarezi, mengetahui hubungan kami. Itu membuatnya sangat marah. Tapi yang lebih parah lagi, ayahmu juga mengetahuinya. Dia mengancam akan membongkar semuanya jika aku tidak mengakhiri hubungan ini.”

Nayla menegang.

“Tapi kau tak berhenti.”

“Tidak,” jawab Mama Reyhan dengan mantap. “Karena aku tidak pernah takut dengan ancaman. Dan ketika Alfarezi akhirnya tahu dari orang lain… dia tidak bisa menerima kenyataan bahwa istrinya mengkhianatinya. Dia terkena serangan jantung. Sungguh menyedihkan.”

“Dan kau tidak menolongnya?” tanya Nayla perlahan, nyaris berbisik.

“Aku bisa saja,” jawab wanita itu sambil tersenyum dingin. “Tapi kenapa harus? Dia sudah tahu semua kebusukanku. Aku tahu, secepat apa pun aku menolong, dia mungkin masih akan hidup… untuk membenciku.”

“Dan Ayahku…?” Nayla memejamkan mata, menahan gejolak di dadanya.

“Ayahmu mencoba mencari pertolongan. Tapi aku lebih dulu menjerit, menuduhnya. Aku bilang, dia membuat Alfarezi marah… hingga akhirnya meninggal. Dan semua orang mempercayainya.”

Nayla memeluk tubuhnya sendiri, merasa perih, marah, dan tak berdaya di saat yang sama.

“Kenapa… kenapa kau ceritakan semua ini sekarang?”

Mama Reyhan bangkit dari tempat duduknya, mendekati Nayla, lalu menunduk.

“Karena kau sudah tahu terlalu banyak. Dan sebelum kau berencana membocorkan semuanya pada Reyhan… aku ingin memastikan bahwa kau tidak akan pernah punya kesempatan itu.”

Di balik tangannya yang mengepal erat di sisi tubuhnya, Nayla menyembunyikan ponsel yang sejak awal telah ia aktifkan dalam mode perekaman. Suara Mama Reyhan yang lantang, pengakuan yang begitu gamblang, serta tawa sinis Heru, semuanya terekam jelas dalam file audio berdurasi panjang itu.

Nayla tahu, ia tak bisa gegabah. Sedikit gerakan mencurigakan saja bisa membuat ponselnya dirampas dan semua usahanya akan sia-sia. Ini bukan waktu untuk menyerang balik. Ini waktunya bertahan… dan melarikan diri.

Mama Reyhan kembali duduk, menyilangkan kaki dan menatap Nayla penuh kesombongan. Heru berdiri di sisi jendela, mengamati jalanan di bawah sambil menyesap minumannya.

“Apa kau pikir Reyhan akan mempercayaimu, Nayla?” suara Mama Reyhan kembali terdengar. “Kau pikir dia akan memilihmu setelah tahu kau mencoba menggali masa lalu kelam keluarganya?”

Nayla tersenyum samar. "Tidak perlu menjawab. Nanti Reyhan akan mendengarnya sendiri," batinnya.

Dalam diam, tangannya perlahan-lahan memasukkan ponsel ke dalam tasnya.

Kini tinggal satu masalah, bagaimana keluar dari ruangan ini tanpa mencurigakan mereka?

Nayla melirik sekeliling ruangan. Satu pintu utama yang dijaga oleh Heru, dan jendela besar di sisi ruangan. Terlalu tinggi untuk melompat, tapi mungkin bisa menjadi sinyal darurat, jika dia bisa menciptakan gangguan.

“Bolehkah aku ke kamar kecil sebentar?” tanya Nayla tiba-tiba, suaranya dibuat tenang.

Mama Reyhan menatapnya curiga. “Kau pikir aku sebodoh itu?”

“Tolonglah. Aku hanya ingin ke kamar kecil, itu saja. Tidak akan lari, tidak akan melakukan hal bodoh,” ujar Nayla lirih.

Heru menoleh ke arah wanita di sampingnya, seolah meminta keputusan.

Mama Reyhan mengangguk pelan. “Antarkan dia, tapi jangan sampai lepas dari pandanganmu.”

Heru mendekat dan memberi isyarat pada Nayla untuk berjalan lebih dulu. Nayla menunduk dan berjalan menuju pintu samping yang mengarah ke kamar mandi dalam.

Begitu masuk ke dalam dan menutup pintunya, Nayla segera mengunci diri. Napasnya tercekat, jantungnya berdegup kencang.

Ia menarik ponsel dari sakunya, menekan tombol kirim cepat ke email pribadi dan ke kontak Reyhan, yang sudah ia siapkan sebelumnya. File audio itu langsung terkirim dalam hitungan detik.

Setelah itu, ia menyelipkan ponsel kecil itu ke balik tank cover toilet dan membuka jendela kecil di sisi dinding kamar mandi. Angin kencang menerpa wajahnya. Matanya menyapu pemandangan di luar.

Hotel ini berada di lantai sepuluh. Terlalu tinggi untuk melompat, terlalu berbahaya… tapi jika dia bisa membuat seseorang dari luar memperhatikan, mungkin ia masih punya peluang.

Ia membuka keran air sepenuhnya, menimbulkan suara deras yang mengalihkan perhatian Heru di luar. Dengan cepat ia menuliskan beberapa huruf besar dari lipstik yang ada di rak wastafel: “HELP – ROOM 1008” di cermin, lalu menyobek kertas tisu, menuliskan nomor Reyhan, dan melemparkannya keluar jendela, berharap angin membawa harapan.

Satu langkah sudah diambil.

Sekarang tinggal menunggu kesempatan berikutnya.

1
Hendri Yani
Luar biasa
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!