--- **“Luna adalah anak angkat dari sebuah keluarga dermawan yang cukup terkenal di London. Meskipun hidup bersama keluarga kaya, Luna tetap harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup dan biaya sekolahnya sendiri. Ia memiliki kakak perempuan angkat bernama Bella, seorang artis internasional yang sedang menjalin hubungan dengan seorang pebisnis ternama. Suatu hari, tanpa diduga, Luna justru dijadikan *istri sementara* bagi kekasih Bella. Akankah Luna menemukan kebahagiaannya di tengah situasi yang rumit itu?”**
--- Cerita ini Murni karya Author tanpa Plagiat🌻 cerita ini hanya rekayasa tidak mengandung unsur kisah nyata🌻
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon flower, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 17 Rasa Curiga
Bryan melangkah menuju dapur dan mengenakan celemek, lalu menggulung lengan kemejanya hingga sebatas siku, menampakkan urat serta otot lengannya yang tegas. Dengan gerakan tenang dan terampil, ia membuka lemari pendingin dan mengeluarkan beberapa bahan makanan yang telah disiapkannya.
Luna bangkit dari tempat duduknya dan ikut berjalan ke arah dapur. Ada rasa penasaran yang mendorongnya untuk melihat sang suami memasak. Ia kemudian duduk di salah satu kursi meja makan, menyandarkan punggung dengan santai, sementara matanya tak lepas memandangi Bryan yang tengah sibuk di depan kompor.
Sesekali terdengar bunyi peralatan dapur yang beradu, berpadu dengan aroma masakan yang mulai menguar. Bryan terlihat begitu fokus, seolah dunia di sekitarnya menghilang, sementara Luna diam-diam tersenyum, menikmati pemandangan sederhana namun hangat itu.
Luna menopang dagunya dengan telapak tangan, memperhatikan setiap gerakan Bryan yang terukur. Pria itu sesekali mencicipi masakannya, lalu mengangguk kecil seolah memastikan rasa yang diinginkannya telah tercapai. Dapur yang biasanya terasa sunyi kini dipenuhi suasana hangat, seakan ada kedamaian yang perlahan menyelimuti mereka.
Bryan menoleh sekilas ke arah Luna dan menangkap tatapan istrinya. “Kenapa menatapku seperti itu?” tanyanya ringan, meski sudut bibirnya terangkat tipis.
Luna tersadar, lalu tersenyum samar. “Aku hanya… jarang melihatmu memasak dengan serius seperti ini,” jawabnya jujur.
Bryan terkekeh pelan. “Kalau begitu, anggap saja ini momen langka,” ucapnya, kembali memusatkan perhatian pada masakan. Namun kali ini, gerakannya terasa lebih santai, seolah kehadiran Luna memberi ketenangan tersendiri.
Beberapa menit kemudian, Bryan mematikan kompor dan menata hidangan di atas piring dengan rapi. Ia membawa piring itu ke meja makan dan meletakkannya di hadapan Luna. “Cobalah,” katanya singkat, tapi penuh makna.
Luna menatap hidangan itu sejenak sebelum mengangkat sendoknya. Saat suapan pertama menyentuh lidahnya, ia terdiam, lalu tersenyum kecil. “Enak,” ucapnya pelan. Bryan menghela napas lega, duduk di hadapannya. Untuk sesaat, mereka saling diam, menikmati makanan dan kebersamaan yang sederhana, namun terasa lebih berharga dari kata-kata.
Luna mengangkat pandangannya dari piring, menatap Bryan yang hanya duduk memperhatikannya. “Kenapa kamu tidak makan juga?” tanyanya lembut, dengan nada sedikit heran. Bryan tersenyum tipis. “Aku menunggumu,” jawabnya singkat. Ia lalu meraih sendoknya sendiri dan ikut duduk lebih nyaman di kursi. “Lagipula, aku ingin memastikan kamu benar-benar menyukainya.”
Luna menggeleng kecil, ada kehangatan yang mengalir di dadanya. Ia mendorong piring itu sedikit ke tengah meja. “Makanlah. Akan lebih enak kalau kita menikmatinya bersama.” Bryan terdiam sejenak sebelum akhirnya menurut. Mereka pun mulai makan berdampingan, ditemani suasana hening yang tidak canggung, melainkan menenangkan—sebuah kebersamaan sederhana yang terasa semakin erat.
Luna mengangkat pandangannya dari piring, menatap Bryan yang hanya duduk memperhatikannya. “Kenapa kamu tidak makan juga?” tanyanya lembut, dengan nada sedikit heran. Bryan tersenyum tipis. “Aku menunggumu,” jawabnya singkat. Ia lalu meraih sendoknya sendiri dan ikut duduk lebih nyaman di kursi. “Lagipula, aku ingin memastikan kamu benar-benar menyukainya.”
Luna menggeleng kecil, ada kehangatan yang mengalir di dadanya. Ia mendorong piring itu sedikit ke tengah meja. “Makanlah. Akan lebih enak kalau kita menikmatinya bersama.” Bryan terdiam sejenak sebelum akhirnya menurut. Mereka pun mulai makan berdampingan, ditemani suasana hening yang tidak canggung, melainkan menenangkan sebuah kebersamaan sederhana yang terasa semakin erat.
Luna menatap Bryan sambil menyendok makanan perlahan. “Sejak kapan kamu pandai memasak?” tanyanya, suaranya terdengar tenang namun sarat rasa ingin tahu. Bryan berhenti sejenak, lalu tersenyum kecil seolah mengenang sesuatu. “Sudah cukup lama,” jawabnya akhirnya. “Dulu, ketika pekerjaanku mulai menyita banyak waktu, aku terbiasa melakukan banyak hal sendiri. Memasak salah satunya.”
Ia kembali melanjutkan makannya, lalu menambahkan dengan nada lebih pelan, “Lagipula, ada saat-saat di mana aku ingin memastikan aku tidak sepenuhnya bergantung pada orang lain.” Luna terdiam, menatap suaminya dengan pandangan yang berbeda dari sebelumnya. Ada sisi Bryan yang jarang ia lihat, lebih tenang, lebih mandiri. Ia tersenyum tipis, merasa semakin mengenal pria yang duduk di hadapannya.
Bryan menatap istrinya yang tengah menikmati makanan dengan lahap. Pipi Luna menggembung pelan, menyerupai ikan buntal, membuatnya tampak menggemaskan tanpa disadarinya. Seketika, senyum tipis terbit di wajah Bryan, matanya memancarkan kehangatan yang jarang ia perlihatkan. Ia tidak mengatakan apa pun, hanya terus memandangi Luna sejenak, seolah ingin mengabadikan momen sederhana itu dalam ingatannya. Bagi Bryan, pemandangan tersebut terasa lebih menenangkan daripada apa pun sebuah kebahagiaan kecil yang hadir diam-diam di antara mereka.
“Setelah ini, istirahatlah, oke? Aku akan mandi sebentar,” ucap Bryan lembut sambil mengusap punggung tangan istrinya yang masih menggenggam sendok. Sentuhan itu membuat Luna berhenti sejenak. Ia tidak mengangkat wajahnya, hanya mengangguk pelan sebagai jawaban. Bryan pun bangkit dari kursinya, melangkah meninggalkan meja makan, sementara Luna kembali melanjutkan makanannya, menyimpan kehangatan kecil dari perhatian suaminya di dalam diam.
Bryan melangkah menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Namun, baru beberapa langkah menjauh, terdengar bunyi notifikasi dari ponsel Luna yang tergeletak di atas ranjang. Suara singkat itu memecah keheningan kamar, cukup untuk membuat langkah Bryan terhenti sesaat. ia melangkahkan kakinya mendekati ranjang. Tangannya meraih ponsel jadul milik Luna, benda yang sangat aneh di mata Bryan. Ia membolak-baliknya sebentar, alisnya berkerut tipis.
“Ponsel macam apa ini?” gumamnya pelan. “Aku baru melihatnya…” Bryan akhirnya membuka ponsel itu. Matanya tertuju pada nama yang tertera di layar.
**Frengky**
*Luna, besok kita makan siang bersama, oke.*
Sejenak, Bryan terpaku. Otot rahangnya menegang, sorot matanya mengeras. Rasa cemburu yang sempat ia tekan dan redam perlahan kembali menyeruak, kali ini lebih nyata dan menusuk.
Tangannya menggenggam ponsel itu sedikit lebih kuat dari sebelumnya. “Siapa dia…” gumamnya dengan suara rendah, namun sarat emosi. Nada suaranya tenang di permukaan, tetapi amarah yang tertahan terlihat jelas dari cara napasnya yang mulai berat.
Bryan menatap layar itu lagi, seolah berharap tulisannya berubah. Namun nama itu tetap sama, dan kalimat singkat itu terasa cukup untuk mengusik ketenangan yang baru saja tercipta di antara mereka. Di dalam dadanya, perasaan tak nyaman mulai bergejolak, menumbuhkan kecurigaan yang sulit ia abaikan.
Bryan menggenggam ponsel itu semakin erat, hingga terdengar bunyi *retak* yang pelan namun jelas. Layar ponsel tersebut pecah, garis-garis halus menjalar di permukaannya, seolah mencerminkan emosi Bryan yang kini sulit dikendalikan.
Ia menutup mata sesaat, rahangnya mengeras, napasnya tertahan. Bukan kemarahan yang meledak, melainkan amarah yang ditekan terlalu dalam. cukup kuat untuk melukai benda di tangannya. Perlahan, ia membuka genggamannya dan menatap ponsel yang kini rusak itu dengan pandangan dingin.
Keheningan kamar terasa menyesakkan. Bryan berdiri terpaku, dadanya naik turun tidak teratur. Rasa cemburu yang kembali muncul kini bercampur dengan kekecewaan dan pertanyaan yang berputar tanpa jawaban. Dalam diam, ia tahu, ketenangan yang tadi ada di meja makan telah benar-benar sirna.
.
.
.
.
🌻🌻🌻🌻