Mulia adalah seorang wanita sukses dalam karir bekerja di sebuah perusahaan swasta milik sahabatnya, Satria. Mulia diam-diam menaruh hati pada Satria namun sayang ia tak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Tiba-tiba Mulia mengetahui bahwa ia sudah dijodohkan dengan Ikhsan, pria yang juga teman saat SMA-nya dulu. Kartika, ibu dari Ikhsan sudah membantu membiayai biaya pengobatan Dewi, ibu dari Mulia hingga Mulia merasa berutang budi dan setuju untuk menerima perjodohan ini.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Serena Muna, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Tak Juga Menyerah
Soraya menatapnya, bingung. "Ikatan apa?"
"Aku punya ide. Kita jodohkan Dinda dan Satria," usul Bu Hanim, matanya bersinar licik.
Soraya terkejut. "Dinda dan Satria? Tapi..."
"Dengar, jika mereka menikah, kekayaan dan kekuasaan kita akan menyatu. Satria akan menjadi Direktur Utama Menggara Group yang sesungguhnya, dan Dinda akan membantunya mengamankan semua aset. Dengan begitu, tidak akan ada celah bagi Mulia untuk masuk," jelas Bu Hanim penuh keyakinan.
"Pikirkan, Soraya. Ini adalah cara tercepat untuk menghancurkan Mulia. Jika Satria terikat dengan keluarga kami, dia tidak akan pernah bisa kembali pada wanita rendahan itu."
Wajah Soraya menampakkan pergulatan batin. Ia mencintai putranya, Satria, tetapi ia juga terobsesi untuk melindungi warisan keluarga dari ancaman yang ia yakini bernama Mulia. Kebenciannya pada Mulia dan rasa takut kehilangan perusahaan akhirnya mengalahkan naluri keibuannya.
"Baiklah, Hanim," ucap Soraya, mengangguk perlahan. "Aku setuju. Kita akan menikahkan Satria dan Dinda."
Bu Hanim tersenyum puas. Itu adalah senyum kemenangan yang kejam. Dengan aset Wibowo di tangan, dan Soraya sebagai sekutu, kekuatannya kini berlipat ganda.
****
Kabar perjodohan itu sampai ke telinga Satria dengan cepat. Ia masuk ke ruangan ibunya dengan amarah yang memuncak.
"Ma! Apa maksudnya perjodohan ini?!" teriak Satria. "Aku tidak mau dijodohkan dengan Dinda! Aku tidak mencintainya!"
Soraya menatap putranya dingin. "Kamu tidak punya pilihan, Satria. Ini demi kebaikan Menggara Group. Dan demi masa depanmu."
"Masa depanku? Mama menghancurkan masa depanku! Aku mencintai Mulia, Ma!" Satria berteriak, suaranya dipenuhi rasa sakit.
"Cinta? Cinta itu omong kosong, Satria!" balas Soraya. "Mulia itu sudah mati hatinya, dan kamu hampir menikah dengan wanita pembawa sial itu. Dinda adalah wanita yang tepat untukmu. Dia anak dari sekutu terkuat kita, Hanim. Kamu akan menikah dengannya, dan kamu akan mengamankan warisanmu!"
"Aku tidak butuh warisan jika aku tidak bahagia!"
"Kamu harus bahagia! Kamu harus menjadi Direktur Utama! Dan kamu harus melupakan Mulia!" teriak Soraya. "Jika kamu menolak, aku akan mencabut semua hakmu di Menggara Group! Kamu akan menjadi Satria Wira Sakti yang miskin dan tak berguna!"
Ancaman itu menghantam Satria telak. Ia tahu ibunya mampu melakukan itu. Ia melihat dirinya terjebak, di antara cinta yang tak mungkin dan kewajiban yang menyesakkan.
Sementara itu, di kediaman mewah Bu Hanim, ia menatap foto Mulia dengan senyum sinis. "Kamu pikir kamu bisa bersatu dengan Ikhsan? Kamu pikir kamu bisa bahagia? Kita lihat saja, Mulia. Aku akan menghancurkanmu. Perlahan tapi pasti. Pernikahan Satria dan Dinda akan menjadi awal dari akhirmu."
****
Rencana jahat Bu Hanim untuk menggunakan Kartika sebagai pion diadu domba rupanya tak berjalan mulus. Kartika adalah wanita yang cerdas dan berhati kuat. Ia telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri penderitaan Mulia dan keberanian Ikhsan. Kebencian Bu Hanim dan cerita-cerita manipulatifnya justru membuat Kartika semakin yakin pada keputusannya.
"Kamu dengar, Kartika? Wanita itu adalah pembawa sial! Dia sudah menyebabkan keributan di mana-mana, dan sekarang anakmu tertembak karenanya!" teriak Bu Hanim melalui sambungan telepon.
Kartika mendengarkan dengan tenang di ruang kerjanya. "Cukup, Hanim. Aku tahu apa yang aku lihat, dan aku tahu siapa Mulia. Dia adalah korban dalam permainan kotormu."
"Korban? Dia itu ular yang merayap masuk ke keluarga kamu! Dia ingin mengambil Menggara Group, dan sekarang dia mengincar Ikhsan!"
"Ikhsan adalah putraku. Aku tahu siapa yang terbaik untuknya," balas Kartika dingin. "Keputusanku sudah bulat. Pernikahan Ikhsan dan Mulia akan tetap dilaksanakan. Dan aku tidak akan membiarkanmu merusak kebahagiaan anakku lagi."
Sambungan telepon itu terputus. Kartika memegang gagang telepon, hatinya dipenuhi kemarahan. Ia tahu, Bu Hanim tidak akan tinggal diam. Tapi ia juga tahu, ia harus melindungi putranya dan Mulia.
****
Di sisi lain, Bu Hanim melempar ponselnya ke sofa. Wajahnya memerah padam, urat-urat lehernya menegang. "Kurang ajar! Kartika berani menentangku?!"
Dinda, yang melihat kemarahan ibunya, mendekat hati-hati. "Mama, lalu bagaimana? Kartika tidak mau membantu kita."
Bu Hanim tertawa, tawa yang kering dan mengerikan. "Kalau aku tidak bisa menghancurkan Mulia dari dalam keluarga itu, aku akan menghancurkannya dari luar. Aku akan menghancurkan momen paling penting dalam hidupnya."
****
Bu Hanim berdiri, ia berjalan menuju jendela, menatap ke kejauhan dengan mata penuh kebencian. Di luar, langit mendung, seolah ikut merasakan aura jahat yang menyelimuti wanita itu.
"Dinda, pernikahan itu adalah simbol kebahagiaan mereka. Mereka ingin mengukuhkan kekuasaan mereka. Tapi aku akan mengubah hari bahagia itu menjadi hari paling memalukan dan mengerikan dalam hidup Mulia," ucap Bu Hanim, seringai jahat terukir di bibirnya.
Ia kembali meraih ponselnya. Jari-jarinya mengetik nomor seseorang yang terkenal di dunia hitam.
"Aku butuh bantuanmu," ujar Bu Hanim, suaranya kini terdengar tenang, tenang yang menakutkan. "Aku ingin kamu melakukan sesuatu yang besar. Sesuatu yang akan menjadi berita utama di seluruh negeri. Aku ingin kamu mengacaukan sebuah acara pernikahan."
"Pernikahan siapa, Bu?" suara di seberang bertanya.
"Pernikahan Ikhsan, Direktur Rumah Sakit Medika Sejahtera, dan wanita sialan bernama Mulia Anggraeni," jawab Bu Hanim. "Aku tidak peduli bagaimana caramu, tapi aku ingin pernikahan itu hancur total. Aku ingin calon pengantin wanita menangis, dan semua tamu lari ketakutan."
Bu Hanim menjelaskan rencananya secara detail, sebuah rencana yang dirancang untuk menimbulkan kekacauan, fitnah, dan kerugian besar. Ia tidak lagi memikirkan konsekuensi hukum; dendam telah membutakan segalanya.
"Aku akan memberimu imbalan yang besar. Lebih besar dari yang pernah kamu bayangkan," janji Bu Hanim.
Sambungan terputus. Bu Hanim menyandarkan punggungnya ke sofa. Ia memejamkan mata, membayangkan Mulia dalam balutan gaun pengantin putih yang kini basah dan kotor, menangis di tengah kekacauan, kehilangan segala-galanya lagi. Rasa puas menjalari seluruh tubuhnya.
****
Di tempat lain, di sebuah ballroom mewah yang sudah dihias dengan indah, Mulia dan Ikhsan sedang melihat persiapan terakhir pernikahan mereka. Mulia mengenakan gaun putih sederhana yang elegan, wajahnya tampak cerah, meskipun sorot matanya masih menyimpan kesedihan yang mendalam.
"Kamu terlihat cantik, Lia," puji Ikhsan, meraih tangan Mulia.
"Terima kasih, Ikhsan," jawab Mulia. Ia tahu, ia tidak mencintai Ikhsan seperti ia mencintai Satria, tetapi ia menghormati Ikhsan, dan ia bersyukur atas perlindungannya.
"Setelah ini, kita akan memulai hidup baru," kata Ikhsan, matanya menunjukkan harapan. "Aku janji, aku akan melindungimu dari Bu Hanim. Kita akan kuat bersama."
"Aku tahu, Ikhsan," Mulia mengangguk. Ia memeluk Ikhsan erat. Ia tahu, Bu Hanim tidak akan menyerah. Ia tahu, bahaya mengintai.
"Aku hanya takut, Ikhsan," bisik Mulia. "Aku takut dia akan melakukan sesuatu yang buruk."
"Aku sudah mengerahkan keamanan terbaik, Mulia. Mama juga sudah meminta bantuan beberapa koleganya," Ikhsan meyakinkan. "Kita akan baik-baik saja."
Mulia memandang dekorasi yang indah, rangkaian bunga putih, dan lilin-lilin yang menyala. Ia berharap, di balik semua keindahan ini, dendam Bu Hanim tidak akan menemukan jalannya. Ia berharap, hari ini, ia bisa memulai babak baru, babak di mana ia bisa bangkit dan melawan musuhnya dengan kekuatan yang sah. Ia tidak tahu, di saat yang sama, Bu Hanim sedang merencanakan kehancuran paling brutal yang pernah ia saksikan.