Niat hati hanya ingin mengerjai Julian, namun Alexa malah terjebak dalam permainannya sendiri. Kesal karena skripsinya tak kunjung di ACC, Alexa nekat menaruh obat pencahar ke dalam minuman pria itu. Siapa sangka obat pencahar itu malah memberikan reaksi berbeda tak seperti yang Alexa harapkan. Karena ulahnya sendiri, Alexa harus terjebak dalam satu malam panas bersama Julian. Lalu bagaimanakah reaksi Alexa selanjutnya ketika sebuah lamaran datang kepadanya sebagai bentuk tanggung jawab dari Julian.
“Menikahlah denganku kalau kamu merasa dirugikan. Aku akan bertanggung jawab atas perbuatanku.”
“Saya lebih baik rugi daripada harus menikah dengan Bapak.”
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Fhatt Trah, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
17. Calon Menantu
Calon Menantu
“Naik!” titah Julian, membawa Alexa keluar rumah. Ia rasa ada begitu banyak hal yang harus mereka bicarakan untuk menyelesaikan masalah yang timbul akibat kesalahan satu malam itu.
“Lepas!” Sentak Alexa, menarik kuat tangannya dari cengkeraman Julian. Ia tidak terima Julian menyeretnya paksa menuju mobil pria itu yang terparkir manis di depan pagar rumahnya.
Julian sudah membuka pintu mobil di sebelah kemudi, namun Alexa menolak naik. Gadis itu terlihat emosi.
“Naik, Alexa. Kita harus bicara.”
“Pak Julian punya hak apa nyuruh-nyuruh saya? Apa Bapak tidak takut nanti dituduh menculik anak gadis orang?”
“Aku punya alasan kenapa aku melakukan ini. Kalau mereka tahu gadis yang aku culik sedang mengandung anakku, kira-kira apa yang akan mereka katakan nanti?”
Alexa terkesiap. Bibirnya terkatup rapat, kehilangan kata-kata. Setahunya, ia belum memberitahu Julian bahwa sekarang ia sedang hamil anaknya. Lalu dari mana Julian mengetahuinya?
Apakah Robin sudah memberitahu Julian tentang kehamilannya?
“Naik, atau aku akan menemui orangtuamu dan melamarmu langsung di depan mereka,” titah Julian, seperti biasa dengan menyertakan sedikit ancaman agar Alexa menurut.
Alexa yang tidak ingin orangtuanya tahu tentang keadaannya pun akhirnya tidak bisa berbuat apa-apa selain menuruti perintah Julian. Naik ke mobil itu dengan tenang. Duduk di samping Julian yang sedang fokus pada kemudi.
Mobil melaju dengan tenang membelah jalanan ibukota yang cukup dipadati kendaraan. Namun tidak dengan Alexa. Mulutnya terkunci, tapi perasaannya tak tenang. Isi kepalanya sedang gaduh memikirkan cara menghindari Julian. Bukankah urusan diantara mereka sudah selesai?
Jika kedatangan Julian karena kehamilannya, maka sesegera mungkin ia harus menggugurkan kandungannya agar ia dan Julian tidak akan pernah berurusan lagi.
“Bapak mau bawa saya ke mana?” tanyanya setelah beberapa saat membisu, membentangkan hening diantara mereka.
“Ke suatu tempat.”
“Katanya ada yang mau dibicarakan. Sekarang saja di sini, kenapa harus pergi ke tempat lain?”
“Kamu berpikir aku akan membawamu ke mana? Ke hutan?”
“Apartemen. Bapak pasti mau berbuat yang tidak-tidak sama saya. Dengar ya, Pak. Kali ini saya tidak akan tinggal diam. Saya tidak akan segan-segan melenyapkan Bapak kalau sampai Bapak berani macam-macam sama saya.”
“Terserah. Silahkan saja kalau kamu bisa.”
Alexa kesal, menoleh cepat pada Julian yang memandang lurus ke depan. Pria itu malah terlihat tenang.
“Urusan diantara kita sudah selesai. Kenapa Bapak mengganggu hidup saya lagi? Apa tidak cukup ucapan terima kasih saya karena Bapak sudah membimbing saya menyelesaikan skripsi. Sekarang apa lagi yang Bapak mau dari saya?”
“Kamu sedang mengandung anakku, dan kita perlu membicarakan tentang itu.”
“Bapak ini sedang mengkhayal ya. Siapa bilang saya sedang hamil anak Bapak sekarang. Ada-ada saja.”
“Aku tidak menggunakan pengaman saat kita melakukannya, Alexa. Jadi sangat besar kemungkinan kamu bisa hamil.” Julian tetap fokus pada jalanan. Tidak ia pedulikan meski Alexa sedang kesal saat ini.
“Kita?” Alexa sontak melotot tajam. Merasa tak terima dengan kalimat Julian yang terkesan seolah mereka melakukan hal itu atas dasar suka sama suka.
“Bapak saja kali. Saya malah tidak menikmatinya,” ketus Alexa. Membuat Julian menepikan mobilnya sebentar.
Ucapan Alexa barusan itu sedikit menggelitik Julian. Sehingga memaksanya untuk berhenti sejenak, lalu menoleh memandangi Alexa yang berwajah cemberut.
“Jadi kamu mau yang lebih nikmat?” tanya Julian. Membuat Alexa tersentak, menoleh cepat kepadanya.
“Ba-Bapak bilang apa tadi?” tanya Alexa panik. Matanya sampai melotot tajam, menaruh curiga tingkat tinggi pada mantan dosennya itu.
“Kamu mau kita ke mana sekarang. Ke apartemenku atau ke hotel?” Julian tersenyum tipis. Sangat tipis namun mampu memukau mata Alexa.
Sepanjang bertemu Julian, belum pernah sekali pun Alexa melihat Julian tersenyum. Sampai Alexa mengatai pria itu dingin, angkuh dan juga sombong. Namun siapa sangka, paras tampan yang selalu terlihat serius dan kaku itu menjadi begitu mempesona hanya dengan segaris senyuman.
“U-untuk apa ke hotel?” tanya Alexa.
“Memberimu kenikmatan. Karena malam itu aku melakukannya dengan kasar, kamu jadi tidak bisa menikmatinya. Kalau begitu mari kita ke hotel.”
Alexa menelan ludahnya kelat. Tidak menyangka ucapannya malah salah dimengerti oleh Julian. Malam itu Julian memang kasar dan memaksa, sehingga hanya Julian yang menikmati. Sedangkan dirinya justru tersiksa bahkan harus menahan sakit yang luar biasa.
Sekarang Julian malah berpikir yang bukan-bukan. Bisa-bisanya pria itu tidak merasa bersalah sama sekali. Omel Alexa di dalam hatinya.
“Ma-maksud saya bukan begitu. Bapak salah paham. Sa-saya ...” Mendadak Alexa menjadi gugup. Ia bingung harus berkata apa untuk membantah pikiran negatif Julian.
“Karena kamu tidak menjawab, kalau begitu kita ke hotel sekarang.” Tanpa bertanya lebih lanjut, Julian melajukan mobilnya kembali membelah jalanan ibukota. Entah tujuannya ke hotel seperti katanya, atau mungkin ke tempat lain.
Setahu Alexa jalanan yang dilewati Julian bukan jalan menuju ke hotel. Alexa pun menjadi panik sendiri, tak tahu ke mana Julian hendak membawanya pergi.
“Berhenti. Tolong berhenti, dan turunkan saya di sini,” pinta Alexa dengan wajah panik.
“Kamu tidak lihat, di sepanjang jalan ini dilarang berhenti.”
“Bapak jangan macam-macam sama saya. Saya bisa karate. Bapak bisa mampus di tangan saya kalau Bapak berani macam-macam sama saya.”
Ancaman Alexa itu malah membuat Julian tertawa.
“Coba saja kalau bisa,” ujarnya seraya melirik sekilas pada Alexa. Ancaman gadis sedikit pun tidak membuatnya takut. Justru ancaman itu membuatnya merasa geli sendiri, gemas dengan tingkah gadis ingusan itu. Belum pernah ia bertemu gadis seperti Alexa ini. Sifat dan tingkahnya sangat berbeda jauh dengan Sofia.
“Berhenti atau saya loncat sekarang?” ancam Alexa lagi.
“Kamu sedang hamil, Alexa. Kalau kamu loncat kamu bisa membahayakan nyawamu dan anakku.”
“Saya tidak hamil. Siapa bilang saya hamil. Bapak jangan sembarang ngomong. Sekali lagi saya minta berhenti atau saya loncat. Saya serius, Pak. Saya tidak main-main.”
“Baik, baik. Kalau begitu kita berhenti sekarang.”
Julian memang menghentikan mobilnya. Namun Alexa tidak menyangka mobil Julian justru memasuki pelataran parkir rumah sakit. Membuat Alexa semakin panik dibuatnya. Alexa menduga Julian pasti akan mengajaknya untuk memeriksakan kandungan guna mengetahui kebenaran kehamilannya.
“Turun,” titah Julian, membuka pintu mobil untuk Alexa.
“Kita mau ngapain ke rumah sakit?” tanya Alexa, menolak turun dari mobil.
“Jangan banyak tanya. Turun sekarang.”
“Tidak mau.”
“Turun, Alexa.”
“Tidak mau. Kalau saya bilang tidak mau, ya tidak mau. Bapak jangan maksa-maksa saya. Kalau tidak saya bisa teriak.”
Julian menghela napas panjang, lalu menghembuskannya pelan demi meluruhkan kesal karena sikap keras kepala Alexa. Tak mau berkata banyak lagi, ia lantas membungkuk, lalu mengulurkan dua tangannya menggendong Alexa.
Alexa meronta. Kecurigaannya semakin menajam bahwa Julian mungkin akan membawanya menemui dokter kandungan.
“Turunkan saya!” pekik Alexa meronta.
Julian tidak memedulikan pekikan Alexa. Ia tetap menggendong Alexa memasuki rumah sakit. Alexa terus saja meronta sampai menjadi pusat perhatian orang-orang yang berada di rumah sakit itu. Sampai kemudian Julian menurunkan Alexa di depan sebuah ruang perawatan VIP.
“Mau apa kita ke sini?” tanya Alexa yang masih panik dan bertanya-tanya akan sikap semena-mena Julian ini.
Namun Julian tidak menjawab pertanyaan Alexa. Julian malah meraih pergelangan Alexa, membawa Alexa masuk ke dalam ruangan itu.
Tadinya Alexa ingin mengomeli Julian. Tetapi mulutnya terkunci seketika saat pandangannya menemukan sosok seorang pria paruh baya yang terbaring di ranjang rumah sakit dan seorang wanita paruh baya yang masih terlihat cantik diusianya yang sudah tidak muda lagi tersenyum ke arah mereka.
“Julian?” sapa Emilia senang melihat kedatangan putranya.
Tanpa melepaskan genggamannya dari pergelangan Alexa, Julian menghampiri ibunya. Memeluk sang ibu dengan sebelah tangannya. Kemudian menoleh pada Kevin yang sedang terlelap.
“Gimana keadaan, Ayah?” tanyanya.
“Sakitnya kambuh lagi. Dari kemarin dia bertanya tentang kamu terus. Oh ya, kamu bawa siapa?” Emilia mengalihkan perhatiannya pada Alexa. Ia tersenyum menatap gadis manis itu.
“Ini Alexa, calon menantu Ibu.”
To Be Continued ...
nanti setelah nikah
kamu jerat dia dengan perhatian tulusmu
Maka cinta Akan melekat dalam hati alexa
jangan lupa
sering Bawa ke panti asuhan
melihat bagaimana kehidupan kecil tanpa ibu /ayah
akhirnya menerima pernikahan
kamu gak tau alexa, klo pak Julian anak tunggal perusahaan yg kau incar ditempat lamaranmu kerja
selamat buat nona kecil/Rose//Rose//Rose/
kaget gak tuh Al