"Aku Bukan Ustadzah" mengisahkan perjalanan Aisyah, seorang wanita sederhana yang dikenal taat dan aktif di lingkungan sosial keagamaan, namun selalu menolak disebut ustadzah. Ia merasa masih terus belajar dan takut gelar itu membuatnya terjebak dalam citra yang bukan dirinya. Di tengah aktivitas dakwahnya, hadir Khaerul—seorang pemuda tangguh yang dulu jauh dari agama namun kini berjuang menata hidup dengan semangat hijrah. Pertemuan mereka membawa dinamika antara prinsip, cinta, dan pencarian jati diri. Novel ini menyajikan konflik batin, perjuangan iman, dan ketulusan cinta yang tak selalu harus dimiliki namun untuk dimengerti.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ummu nafizah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 18: Di Ujung Harap dan Doa
Hari-hari di Batupute terus bergulir. Namun kini setiap detiknya terasa lebih berat bagi Aisyah. Kehamilan yang semula disambut dengan tangis bahagia perlahan berubah menjadi medan ujian. Perutnya semakin membesar, tetapi tubuhnya melemah lebih cepat dari yang diperkirakan. Nafasnya sering tersengal, dan kakinya membengkak hingga tak bisa lagi dipakai berjalan jauh untuk mengajar di surau kecil tepi pantai.
Khaerul setia mendampingi, tetapi hatinya seperti dicabik-cabik setiap kali melihat Aisyah mengerang dalam diam. Di mata istrinya, ia melihat seorang pejuang—bukan hanya seorang ibu yang mengandung, tetapi seorang dai yang memikul umat, seorang anak yang menanggung sejarah.
Suatu malam, Aisyah mengerang keras hingga mengguncang rumah. Tubuhnya menggigil hebat. Khaerul segera membopongnya, menuju bidan desa dengan napas terengah dan wajah panik.
“Ini bukan sekadar kelelahan biasa,” ujar Bu Rahma, bidan tua yang menangani kehamilan Aisyah. “Ada tekanan yang besar di dalam. Bayi ini luar biasa kuat... tapi Aisyah butuh ketenangan jiwa. Dia sedang menanggung lebih dari satu kehidupan.”
Malam itu, Aisyah dibius ringan agar bisa beristirahat. Di sisi ranjang, Khaerul duduk terpekur membaca surah Yusuf. Suaranya parau, namun ia terus membaca.
“Aku tahu, Ya Rabb... Aisyah bukan hanya istri, dia adalah cahaya umat ini. Jika Kau titipkan amanah besar dalam rahimnya, maka kuatkan dia. Jangan Kau tinggalkan walau sekejap...”
Di balik jendela, hujan turun deras. Seolah langit pun ikut menangisi beban yang dipikul seorang wanita bernama Aisyah. Namun di antara rintik-rintik hujan itu, datanglah satu cahaya kecil. Dalam tidurnya, Aisyah bermimpi.
Ia berada di sebuah ruangan penuh cahaya. Di sana ada seorang wanita tua dengan wajah bersinar, memegang mushaf dan tersenyum.
"Jangan takut, nak. Kami bersamamu. Darahmu adalah darah perempuan-perempuan tangguh yang mencintai Allah. Bertahanlah, karena anakmu kelak akan meneruskan perjuangan ini."
Aisyah menangis dalam tidurnya. Ketika terbangun, ia menggenggam tangan Khaerul dan berbisik, “Aku siap... apa pun takdir-Nya. Tapi bimbing aku terus dalam cahaya, ya...”
Hari-hari berikutnya diisi dengan kesabaran dan doa. Para tetangga mulai berdatangan membawa makanan dan semangat. Bahkan Pak Samad datang setiap hari membawakan ramuan herbal dan membacakan ayat-ayat ruqyah di sisi Aisyah. Dendam telah luluh, dan cinta kini tumbuh dari akar yang baru.
Namun tekanan masih belum usai. Malam-malam Aisyah kembali dipenuhi rasa nyeri yang menjalar hingga ke tulang. Bahkan pernah satu malam, ia tak sadarkan diri selama dua jam.
Bidan berkata, “Ini bisa jadi preeklampsia... atau ada sebab yang lebih dalam. Kita butuh rujukan ke rumah sakit kota.”
Tapi untuk ke kota, mereka butuh biaya. Uang yang ada hanya cukup untuk hidup sehari-hari dan kebutuhan dakwah. Khaerul pun memutuskan menjual satu-satunya motor tua mereka.
“Untukmu, dan untuk anak kita...” katanya sambil menatap Aisyah dengan mata basah.
Motor itu laku cukup untuk membawa Aisyah ke rumah sakit kabupaten. Di sana, pemeriksaan menyatakan kondisi kehamilan sangat berisiko. Dokter bahkan menyarankan persalinan dipercepat.
Namun Aisyah menolak.
“Aku ingin melahirkan dengan zikir dan sabar... di tanah yang telah menuntunku menemukan jati diri,” ujarnya pada Khaerul.
Mereka pun kembali ke Batupute, menanti dengan doa, dan kekuatan yang hanya bisa diberikan oleh Allah.
Namun setiap detik kembali menjadi perjuangan. Rasa sakitnya makin menusuk. Terkadang, Aisyah hanya bisa berbaring dengan tubuh yang berkeringat dingin dan wajah pucat pasi. Tubuhnya seakan dihantam gelombang panas dan dingin bergantian. Namun, di sela sakit itu, bibirnya tak pernah berhenti melafalkan zikir. "Hasbunallahu wa ni’mal wakil..." menjadi nyanyian sunyi yang mengisi malam-malamnya.
Ia menolak untuk dipindah ke rumah sakit kembali. "Aku ingin melahirkan di sini, di bawah atap yang menjadi saksi perjuangan kita," katanya lirih, sambil menatap langit-langit bambu rumah mereka yang sederhana.
Khaerul, dengan cinta yang tak pernah surut, siaga setiap waktu. Ia mengusap kening Aisyah dengan air zamzam yang selama ini mereka simpan sebagai berkah. Ia menjadi imam bagi doa yang dipanjatkan oleh banyak hati—ibu-ibu majelis taklim, anak-anak TPA, dan bahkan pemuda kampung yang dulu tak percaya agama.
“Setiap detik terasa seperti seribu jarum yang menusuk seluruh tubuhku,” bisik Aisyah suatu malam. “Tapi aku yakin, ini bukan sakit... ini jalan menuju rahmat.”
Dan malam itu, di tengah remang cahaya lampu minyak dan suara debur ombak dari kejauhan Pantai Lasonrai, Aisyah kembali bermimpi. Ia berjalan menyusuri jalan cahaya, dan di ujungnya ada seorang pria berjubah putih yang tersenyum.
"Sabar, wahai pejuang. Ujianmu hampir selesai. Dan hadiah-Nya lebih besar dari apa yang kau duga..."
Khaerul, dengan cinta yang tak pernah surut, siaga setiap waktu. Ia mengusap kening Aisyah dengan air zamzam yang selama ini mereka simpan sebagai berkah. Ia menjadi imam bagi doa yang dipanjatkan oleh banyak hati—ibu-ibu majelis taklim, anak-anak TPA, dan bahkan pemuda kampung yang dulu tak percaya agama.
Di tengah masa sulit itu, para santri pun bersatu. Mereka membentuk halaqah khusus untuk berdoa demi kesembuhan Aisyah. Malam-malam yang biasanya digunakan untuk tidur kini berubah menjadi malam munajat. Tangis terdengar dari bibir-bibir muda yang memohon agar Allah menjaga guru mereka.
Namun cobaan tidak berhenti di situ. Salah satu santri senior, Fahri, diam-diam menyebarkan desas-desus bahwa Aisyah terkena kutukan karena menyembunyikan ilmu dari para santri. "Ia sakit karena ada ilmu yang belum ditunaikan," katanya lantang saat diskusi.
Beberapa santri mulai ragu. Mereka gelisah dan mempertanyakan keputusan Aisyah yang berhenti mengajar sejak sakit. Fitnah itu perlahan meracuni sebagian hati, membuat Aisyah makin terpukul.
Kabar itu sampai ke telinga Aisyah. Dengan suara parau, ia berkata kepada Khaerul, "Aku tak marah... Tapi jika ini menjadi bagian dari ujian dakwahku, maka aku ridha. Semoga Allah membuka hati mereka."
Khaerul memanggil semua santri dan menyampaikan ceramah yang mengguncang hati mereka. Ia berkata, "Jika kalian meragukan guru kalian, maka kalian telah meragukan ilmu yang kalian genggam. Aisyah sedang berjuang antara hidup dan mati, dan kalian menghakiminya? Apakah itu adab seorang penuntut ilmu?"
Mata-mata yang sebelumnya ragu kini berubah menjadi genangan air. Fahri pun menangis dan memohon maaf kepada Aisyah secara langsung.
“Aku khilaf, ustadzah... aku iri, dan aku terjebak dalam bisikan syaitan...”
Aisyah hanya tersenyum lemah dan berkata, "Jika ilmu tak disertai adab, maka ia hanya beban. Tapi jika adab mendahului ilmu, maka Allah akan jaga hatimu."
Dengan semangat baru, para santri kini bergilir menjaga Aisyah, menyiapkan makanan, dan kembali melantunkan doa-doa di setiap malam. Rumah kecil itu kembali hangat. Bukan hanya oleh pelita, tapi oleh cinta, ilmu, dan pengorbanan yang tumbuh dari luka dan keikhlasan.
Dan di balik semua rasa sakit, Aisyah tahu—ia sedang mengandung bukan hanya seorang anak, tapi harapan baru untuk sebuah umat yang sedang bangkit.