NovelToon NovelToon
Mess Up! Lover!

Mess Up! Lover!

Status: sedang berlangsung
Genre:Romantis / Obsesi / Teen School/College / Anime / Angst / Trauma masa lalu
Popularitas:1.4k
Nilai: 5
Nama Author: Cemployn

Mess Up!

Seperti judulnya, kisah cinta Ben tidak pernah berjalan mulus—hanya penuh kekacauan.
Hidupnya tenang sebelum ia bertemu Lya, seorang perempuan dengan trauma dan masa lalu yang berat. Pertemuan itu membuka jalan pada segalanya: penyembuhan yang rapuh, obsesi yang tak terkendali, ledakan amarah, hingga kehancuran.

Di balik kekacauan yang nyaris meluluhlantakkan mental Ben, justru tumbuh ikatan cinta yang semakin dalam, semakin kuat—dan tak terpisahkan.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Cemployn, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Bagian 16 Pecinta Lya

((Akhir pekan nanti, pulanglah sebentar… Ibumu merindukanmu—

Lya menutup telepon tanpa repot-repot mengucapkan satu patah kata pun—atau mendengarkan suara di seberang lebih lama lagi. Di kamar mandi, ia bersandar pada pintu, giginya bergemeletuk menahan kesal.

“Seolah mereka tahu rasanya saja…” gumamnya, lirih tapi penuh getir

“Lya?” Suara panggilan itu seperti memicu sisa emosi yang tadi berusaha ia redam. “Kau baik-baik saja di dalam?” tanya Ben dari luar, diiringi ketukan pelan di daun pintu.

Ekspresi Lya perlahan melunak. Ia menarik napas panjang, menahannya sebentar, lalu menghembuskannya perlahan—memastikan tidak ada sisa amarah di wajahnya sebelum membuka pintu. Begitu pintu terbuka, Ben tampak berdiri di depan dengan raut wajah cemas.

“Hahaha… aku cuma pergi sebentar, dan kau sudah pasang wajah seperti itu?” Lya terkekeh pelan, bibirnya melengkung membentuk senyum miring. “Kau sebegitu mencintaiku, ya?” tambahnya, setengah menggoda, setengah menyamarkan sesuatu yang lain di balik suaranya.

Ben tidak mau kalah. Ia mencondongkan tubuh, lalu menempelkan kecupan kilat di pipi Lya—cepat, nyaris tak sempat ditangkap pandang. Lya terpaku, bahkan matanya gagal berkedip.

“Iya,” ucap Ben sambil tersenyum tipis, “kau bertanya hal yang sudah jelas, bukan?”

Seperti biasa, Lya tidak memberikan respons apa pun.

Jika ini Ben yang dulu, mungkin ia sudah panik, tergesa menanyakan apakah hal barusan membuat Lya tidak nyaman. Tapi kini, yang terdengar justru tawa kecil—Ben menahan rasa gemas yang ingin meledak, menikmati kesempatan untuk sedikit bermain dengan Lya.

Pacarnya itu terlalu menggemaskan; bahkan ketika mematung karena malu, Lya tetap berhasil membuat hatinya berdebar.

Namun momen manis itu tak bisa berlama-lama—hari ini mereka harus ke rumah sakit. Gips di kaki Lya sudah waktunya dilepas.

Sudah sebulan sejak ia mengalami cedera; kini ia bisa berjalan tanpa alat bantu. Tepat seperti yang dikatakan dokter, satu bulan adalah waktu yang cukup bagi tulangnya untuk pulih.

“Ayo, Lya... setelah gipsnya lepas, kita nonton, ya?”

Ben mengulurkan satu tangannya, menunggu tangan Lya menyambutnya.

Lya tersenyum—senyum kecil yang menenangkan sekaligus tulus—sebelum akhirnya mengangguk.

“Ya, tentu saja,” jawabnya, sembari meraih tangan Ben yang masih terulur.

Matahari sudah meninggi ketika mereka meninggalkan kamar kos Ben. Langit tampak jernih, memantulkan cahaya ke kaca mobil yang meluncur perlahan di jalanan kota. Di kursi penumpang, Lya bersandar diam, menatap lalu lintas yang padat namun tertib, sementara Ben fokus menyetir dengan ekspresi ringan. Perjalanan ke rumah sakit terasa tenang—hanya suara mesin dan sesekali lagu lembut dari radio yang mengisi keheningan di antara mereka.

Setibanya di rumah sakit, udara dingin dari pendingin ruangan menyambut begitu mereka melangkah masuk. Lya duduk menunggu gilirannya dengan pandangan tenang, jemarinya memainkan ujung jaket yang ia kenakan. Saat gips di kakinya akhirnya dilepas, rasa lega menyelimuti tubuhnya. Permukaan kulit yang lama tertutup kini terasa ringan, sedikit asing, namun bebas. Ben menemaninya dengan tatapan penuh perhatian dari sudut ruangan, seolah kelegaan Lya menjadi miliknya juga.

Menjelang siang, mereka keluar dari rumah sakit. Sinar matahari yang hangat menyentuh kulit, membuat langkah Lya tampak lebih mantap dari sebelumnya. Ia berjalan tanpa bantuan apa pun, dan Ben berjalan di sisinya tanpa berkata sepatah kata pun, hanya menjaga jarak cukup dekat untuk memastikan ia aman.

“Setelah ini, pastikan jangan lakukan hal ceroboh lagi, hmm, Lya?” ujar Ben sejak awal, nadanya setengah menasihati, setengah khawatir.

Lya menoleh sekilas, senyum tipis terbit di sudut bibirnya. “Dan Ben bisa berhenti ceroboh di depanku,” balasnya tenang.

Ucapan itu membuat Ben terdiam. Ia tak bisa menyangkal—luka di kaki Lya memang akibat dirinya. Kini, setiap kali melihat bekas luka itu, rasa bersalah kecil selalu tersisa di dada Ben, meski Lya tak pernah mengungkitnya lagi.

Keduanya hanya tertawa kecil merespon candaan singkat mereka sebelum akhirnya keduanya pergi makan siang singkat di sebuah kafe kecil, mereka melanjutkan perjalanan ke pusat perbelanjaan.

Suasana mall siang itu ramai, penuh orang yang berlalu-lalang dengan wajah sumringah. Aroma manis popcorn bercampur dengan wangi parfum dari toko-toko di sepanjang koridor. Lya melangkah di antara keramaian dengan tatapan ringan, sementara Ben berjalan di sisinya, menyesuaikan langkah tanpa banyak bicara.

Ketika mereka berhenti di depan bioskop, Ben sempat menatap Lya, dan sekelebat ingatan muncul—tentang kencan pertama mereka, titik awal dari segalanya. Hari itu, ia juga tidak berhasil mengangkat semangat kekasihnya. Ia justru ceroboh dan tanpa sadar membawa Lya kembali ke masa lalu yang ingin dikubur. Meski begitu, berkat momen itu, Lya perlahan mulai berani membuka diri. Sejak saat itulah Ben diam-diam bertekad: ia tak ingin lagi melihat air mata Lya. Ia ingin menjadikan setiap tempat yang dulu meninggalkan luka, menjadi kenangan manis yang hanya mereka berdua yang tahu.

”Apa yang mau kamu tonton, Ben?” tanya Lya.

”Horor bagaimana?” Ben menanyai pendapat.

Lya terdiam sejenak sebelum akhirnya mengangguk setuju, ”Boleh saja...” jawabnya. ”Mau nonton film yang mana?” tanya Lya lagi.

Ben berdiri di depan deretan poster film yang terpajang di sisi pintu masuk bioskop. Matanya menelusuri satu per satu judul yang tertera, memperhatikan dengan saksama gambar-gambar mencolok di balik kaca bening. Setelah beberapa detik, jarinya berhenti menunjuk pada salah satu poster—film horor barat dengan latar gelap dan warna merah menyala mendominasi. Poster itu menampilkan wajah ketakutan, cipratan darah, dan potongan tubuh tanpa sensor, cukup untuk membuat sebagian orang menoleh dua kali sebelum memutuskan masuk.

”Bagaimana dengan itu?” Ben bertanya, ingin memastikan kembali bahwa Lya setuju atau tidak. Pasalnya ia tidak tahu banyak selera kekasihnya terkait film.

Lya terdiam sejenak, menatap poster film itu dengan pandangan datar. Sekilas, bayangan warna merah dan hitam di permukaannya memantul di matanya. Namun di detik berikutnya, ia justru mengangguk pelan, bibirnya melengkung membentuk senyum tipis—senyum yang sulit ditebak apakah itu ketulusan atau sekadar kebiasaan.

“Kalau begitu, kita nonton itu, ya?” kata Lya akhirnya, suaranya tenang, seolah tak ada rasa keberatan sama sekali.

Dengan persetujuan keduanya, tiket film horor itu pun terbeli. Jadwal tayangnya sudah dekat, jadi mereka memutuskan untuk menunggu di area dalam bioskop. Udara di sana terasa lebih dingin dibanding koridor mall—perpaduan aroma popcorn manis dan karamel menggantung di udara, bercampur dengan cahaya temaram dari layar iklan digital yang silih berganti menampilkan cuplikan film.

Tak lama kemudian, suara panggilan dari pengeras terdengar lembut, menandai bahwa studio mereka sudah dibuka. Ben dan Lya berdiri hampir bersamaan, menyerahkan tiket mereka kepada staf wanita yang menyambut dengan senyum sopan. Lya berjalan lebih dulu melewati pintu studio, sementara Ben menyusul di belakangnya, membiarkan tirai hitam yang tebal menutup perlahan di belakang mereka—seolah memisahkan dunia luar dari apa pun yang akan mereka hadapi di dalam sana.

Setelah mereka duduk di kursi yang telah mereka pilih dan menunggu beberapa saat, lampu teater perlahan meredup, menyisakan cahaya lembut dari layar besar di depan mereka. Deru pendingin ruangan bercampur dengan suara langkah penonton yang mencari tempat duduk. Ben duduk di sebelah Lya, tubuhnya sedikit condong ke depan, sementara Lya bersandar tenang di kursinya, matanya menatap lurus ke layar. Begitu film dimulai, ruangan dipenuhi sorotan cahaya bergantian—merah, hitam, lalu putih menyilaukan. Adegan-adegan berdarah berganti cepat, menimbulkan beberapa helaan napas dan bisikan tegang dari penonton lain.

Lya menatap tanpa banyak reaksi, wajahnya datar seolah pemandangan itu hanyalah gambar tak berjiwa yang lewat begitu saja. Sesekali Ben melirik ke arahnya, mencoba menebak apa yang sedang ia rasakan, tapi Lya tetap seperti biasa—tenang, tak tertebak.

Ketika layar akhirnya gelap dan lampu ruangan kembali menyala, mereka berdua bangkit bersamaan, langkahnya ringan namun senyap keluar dari bioskop.

”Ben... Aku mau ke toilet dulu, ya?” izin Lya kemudian.

“Baiklah, aku akan menunggu di sana…” ucap Ben. Ia menunggu di dekat dinding, menjaga jarak dari keramaian, matanya sesekali melirik ke arah pintu toilet perempuan. Ia tidak ingin Lya terlalu jauh dari jangkauannya, tapi jelas mustahil baginya untuk ikut masuk ke dalam. Jadi yang bisa ia lakukan hanyalah berdiri di sana, bersandar diam, menunggu.

Tanpa ia sadari, dari kejauhan ada seorang perempuan yang memperhatikannya. Tatapannya tajam, seolah menelusuri setiap gerak Ben. Ketika Ben menoleh sekilas, pandangan mereka bertemu sepersekian detik—cukup untuk membuat dada Ben terasa aneh, seperti ada sesuatu yang tidak beres. Perempuan itu kemudian melangkah masuk ke toilet perempuan, namun sebelum menghilang di balik pintu, ia sempat melemparkan satu tatapan terakhir—dingin, menusuk, dan tanpa ekspresi.

Ben terdiam. Keningnya berkerut, mencoba mencari alasan logis dari apa yang baru saja terjadi, namun yang tersisa hanya rasa bingung yang menempel di pikirannya.

...***...

Di dalam toilet, Lya tanpa sengaja menarik perhatian banyak orang. Bukan karena penampilannya, melainkan karena suara muntahannya yang bergema keras di antara dinding keramik. Suara itu memantul, memenuhi ruangan yang semula hanya diisi desiran air dari keran dan langkah sepatu para pengunjung.

Beberapa perempuan yang mendengar sempat saling berpandangan, ragu antara ingin membantu atau membiarkan. Salah satu di antaranya akhirnya mengetuk pintu bilik tempat Lya berada, suaranya lembut tapi terdengar canggung, menanyakan apakah semuanya baik-baik saja.

Jawaban Lya singkat, nyaris hanya berupa gumaman. “Ya.”

Setelah itu, keheningan kembali jatuh—hanya tersisa suara napas berat Lya dan deru kipas ventilasi yang berputar pelan di atas langit-langit.

“Hahh... sialan... kupikir akan baik-baik saja…” gumam Lya di antara napas yang terputus-putus. Ia membungkuk di depan toilet, menggosok bibirnya yang masih terasa asam meski sudah disiram air. Wajahnya pucat, butir-butir keringat dingin menetes dari pelipis ke dagu. Jemarinya bergetar, naik mencengkeram lehernya seolah ingin menahan sesuatu yang mencekik dari dalam.

Matanya terpejam rapat. Bayangan adegan-adegan sadis dari film yang baru saja mereka tonton berkelebat tak henti—darah, teriakan, tubuh-tubuh hancur. Ia menggeleng pelan, berusaha mengusir semuanya, tapi semakin menolak, semakin jelas gambaran itu muncul di benaknya.

Di tengah kepanikan yang makin menyesakkan, potongan-potongan adegan film mulai bercampur dengan wajah Anna—wajah di hari kematiannya. Semuanya berputar di kepalanya seperti mimpi buruk yang menolak padam. Napas Lya tersengal, tubuhnya gemetar, dan udara di dalam bilik terasa semakin sempit.

Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari luar pintu bilik. Suara itu memecah kekacauan di kepalanya, membuat Lya tersentak. Pandangannya bergetar, matanya mencari arah suara tanpa benar-benar fokus. Ia menelan ludah, memaksa dirinya bicara, lidahnya kelu dan suaranya serak.

“Aku... baik-baik saja...” katanya, refleks, menggunakan kalimat template yang nyaris otomatis keluar di setiap situasi seperti ini.

“Lya, ini aku... Lulu. Buka pintunya.

Suara itu membuat pupil Lya seketika melebar. Jantungnya terhenti sepersekian detik sebelum kembali berdetak kencang. Ia mendongak cepat, seolah nama itu baru saja menyeretnya kembali ke dunia nyata.

Tangannya sempat ragu di atas kunci pintu—bergetar, menimbang antara percaya atau takut. Namun akhirnya ia memutuskannya. Bunyi klik terdengar pelan ketika ia membuka pintu bilik itu.

Di ambang pintu berdiri seorang perempuan berambut cokelat bergelombang yang jatuh lembut hingga punggung. Iris matanya hijau, tampak sayu namun tajam menatap. Bibirnya tebal, merona lembut dengan kilau gloss yang membuatnya tampak berpendar di bawah cahaya putih toilet.

“Aku kebetulan melihatmu... dan film macam apa yang kau tonton,” ucap Lulu dengan nada menahan marah. Garis rahangnya menegang, matanya menatap tajam seolah menilai kebodohan yang baru saja dilakukan Lya. “Film itu penuh orang mati, Lya. Kau gila, atau apa?”

Belum sempat Lya membuka suara, Lulu sudah kembali melanjutkan, suaranya meninggi, menusuk. “Dan siapa pula yang membawamu ke sana? Pria di depan itu? Dia yang membuat kita tak bisa lagi turun jalan berdua? Orang yang dulu kau bilang ingin kau prioritaskan?”

Nada suaranya menggema di antara dinding keramik toilet, mengundang beberapa pandangan heran dari perempuan lain yang kebetulan mendengar. Tapi Lulu tidak peduli. Ia terus menyerang, kalimatnya meluncur tanpa jeda, sementara Lya hanya berdiri mematung, mengatur nafas agar setidaknya dapat meredakan rasa mual yang belum sepenuhnya reda.

”Cowok tidak berguna... Dia bahkan tidak tahu apa yang terjadi padamu, tapi seenaknya membawamu menonton hal seperti itu.”

”Lulu!” Lulu tersentak mendengar bentakan Lya. Alis matanya tampak tertekuk, menunjukan rasa tidak suka setelah mendengar kalimat Lulu yang dilontarkan seenaknya. ”Menonton film itu adalah pilihanku. Kau tidak boleh menjelekannya,” kecam Lya serius membuat perempuan bersurai coklat itu akhirnya bungkam.

Dari wajah Lulu, jelas masih banyak hal yang ingin ia lontarkan. Namun kali ini, ia menahan diri. Ia tahu, satu kalimat lagi bisa saja memancing amarah Lya yang sedang rapuh. Tanpa banyak bicara, Lulu berjongkok di samping Lya, mengeluarkan sebuah botol kecil dari tasnya—aroma lembut menenangkan segera mengisi udara. Ia menyodorkannya agar Lya bisa menghirup perlahan, lalu tangannya terulur, mengusap punggung Lya dengan gerakan pelan dan teratur.

Sentuhan itu terasa akrab, seperti sesuatu yang sudah sering ia lakukan. Ada ketulusan di sana, sekaligus keletihan yang samar—seolah Lulu sudah terlalu terbiasa merawat Lya.

“Terima kasih, Lulu... aku sudah tenang sekarang,” ucap Lya lirih sambil berusaha bangkit, tubuhnya masih sedikit oleng. “Aku tidak bisa berlama-lama, Ben pasti khawatir di luar.”

Baru satu langkah ia ambil, suara Lulu menahan langkahnya.

“Lya!” serunya, sedikit gemetar, tapi penuh keyakinan. “Aku bisa lebih baik dari pria itu... Tidak bisakah kau memberiku kesempatan?” Lulu menatapnya lekat, nada suaranya bergetar antara harapan dan luka. “Lagipula aku tahu banyak hal tentangmu—lebih dari siapa pun, bahkan dia.”

Lya tidak menjawab. Ia hanya menatap Lulu sekilas, melemparkan senyum samar sebelum melangkah pergi—meninggalkan Lulu tergantung tanpa jawaban. Suara langkahnya perlahan menghilang bersama riuh mall di luar, hingga akhirnya hanya kesunyian yang tersisa. Saat pintu toilet tertutup, Lulu menyadari satu hal: ia benar-benar sendirian di sana. Pengunjung toilet lain entah sejak kapan juga ikut menghilang, sedikit demi sedikit.

.

.

.

To Be Continue

1
Iyikadin
Wahh dengan siapa tuchhhh, jadi kepo dech ahh
@dadan_kusuma89
Wah, repot ini, Ben! Sepertinya ada sesuatu yang harus kamu teliti lebih dalam tentang Lya.
@dadan_kusuma89
Sepertinya kamu bakal masuk rekor muri, Ben! Dari penolakan menuju penerimaan cuma butuh waktu beberapa detik😁
fσя zуяєиє~✿
saran driku, paragrafnya jgn kepanjangan, klo bisa minimal 4-5 baris aja, atau klo diperlukan bisa smpe 6 baris aja/Grin/
saya hanya bantu koreksi yg simple2 aja/Pray/
Cemployn: siappp sudah sayaa perbaikii Kakk terimakasihhhh uyy sarannyaaa 🫶
total 1 replies
Goresan_Pena421
Kaka boleh perbanyak dialog. kecuali dalam bab awal ini khusus perkenalan tokoh GPP. jadi di buatin biografi singkat semua tokohnya atau cerita tentang tokoh-tokoh nya itu GPP kalau mau full monolog mereka kka.
Goresan_Pena421: iya kak. ☺️ saya juga masih belajar 💪. tetap semangat ya Kaka.
total 2 replies
Muffin🌸
Iyaa nikahi saja kan dengan begitu dia bisa jadi milikmu selamanya hehe🙏🏻
Anyelir
alasan berubah pikiran apa ya?
tapi lucu juga, spontan nyatain cinta karena lihat pujaan hati jalan sendirian, padahal udh mendem cukup lama
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
"𝑺𝒆𝒌𝒖𝒏𝒕𝒖𝒎 𝒎𝒂𝒘𝒂𝒓 🌹 𝒖𝒏𝒕𝒖𝒌𝒎𝒖, 𝑻𝒉𝒐𝒓. 𝑺𝒆𝒎𝒐𝒈𝒂 𝒔𝒆𝒎𝒂𝒏𝒈𝒂𝒕𝒎𝒖 𝒅𝒂𝒍𝒂𝒎 𝒃𝒆𝒓𝒌𝒂𝒓𝒚𝒂 𝒕𝒆𝒕𝒂𝒑 𝒔𝒆𝒈𝒂𝒓 𝒅𝒂𝒏 𝒊𝒏𝒅𝒂𝒉 𝒔𝒆𝒑𝒆𝒓𝒕𝒊 𝒃𝒖𝒏𝒈𝒂𝒏𝒚𝒂, 𝒅𝒂𝒏 𝒎𝒆𝒎𝒃𝒂𝒘𝒂𝒎𝒖 𝒎𝒆𝒏𝒖𝒋𝒖 𝒌𝒆𝒔𝒖𝒌𝒔𝒆𝒔𝒂𝒏 𝒔𝒆𝒓𝒕𝒂 𝒎𝒆𝒏𝒈𝒉𝒂𝒓𝒖𝒎𝒌𝒂𝒏 𝒏𝒂𝒎𝒂𝒎𝒖.
✿⚈‿‿⚈✿
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Wkwkwk emg kurg ajr shbqtmu itu mnt di geplak emang Wkwkwk
☠🦋⃟‌⃟𝔸𝕥𝕙𝕖𝕟𝕒 ⍣⃝𝖕𝖎ᵖᵘ
Langsung kasih pengumuman ke semua orang ya klo km pacaran 😂😂😂
Shin Himawari
Lya ga salah sih nolaknya, cuman blak blakan bgt astagaaa kasian hati Ben terpoteq🤣
Shin Himawari
setaun nyimpen cinta sendirian yaaa🤭semangaat semoga lancar pdkt-in nya
kim elly
🤣🤣bahagia nya kerasa banhet
kim elly
mana ada yang ngga tertarik pacaran🤣
👑Chaotic Devil Queen👑
Yuk! Gw pegangin sebelah kanan, Eric sebelah kiri. Kita lempar dia ke RSJ 🗿
👑Chaotic Devil Queen👑
Yang penting hasil 🗿

Tapi... Dahlah bodoamat🗿
ηιтσ
really pov 1 took. mah nyimak
TokoFebri
aku tau kau trauma lya..
CumaHalu
aku kalau jadi eric juga akan bertanya-tanya sih Ben. bisa-bisanya orang berubah pikiran dalam hitungan detik😄
@dadan_kusuma89
Ya jelas kaget lah, Ben! Nggak ada angin nggak ada hujan, tiba-tiba aja kamu nembak dia😁
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!