NovelToon NovelToon
Dion (1)

Dion (1)

Status: tamat
Genre:Romantis / Tamat / Cintapertama / Anak Yatim Piatu / Cinta pada Pandangan Pertama / Cinta Murni / Anak Lelaki/Pria Miskin
Popularitas:1.7k
Nilai: 5
Nama Author: K. Hariara

Selama empat generasi keluarga Dion mengalami fenomena 'tading maetek' atau ditinggal mati oleh orang tua pada usia dini. Tapi seorang yatim juga sama seperti manusia lainnya, mereka jatuh cinta. Dion menaruh hati pada seorang gadis dari keluarga berada dan berusia lebih tua. Cintanya berbalas tapi perbedaan strata sosial dan ekonomi membuat hubungan mereka mendapat penolakan dari ibu sang gadis. Dengan sedikit yang ia miliki, Dion tak cuma menghadapi stigma tapi juga perubahan zaman yang menuntut adaptasi, determinasi dan tantangan moral.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon K. Hariara, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bab 17: Marking Territory

Tidak banyak barang-barang di kamar itu. Dipan tanpa kaki yang diletak di lantai, meja dan kursi komputer, serta lemari pakaian. Praktis hanya rak buku tertempel di dinding yang sedikit meramaikan kamar Dion.

Rak buku itu dipenuhi buku-buku tebal. Di bawah rak itu terdapat dua kardus berukuran besar yang dilakban dan rak plastik bertingkat berisi cakram padat aplikasi dan peralatan komputer.

Tidak ada foto, hiasan, dekorasi, poster atau stiker. Kamar Dion tampak polos, mencerminkan sosoknya yang sederhana namun terorganisir.

“Kamarmu lumayan besar, lho,” Wina berkomentar tanpa menghiraukan kata-kata Dion.

“Iya noh. Ini kan dulunya garasi, disulap jadi kamar,” jelas Dion membuat Wina mengangguk.

Wina menyusuri rak buku di kamar Dion dengan penuh rasa ingin tahu. Deretan buku yang tertata rapi itu didominasi oleh literatur ilmu komputer dan novel-novel klasik. Nama-nama besar seperti Mark Twain, Charles Dickens, dan Daniel Defoe berjejer di sana, menciptakan perpaduan antara dunia logika dan imajinasi.

“Favoritku yang ini,” kata Dion tiba-tiba, menarik perhatian Wina. Ia menunjuk lima buku yang disusun sedikit terpisah dari yang lain.

“Karya-karya J. R. R. Tolkien. Seorang penulis Inggris kelahiran Afrika Selatan. Kabarnya, salah satu karyanya ini bakal kembali diangkat ke layar lebar dalam waktu dekat.”

Wina mendekat, memperhatikan buku-buku yang Dion maksud. Salah satu bundelan tampak lebih mencolok, tiga novel yang tersimpan rapi dalam kotak dengan sampul berlapis kain hitam, tampak seperti kitab kuno yang menyimpan rahasia besar.

“Terutama yang ini,” lanjut Dion, jemarinya dengan lembut menyentuh bundelan tersebut.

“Cetakan kedua, tahun 1965. Langka banget.” Ada nada bangga dalam suaranya, seperti seorang kolektor yang baru saja menunjukkan permata berharga dalam koleksinya.

Penasaran, Wina menarik salah satu buku dan membukanya. Lembarannya terasa tebal, dengan teks berbahasa Inggris yang tertata dalam font klasik.

“Ceritanya soal apa sih?” tanyanya sambil membolak-balik halaman.

Dion bersandar di tepi rak. “Sebenarnya kisah fantasi buat anak-anak.”

“Ha? Bukan untuk orang dewasa?” Wina mengangkat alis, terkejut.

Dion tertawa kecil, menyadari bahwa ia harus menjelaskan lebih lanjut. “Bisa dibaca semua umur, kok. Tapi kalau yang ini “The Hobbit”, judulnya mungkin terdengar ringan, tapi isinya cukup gelap buat anak-anak,” Dion tidak ingin Wina menganggapnya sebagai penggemar dongeng anak-anak.

Wina masih menelusuri koleksi Dion, matanya berbinar saat tiba-tiba muncul ide jahil.

“Dion nggak punya novel roman dewasa?” tanyanya dengan nada menggoda.

Dion menggeleng. “Mungkin ada dua atau tiga novel karya Motinggo Busye di dalam kotak itu. Aku sudah lama nggak ngecek sejak pindahan dari kos lama.”

Wina tersenyum miring. “Oh, aku pernah dengar. Novel yang banyak adegan hot, ya?”

Dion tersenyum nakal. “Iya. Mau aku cariin buat Wina?”

“Ogah! Dion baca sendiri aja, biar makin pintar,” sahut Wina, pura-pura tidak peduli. Ia lalu kembali mengedarkan pandangannya, seakan mencari sesuatu yang lebih menarik di kamar Dion.

Ada rasa penasaran yang membuatnya ingin mengenal Dion lebih dalam, bukan hanya dari ceritanya, tapi dari benda-benda yang ada di ruang pribadinya.

“Nona cari apa sih?” tanya Dion heran.

“Katanya kan cowok biasanya menyimpan sesuatu untuk… itu tuh…,” jawab Wina tak menghentikan pencariannya. Ia bahkan mengangkat kasur mencari sesuatu di bawahnya.

“Apaan sih?” tanya Dion yang belum paham maksud gadisnya itu.

“Itu tuh, misalnya majalah dewasa,” ujar Wina.

Dion kaget tapi kemudian garuk-baruk kepala. “Ha? Gak ada. Wina gak bakal nemu tuh.”

“Ayo tunjukin di mana! Wina ingin tahu Dion itu seleranya bagaimana,” tagih Wina penasaran bahkan kini sudah memeriksa isi lemari Dion.

“Hadoh, kita pe maitua ini, eh! Carilah dengan cermat mungkin akan ketemu,” keluh Dion seakan menyerah pada tekad gadisnya itu.

“Kasih clue dong!” pinta Wina yang kian bersemangat berusaha menemukan benda dimaksud. Ia kembali memeriksa sisi lain dari dipan.

“Memangnya menurutmu pria lihatin yang begituan di mana?” Dion mulai memberi petunjuk.

“Di kamar mandi?” tebak Wina.

“Rusak dong kalau kena air,” jawab Dion tertawa.

Di sini?” tebak Wina lagi sambil menunjuk tempat tidur yang sedang ia duduki. Kali ini Dion mengangguk.

Winamemperhatikan dipan itu baik-baik. Dia mengangkat kain sarung terlipat yang diletakkan di atas bantal dan menemukan sebuah buku di sana.

“Papillon. Ini novel dewasa kah?” tanya Wina membaca judul buku yang tertulis jelas di sampul putih dengan gambar kupu-kupu. Ia merasa gugup juga. Seumur-umur ia belum pernah melihat dan memegang novel cabul yang kadang diperbincangkan teman-temannya.

“Bukan. Itu novel tentang determinasi seorang narapidana melarikan diri dari sebuah pulau tempat ia ditahan bersama napi lainnya. Tadi malam aku baca itu sebelum tidur,” jelas Dion.

“Maksudku bukan buku semacam itu….” kata-kata Wina terhenti ketika sebuah foto terjatuh keluar dari antara halaman novel.

Foto Wina sendiri.

“Kalau mau tau seleraku, ya itu tuh! Cantik kan? Seksi lagi,” goda Dion dengan menaikkan alis berulang ulang.

Sebenarnya foto itu bukanlah foto seksi. Hanya foto close-up yang Wina serahkan November lalu. Foto close-up kala itu populer di kalangan remaja putri.

Wina menjadi terharu dan bangga. Ia memandangi Dion yang duduk di sampingnya lalu mengecup bibir pemuda itu. Keduanya berciuman cukup lama sampai Dion kembali melepaskannya.

“Sudah ah. Takutnya nggak bisa menahan diri,” ujar Dion dengan napas yang masih tersengal, sama seperti kejadian sebelum sarapan tadi. Ia mengusap tengkuknya, berusaha menenangkan diri.

“Aku mau ganti baju, Wina keluar dulu sebentar!”

Wina justru menyilangkan tangan di dada, menatap Dion dengan alis sedikit terangkat.

“Ganti baju saja. Kan cowok biasa topless,” tandasnya.

Dion menatap gadis itu, berharap Wina akan luluh dan menurut, tapi sebaliknya, ia malah membalas tatapannya dengan senyum menantang, seolah ingin menguji batas kesabaran Dion.

Tak ingin berdebat dengan gadisnya yang sedikit keras kepala, Dion menghela napas panjang sebelum menarik kauos putihnya ke atas, memperlihatkan dada bidang yang kokoh dengan jejak rambut halus di permukaannya. Tanpa menghiraukan Wina, ia membuka lemari pakaian dan mulai memilih kemeja berwarna gelap.

Situasinya berbalik. Wina, yang awalnya santai, kini merasakan debar jantungnya semakin tak karuan. Tatapannya sempat terpaku pada tubuh atletis Dion sebelum buru-buru mengalihkan pandangan. Ia berdeham kecil, lalu melangkah ke kursi komputer dan duduk di sana, berpura-pura sibuk.

Karena tidak ada apa pun di atas meja yang bisa mengalihkan pikirannya. Ia mulai membuka laci, mencari sesuatu untuk dimainkan.

Di dalamnya, sebuah buku catatan bersampul cokelat menarik perhatiannya. Wina menyipitkan mata, menebak-nebak isi buku itu.

“Ah, ini sepertinya diari,” pikirnya dalam hati.

Jemarinya hampir membalik halaman pertama, tapi suara derit pintu lemari yang ditutup membuatnya buru-buru mengembalikan buku itu ke tempat semula.

Saat hendak menutup laci, matanya menangkap sesuatu yang lain. Sebuah foto hitam putih terselip di dalam plastik pelindung. Penasaran, Wina mengambil foto itu dan mengamatinya.

Seorang pria tampak berdiri di belakang seorang wanita muda yang duduk di kursi kayu memangku seorang anak balita. Ada kehangatan yang begitu nyata terpancar dari gambar itu, meskipun hanya sebuah potret diam.

“Itu foto keluargaku,” suara Dion yang tiba-tiba membuat Wina tersentak. Ia menoleh dan melihat Dion sedang mengancingkan kemeja hitam polosnya.

“Maaf, aku nggak sengaja nemu di laci,” ucap Wina merasa tak enak, buru-buru hendak mengembalikan foto itu.

Dion hanya tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, kok.”

Mendengar itu, Wina mengurungkan niatnya dan kembali mengamati foto dengan lebih seksama.

"Ini kamu, kan? Ih, dulu kamu gemukan, ya!” godanya, mencubit pipi Dion ringan. “Dan ibumu cantik sekali, Dion!”

Dion tertawa kecil, menatap foto itu bersama Wina.

“Papamu juga tampan. Sepertinya pria yang baik. Dion, kamu mirip sekali dengan ibumu,” lanjut Wina, bergantian menatap foto dan wajah Dion.

“Coba deh Dion sedikit tersenyum!” pintanya antusias.

Dion menaikkan sebelah alis, tapi tetap mengikuti permintaan Wina, memaksakan senyum di wajahnya.

Wina mengedipkan mata, lalu tertawa. “Benar-benar mirip! Senyumnya sama, bentuk wajah juga. Eh, ibumu juga punya belahan dagu seperti kamu!”

Dion tersenyum lebih lebar. “Terbalik, Nona. Aku yang memiliki dagu seperti ibuku.”

Wina tertawa, menyadari kesalahannya. “Iya, iya. Eh, tapi matamu mirip tatapan ayahmu.”

Ia kembali meneliti foto itu dengan penuh minat. “Fotonya kan bisa dicetak ulang dan diperbesar?”

“Aku sudah scan, kok,” jawab Dion. “Versi digitalnya kusimpan di komputer. Aku mau cetak nanti kalau sudah nemu bingkai yang cocok.”

“Bagus itu. Kenangan seperti ini harus disimpan baik-baik,” Wina mengangguk puas.

Dion mengamati Wina sejenak, lalu tersenyum. Ada sesuatu yang menenangkan saat melihat gadis itu begitu peduli pada hal-hal kecil tentang dirinya. Sesuatu yang membuatnya semakin yakin bahwa Wina bukan hanya sekadar kekasih, melainkan bagian dari rumah yang selalu ingin ia bangun sebagai tempat untuk pulang.

Wina mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Dion, meneliti setiap sudut dinding dengan ekspresi penuh perhitungan, seperti seorang arsitek yang tengah merancang proyek besar. Ia melipat tangan di dada, lalu mengangguk-angguk sendiri.

“Hmm… kalau nanti fotonya sudah dicetak, harus dipajang di tempat yang strategis,” gumamnya serius.

Tanpa banyak bicara, ia mengambil spidol dari meja Dion, lalu dengan gesit menaiki kursi. Dion yang baru saja ingin meneguk air mineral hanya bisa memandangnya dengan alis bertaut.

“Wina, kamu mau ngapain?” tanyanya curiga.

“Marking territory,” jawab Wina sambil menggambar dua titik kecil di dinding dengan spidol hitam.

Dion nyaris tersedak. “Eh, eh, kenapa ada dua titik? Maksudnya apa?” tanyanya sambil melipat tangan, mulai merasa waswas.

Wina turun dari kursi, menatap hasil karyanya dengan penuh kebanggaan. “Yang satu buat foto keluarga Dion.”

“Oke… masuk akal,” Dion mengangguk-angguk, meskipun masih setengah ragu. “Terus yang satu lagi buat apa?”

“Yang satu buat foto Wina,” jawab Wina yakin, seperti keputusan itu sudah final dan tak bisa diganggu gugat.

Dion menatapnya dengan mulut setengah terbuka, berusaha mencerna maksud gadisnya. “Foto kamu?”

“Yap! Foto Wina yang besar,” Wina menegaskan, bahkan memperlihatkan lebar yang dimaksud dengan kedua tangannya.

“Jadi kalau ada cewek lain yang masuk ke sini, dia langsung tahu, penghuninya sudah ada yang punya!”

Dion menatapnya lama, antara kagum dan tak habis pikir. “Wina, ini kamar kos atau area teritorial harimau?”

Wina nyengir puas. “Ya sama saja, kan? Yang penting semua orang tahu batas wilayah mereka.”

Dion hanya bisa geleng-geleng kepala, tapi pada akhirnya, mereka berdua malah tertawa terbahak-bahak.

"Yuk, sebelum kesiangan! Pantainya lumayan jauh,” Dion mengingatkan.

“Berarti pulang sore?” tanya Wina.

“Iya. Wina sudah ada janji ya sore ini?” Dion balik bertanya.

“Bukan. Tapi itu kan berarti Dion langsung kerja toh? Dion bawa baju ganti sekalian, deh,” usul Wina.

Wina kemudian memilih pakaian ganti dan handuk dan memasukkannya ke tas Dion. Sementara itu Dion pergi ke dapur mengambil dua buah helm.

Keduanya lalu keluar dari kamar dan Dion pun menguncinya. Dia menyodorkan helm berwarna merah muda masih dilapisi plastik kepada Wina. Tapi mata gadis itu justru tertuju pada helm lain berwarna hitam yang dipegang oleh Dion.

“Wina mau yang itu!” serunya dengan menunjuk ke arah helm hitam.

“Yang ini saja! Didesain khusus untuk wanita. Lihat! Warnanya saja feminin,” jelas Dion.

“Tapi yang itu sepertinya lebih kuat. Kepala Dion kan keras, nah helm yang kuat untuk melindungi kepala Wina saja, ya!” balas Wina dengan logika yang entah dari mana asalnya.

“Tapi ini kuat juga kok. Masih baru, lho. Bukan bekas. Aku membelikannya buatmu,” bujuk Dion.

“Memangnya yang hitam itu bekas orang lain?” tanya Wina.

“Nggak sih, cuma bekasku saja,” sahut Dion.

Tanpa pikir panjang, Wina langsung meraih helm hitam dari tangan Dion dan memakainya dengan puas.

Dion melongo.

“Wina, masak aku harus pakai helm pink?” Dion protes namun Wina pura-pura tak mendengar. Malah mengagumi pantulan dirinya di kaca jendela.

Dion hanya bisa garuk-garuk kepala, merasa maskulinitasnya mendadak diuji. Ia akhirnya mengalah dan melepas plastik pelindung helm merah muda dan mengenakannya.

Dion sudah diatas sepeda motor yang sudah dia hidupkan sementara Wina masih mengagumi bayangannya di kaca jendela. Jarang sekali ia mengenakan helm seperti itu.

“Eh, torang lupa se masuk tu kukis. Minta kunci biar Wina yang masukin,” kata Wina melihat kue-kue yang tadi ia bawa masih terletak di meja teras.

Setelah menerima kunci dari Dion, Wina kemudian meletakkan kue-kue itu di meja komputer. Sesaat Wina teringat akan buku harian di laci.

Dengan terburu-buru Wina mengambil buku berwarna coklat itu dan memasukkannya ke tas jinjing dan mengunci kembali kamar Dion.

1
Anonymous
Bikin baper... /Drool//Drool//Drool/
Desi Natalia
Ingin baca lagi!
Type2Diabetes
Terharu...
Anonymous
/Drool//Drool//Smile//Smile/
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!