NovelToon NovelToon
Kepincut Musuh Bebuyutan

Kepincut Musuh Bebuyutan

Status: sedang berlangsung
Genre:Diam-Diam Cinta / Kisah cinta masa kecil / Cinta Seiring Waktu / Cintapertama
Popularitas:5.4k
Nilai: 5
Nama Author: juyuya

"Awas ya kamu! Kalau aku udah gede nanti, aku bikin kamu melongo sampai iler kamu netes!" teriak Mita.

" Hee… najisss! Ihh! Huekk" Max pura-pura muntah sambil pegang perut.

Maxwel dan Mita adalah musuh bebuyutan dari kecil sayangnya mereka tetangga depan rumah, hal itu membuat mereka sering ribut hampir tiap hari sampai Koh Tion dan Mak Leha capek melerai pertengkaran anak mereka.

Saat ini Maxwel tengah menyelesaikan studi S2 di Singapura. Sementara Mita kini telah menjadi guru di sma 01 Jati Miring, setelah hampir 15 tahun tidak pernah bertemu. Tiba-tiba mereka di pertemukan kembali.

Perlahan hal kecil dalam hidup mereka kembali bertaut, apakah mereka akan kembali menjadi musuh bebuyutan yang selalu ribut seperti masa kecil? Atau justru hidup mereka akan berisi kisah romansa dan komedi yang membawa Max dan Mita ke arah yang lebih manis?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon juyuya, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Tai mata

Matahari mulai condong ke barat, sinarnya yang keemasan menari di permukaan laut, menciptakan bayangan lembut di wajah Mita yang sedang berjalan di tepi pantai. Langkah kakinya pelan, menyusuri pasir putih yang terasa hangat di bawah telapak kaki. Angin laut menerpa lembut jilbabnya, membuat beberapa helai rambut halus di pelipis ikut menari. Senyum tipis tak pernah lepas dari bibirnya, seolah sore itu terlalu indah untuk dilewatkan dengan hati muram.

Beberapa menit berjalan, Mita berhenti dan menatap lurus ke arah matahari yang perlahan turun ke batas laut. Langit jingga berpadu dengan semburat ungu, menciptakan pemandangan yang nyaris sempurna. Ia menghela napas pelan. Indah sekali.

“Mit!”

“Eh... kambing!” spontan Mita menoleh, terkejut mendengar suara yang tiba-tiba muncul dari belakang.

Max melangkah santai ke arahnya, ekspresinya datar tapi jelas tak terima. “Sembarangan banget mulut kamu,” gerutunya.

“Kaget aku, tau! Kamu munculnya tuh tiba-tiba banget, kayak hantu!” balas Mita sambil menepuk dadanya sendiri, masih deg-degan.

Max hanya mendengus pelan, lalu mengalihkan pandangan ke laut. “Dulu waktu kecil aku suka banget liat sunset sama Mamah.” Suaranya tenang, tapi ada nada sendu yang samar terdengar. Kedua tangannya masuk ke saku celana, seolah menahan sesuatu di dada.

Mita menatapnya sekilas. “Tapi katanya kamu gak suka pantai?”

Max menoleh cepat, alisnya terangkat. “Sok tau.”

“Ck, ih itu kan aku cuma denger gosip pas SD” bela Mita sambil melipat tangan di dada.

Max tersenyum kecil, sekilas. “Enggak.”

“Gak apa?” tanya Mita penasaran, mencondongkan tubuh sedikit.

“Gak usah kepo.”

Plak! Mita langsung menepuk lengan Max. “Nyebelin!”

Max menatapnya dengan ekspresi datar, tapi bibirnya melengkung menahan tawa. “Mit, aku mauu...” katanya ragu-ragu.

“Apa!!?” Mita sudah siap siaga, menatapnya curiga.

Dalam hati Max bergumam, Minta maaf gak ya? Nanti kalau minta maaf bisa-bisa hidungnya kembang kempis lagi tuh.

“Di tanya malah bengong!” protes Mita sambil menaikkan alis.

“Mit,” ucap Max lagi, kali ini lebih pelan.

Tatapannya menaut pada wajah Mita, lama. Entah kenapa waktu seperti melambat—suara ombak, semilir angin, dan cahaya senja seolah menyingkir, menyisakan hanya dirinya dan Mita yang berdiri saling berhadapan. Wajah Mita tampak begitu lembut di bawah sinar keemasan, matanya bening, bibirnya manis... dan untuk sesaat, Max nyaris lupa bernapas.

“Mata kamu... ada tai-nya.”

“Ha?! Di mana?!” Refleks Mita langsung memegang pangkal matanya, panik.

Max sudah tertawa tanpa suara, bahunya naik-turun menahan geli. “Mana sih? Gak ada kok!” Mita memicingkan mata, menatap pantulan wajahnya di layar ponsel.

“Kamu bohongin aku yaaaa!” serunya sambil melotot.

“Bercandaaa~” Max sudah melangkah menjauh, tangannya dimasukkan lagi ke saku, tapi senyum geli masih menempel di wajahnya.

“Max! Manusia semprul!!” teriak Mita dari belakang.

.

.

.

.

“Mitaa!”

“Eh… ayam!”

“Zuraaa! Ngagetin aja.”

“Hehehe, maaf. Soalnya kamu melamun sih… lagi mikirin apa, Mit?”

Zura menarik kursi kosong dan duduk di samping Mita. Ia memang guru baru di SMA 01 Jati Miring — baru lima hari mengajar di sana. Kebetulan mereka sudah saling kenal sejak kuliah di Batam dulu, jadi cepat akrab.

“Gak mikirin apa-apa kok” jawab Mita pelan.

“Gak mikirin apa-apa apanya? Pipi kamu aja sampai merah gitu” goda Zura sambil menyipitkan mata.

Mita spontan menangkup pipinya. “Ih, apaan sih! Enggak kok!”

“Cieee… Ibu Mita udah kecantol seseorang nih, yaa?”

“Ya Allah, Raa… enggak! Demi Allah!”

“Enggak apa ENGGAK?”

“Ya ampun, udah deh! Aku mau lanjut ngajar” potong Mita buru-buru. Ia segera berdiri, mengambil beberapa buku paket di atas meja, lalu keluar dari ruang guru.

Di sepanjang koridor, Mita berusaha tetap tersenyum ramah pada siswa-siswa yang lewat. Tapi dalam hati, pikirannya riuh sendiri.

“Mit, udah deh. Jangan mikirin Max terus. Gila aja mikirin musuh bebuyutan!” gumamnya di sepanjng jalan

“Bu Mita!”

Mita menoleh. Seorang pria berdiri di ujung koridor. Tubuhnya tegap, rahangnya tegas, kulit sawo matang, dan senyumannya manis. Dengan batik dongker dan celana hitam, aura lelaki itu makin terpancar dialah herman.

“Mau ke kelas ya?” tanyanya sopan.

“Iya, Pak herman” jawab Mita.

“Oh iya, saya boleh minta nomor Ibu? Kebetulan orang tua saya suka banget sama peyek buatan Mak Leha. Rencananya mau pesan banyak buat acara syukuran minggu depan.”

“Boleh, Pak,” ujar Mita sambil tersenyum. Ia menerima ponsel yang disodorkan, lalu mengetikkan nomornya. “Ini, Pak.”

“Makasih ya, Bu Mita.”

“Sama-sama, Pak. Kalau gitu saya ke kelas dulu ya. Mari.”

“Iya, Bu mita.. Silakan.”

.

.

.

“Mejanya geser sedikit ke kanan, Pak,” ucap Max sambil mengamati para pekerja yang tengah menata ruangan baru — ruko yang akan dijadikan konter milik orang tuanya.

“Ko, kalau etalase ini ditaruh di mana?” tanya salah satu pekerja.

“Oh, itu di depan aja, deket rolling door,” jawab Max.

“Oke, Ko!”

Sambil memastikan semuanya berjalan lancar, Max menata beberapa piring gorengan dan gelas berisi es teh manis di atas meja segi empat di depan ruko.

“Abang-abang semuaaa, makan dulu yuk!” serunya ramah.

“Oh, makasih, Ko!”

“Wah, ada gorengan nih! Koko Max tahu aja nih, lagi laper heheh,” celetuk salah satu pekerja bertubuh atletis yang entah kenapa sudah tanpa baju.

“Yuk, dimakan aja, Bang. Jangan malu-malu,” sahut Max sambil tersenyum.

“Ko, ini konter kayaknya bakal jadi yang paling gede di kampung ini yaa,” kata Bang Barun, lelaki berbadan agak berisi yang duduk santai dengan satu kakinya naik ke kursi.

“Hahaha, bisa aja, Bang Barun.”

“Pasti nanti banyak rekrut karyawan ya, Ko?”

“Bisa jadi” jawab Max santai.

“Kalau gitu aku maulah jadi karyawannya Koko Max, hahaha!”

Max tertawa kecil, menggeleng pelan. Suasana sore itu terasa hangat — antara aroma gorengan, tawa para pekerja, dan semangat yang perlahan tumbuh di wajahnya.

Setelah perut mereka terisi, para pekerja kembali sibuk melanjutkan pekerjaan. Hingga matahari mulai condong ke barat, penataan, pengecatan, hingga pemasangan rak—semuanya sudah hampir sempurna.

Max duduk santai di kursi panjang di depan ruko yang akan menjadi konternya. Sebenarnya, konter itu adalah warisan dari Koh Tion, yang mempercayakan semuanya pada Max. Meski awalnya ia agak berat menerima tanggung jawab itu—mengingat bisnisnya di Singapura sudah cukup maju namun pada akhirnya Max tak punya pilihan. Koh Tion menolak ikut campur, dan memaksa Max mengurus segalanya sendiri.

Sambil menatap layar laptop, Max sibuk mengetik daftar barang yang akan diisi ke dalam konter barunya. Sesekali ia menarik napas panjang, berusaha fokus di tengah udara sore yang mulai sejuk.

Namun, kepalanya tiba-tiba menoleh ke samping tanpa sengaja. Di seberang jalan, ia melihat Mita berjalan santai dengan tas di bahu—sepertinya baru pulang mengajar.

Di waktu yang bersamaan, Mak Leha tengah bercengkerama dengan Koh Tion di depan rumah. Mak leha sedang mengantarkan peyek pesanannya.

Alis Max tiba-tiba terangkat—ide jahil melintas begitu saja di kepalanya. Ia berdiri, menarik napas panjang, lalu berteriak lantang dari depan konter

“HAH!? APA, MIT!? KAMU MAU KERJA DI KONTER?!”

Suara kerasnya membuat Mita terlonjak kaget. Langkahnya tersendat, hampir saja tersandung batu kecil di pinggir jalan.

“Gila!” serunya sambil menatap tajam ke arah Max.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!