Lima belas tahun menikah, Ghea memergoki suaminya berselingkuh dengan sekretarisnya. Lebih menyakitkan lagi, di belakangnya sang suami menyebutnya sebagai wanita mandul dan tak becus melayani suami. Hatinya hancur tak bersisa.
Dalam badai emosi, Ghea pergi ke klub malam dan bertemu Leon—pria muda, tampan, dan penuh pesona. Dalam keputusasaan, ia membuat kesepakatan gila: satu miliar rupiah jika Leon bisa menghamilinya. Tapi saat mereka sampai di hotel, Ghea tersadar—ia hampir melakukan hal yang sama bejatnya dengan suaminya.
Ia ingin membatalkan semuanya. Namun Leon menolak. Baginya, kesepakatan tetaplah kesepakatan.
Sejak saat itu, Leon terus mengejar Ghea, menyeretnya ke dalam hubungan yang rumit dan penuh gejolak.
Antara dendam, godaan, dan rasa bersalah, Ghea terjebak. Dan yang paling menakutkan bukanlah skandal yang mengintainya, melainkan perasaannya sendiri pada sang berondong liar.
Mampukah Ghea lepas dari berondong liar yang tak hanya mengusik tubuhnya, tapi juga hatinya?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Nana 17 Oktober, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
18. Antara Hati dan Logika
"L-leon--"
Cup
Sebelum Ghea melanjutkan perkataannya, Leon mencium bibir Ghea beberapa saat.
Diam.
Tanpa kata.
Ghea bisa merasakan degup jantung Leon dan napasnya yang memburu, mencoba meredakan gejolak yang hampir saja membuat mereka melewati batas yang tinggal seujung kuku.
Perlahan, Leon melepaskan ciumannya, seolah tak rela.
Pandangan mereka bertemu, sejenak saling bicara dalam diam—antara larangan dan keinginan yang tak lagi bisa disangkal.
Leon menurunkan Ghea perlahan. Tapi sentuhan tangannya di pinggang Ghea tetap erat, seakan tak rela melepas. Bibirnya belum sepenuhnya menjauh dari wajah wanita itu—masih menyapu pipi, turun ke leher, membiarkan jejak napasnya mengguncang kewarasan Ghea.
“Cepat-cepatlah ceraikan dia,” bisik Leon serak di telinganya. “Kalau perlu, aku yang urus semua suratnya. Termasuk bukti-bukti bahwa suamimu tak lebih dari bajingan munafik yang bercinta dengan sekretarisnya saat kau sibuk menjaga harga diri keluarga.”
Ghea memejamkan mata. Suara Leon, berat dan penuh tekanan, seperti sihir gelap yang membuat jantungnya berdetak tak karuan.
“Belum waktunya,” gumamnya lemah, meski seluruh tubuhnya berteriak sebaliknya.
Leon tertawa kecil. Suaranya rendah dan liar, seperti binatang buas yang menahan diri di ambang terkamannya.
“Jangan buat aku menunggu terlalu lama, Honey,” bisiknya sembari menelusuri lekuk rahang wanita itu dengan ibu jarinya. “Karena aku benar-benar tidak tahu… sampai kapan aku bisa menahan diri untuk tidak menerkammu habis-habisan.”
Ghea menarik napas cepat. Ia bisa merasakan getaran itu—bahaya yang begitu nyata di balik kendali tipis Leon.
Pria itu mendekat lagi, menempelkan dahinya ke dahi Ghea. Matanya tajam, dalam, dan menyala dengan keinginan yang belum padam.
“Aku bukan pria baik, Honey,” gumamnya, nyaris seperti peringatan. “Tapi untukmu… aku bersedia menunggu. Sedikit lebih lama.”
Ia mengecup singkat bibir wanita itu. Sekilas, tapi cukup untuk menyulut bara yang hampir padam lagi.
Kemudian ia mundur satu langkah, perlahan, mata tetap mengunci milik Ghea.
“Jangan buat aku menyesal menunggu,” katanya dingin, lalu berbalik meninggalkan kamar mandi—membiarkan udara penuh panas yang belum sempat reda menggantung di antara mereka.
Begitu Leon keluar dari kamar mandi, tubuh Ghea merosot. Lututnya kehilangan kekuatan, membuatnya terduduk di lantai yang dingin. Punggungnya bersandar pada dinding, jubah mandinya setengah terbuka, memperlihatkan kulit yang masih bergetar karena jejak-jejak sentuhan yang belum benar-benar pudar.
Napasnya memburu, tak terkendali. Matanya terpejam rapat—berusaha menahan sisa gelombang hasrat yang tadi nyaris menenggelamkannya.
"Kenapa…? Kenapa tubuhku tak bisa menolak, meski logikaku berteriak ini salah?"
Ghea menggigit bibirnya, keras.
"Apa karena sudah terlalu lama aku tak mendapatkan kehangatan itu?"
Bukan sekadar kehangatan tubuh, tapi sesuatu yang lebih… yang membuat dirinya merasa dilihat, diinginkan… dimiliki.
Lalu bayangan Leon muncul di kepalanya. Tatapan tajamnya, tubuh tinggi tegapnya yang hanya terbalut celana boxer… kilasan itu membuat napas Ghea tercekat. Tanpa sadar, ia menggigit bibir bawahnya—keras hingga terasa perih.
“Aku gila…” desisnya lirih.
Ia mengusap wajahnya dengan kasar, seakan bisa menghapus semua sisa perasaan yang masih melekat di kulitnya. Tapi rasanya justru semakin nyata. Bekas ciuman, bisikan, dan pelukan Leon masih terasa membakar.
"Apa ini hanya karena dia lebih muda dari David? Karena tubuhnya lebih… indah? Lebih hidup?"
Ghea menunduk, lalu membenturkan kepalanya pelan ke dinding. Sekali. Dua kali. Berharap sedikit rasa sakit bisa menyadarkannya.
"Atau karena Leon membuatku merasa diinginkan? Sesuatu yang tak pernah lagi kutemukan dalam pernikahanku sendiri?"
Ia menarik napas panjang, tapi dadanya tetap sesak.
Logikanya berkata Leon hanya main-main. Pria semuda itu—liar, penuh pesona, bebas—mana mungkin sungguh mencintai wanita yang telah bersuami dan lebih tua darinya sepuluh tahun?
Namun batinnya—yang sunyi, yang haus cinta dan perhatian, yang rapuh dalam kesendirian panjang—menolak mendengar.
Dan itu yang paling menakutkan.
Siang hari – Sebuah Kafe Sunyi, Dikelilingi Buku dan Tanaman Indoor
Ghea duduk di pojok kafe, menatap cappuccino-nya yang mulai mendingin. Ia mengenakan blouse polos dan celana bahan, sederhana tapi elegan. Rautnya serius, tapi cemas.
Tak lama, Vika masuk sambil tersenyum lebar. Ia menggandeng seorang wanita muda, berpakaian rapi dengan blazer pastel dan sepatu datar.
“Ghea, kenalin, ini Nayla. Dia lulusan MBA dari luar negeri, sekarang bantuin beberapa perusahaan keluarga juga. Dan tenang… dia perempuan, jadi kamu nggak perlu tegang,” ujar Vika dengan suara meyakinkan.
Ghea tersenyum lega. Ia langsung berdiri dan menjabat tangan Nayla.
"Aku Ghea. Terima kasih sudah mau meluangkan waktu," katanya tulus.
Nayla membalas senyum hangat. "Dengan senang hati, Nyonya Ghea. Saya dengar dari Vika, Nyonya ingin mulai memahami bisnis perusahaan lebih dalam. Kita bisa mulai dari mana pun Nyonya merasa nyaman."
Ghea mengangguk, lalu menunduk sebentar. “Kalau bisa, kita mulai dari dasar sekali. Aku ini... bukan tipe yang cocok sama angka dan laporan. Tapi aku harus belajar. Aku nggak bisa terus-terusan dibodohi.”
Nayla mengangguk. "Baik, kita akan mulai dari dasar."
Ghea menghela napas berat.
“Aku akan pelajari semuanya. Meskipun pelan. Tapi aku akan mengerti. Dan saat itu tiba, aku akan rebut semuanya kembali,” batinnya, kuat.
MAHARDIKA GROUP
Ruang Eksekutif – Lantai 33
Rafael mengetuk pelan pintu ruang kerja Varendra Mahardika. Setelah mendengar izin singkat dari dalam, ia masuk dan melangkah ke meja besar yang separuhnya tertutup bayangan tirai. Ia meletakkan beberapa berkas rapat dan mengangguk hormat.
“Satu jam lagi meeting dengan para pemegang saham, Tuan,” lapornya.
Pria yang duduk di belakang meja tidak langsung merespons. Ia hanya menghela napas panjang, seolah beban dunia bertumpu di kedua bahunya.
Dari balik masker hitam yang menutupi setengah wajahnya, hanya terlihat sepasang mata tajam dan dahi yang berkerut. Rambutnya gondrong, dibiarkan terurai acak menutupi sebagian wajah. Tatapannya tak beralih dari layar laptop di hadapannya—menampilkan sebuah foto candid seorang wanita.
Ghea.
Rafael sempat melirik, dan dalam hati bertanya-tanya, "Kenapa Tuan Varendra terlihat kayak suami yang udah seminggu nggak dikasih jatah?"
Aura muramnya kentara, bahkan dari ekspresi sekecil garis di dahi dan gerakan jari yang mengetuk meja perlahan.
Ia belum pernah melihat seluruh wajah pria ini. Tak ada satu pun staf Mahardika Group yang pernah. Varendra Mahardika adalah legenda sekaligus teka-teki. Pria yang mampu membeli tiga perusahaan hanya dengan satu panggilan, tapi selalu hadir tanpa identitas penuh. Hanya mata, suara berat, dan wibawa yang tak bisa dilawan.
Namun entah kenapa, setiap kali Rafael berdiri di hadapannya… ada perasaan ganjil yang merayap.
Aura itu. Postur itu.
Sedikit… mengingatkannya pada seseorang.
“Berhenti menerka-nerka,” suara berat Varendra memecah lamunan Rafael. Dingin. Tegas.
Rafael tersentak. Matanya langsung bertemu dengan sorot tajam dari balik masker. Seolah pikirannya barusan sudah dibaca habis.
“Lakukan satu hal untukku,” lanjut Varendra tanpa memberi jeda, suaranya rendah namun penuh tekanan.
Rafael mengangguk, bersiap mencatat di ponselnya.
“Susupkan orang kepercayaan kita ke dalam Arta Karya Interior,” ujar pria itu, suaranya tenang tapi mengandung bara. “Aku ingin semua bukti kebusukan David Harliwan ditemukan. Aku ingin ia jatuh. Hancur. Ditendang ke jalanan seperti sampah yang tidak diinginkan.”
Matanya menyala dingin, seperti bara yang tak padam.
“Lalat busuk seperti dia,” lanjutnya pelan, “hanya pantas tinggal di tumpukan sampah.”
Rafael mengangguk pelan, meski jantungnya berdetak lebih cepat.
Kata-kata itu terlalu pribadi. Terlalu emosional. Bukan gaya Varendra yang biasanya dingin dan penuh perhitungan.
Dan Ghea… wanita yang fotonya selalu terpampang di layar itu?
Apa sebenarnya hubungan mereka?
Atau ada sesuatu yang lebih besar—lebih dalam—yang tersembunyi di balik semua ini?
Rafael menunduk hormat, menyembunyikan pikirannya. Tapi otaknya belum berhenti mengolah.
Senyap sejenak menyelimuti ruangan, hanya terdengar dengung pendingin udara dan ketukan pelan jari Varendra di atas meja.
Rafael keluar dengan kepala tertunduk, tapi pikirannya penuh. Tak bisa bohong, Varendra membuat bulu kuduknya meremang.
Dan satu hal yang mulai sulit ia abaikan:
Mata pria itu.
Tajam. Dalam.
Meski berwarna abu kebiruan—ice grey yang dingin dan asing—ada sesuatu di balik tatapan itu yang tak bisa ia abaikan.
Sesuatu yang mengingatkannya pada Leon.
Bukan warnanya, tapi cara mata itu menelanjangi isi kepala seseorang tanpa ampun.
Kantor Arta Karya Interior – Ruang Direktur Utama
David menyandarkan punggung ke kursi kerja besar berlapis kulit, tangan kanannya mengetuk-ngetuk meja dengan gelisah. Pandangannya kosong menatap layar monitor yang memperlihatkan live feed dari CCTV rumahnya.
“Bagaimana?” tanyanya pendek.
...🌸❤️🌸...
.
To be continued
Vika ini terlalu curiga sama Leon yang akan menghancurkan Ghea lebih dalam daripada David - sepertinya kok tidak.
Ghea bersama Leon merasa hidup - merasa utuh dan sepertinya Leon benar mencintai Ghea dan pingin membantu Ghea mengembalikan haknya sebagai pewaris perusahaan tinggalan orang tuanya yang sekarang dikuasai si pecundang David.
Tapi baik juga kalau Vika mau menyelidiki siapa Leon dan apa maksud Leon mendekati Ghea.
W a d uuuuuhhhh siapa dia yang menjadikan Ghea membeku - tangannya mencengkeram tali tas.
Leon senang ini terbukti malah tersenyum wkwkwk
tapi tenang saja Vika, Leon orangnya baik dia yang akan menghancurkan David bersama selingkuhannya.