Sara Elowen, pemilik butik eksklusif di Paris, hidup dalam ketenangan semu setelah meninggalkan suaminya-pria yang hanya ia nikahi karena perjanjian.
Nicko Armano Velmier bukan pria biasa. Ia adalah pewaris dingin dari keluarga penguasa industri, pria yang tak pernah benar-benar hadir... sampai malam itu.
Di apartemen yang seharusnya aman, suara langkah itu kembali.
Dan Sara tahu-masa lalu yang ia kubur perlahan datang mengetuk pintu.
Sebuah pernikahan kontrak, rahasia yang lebih dalam dari sekadar kesepakatan, dan cinta yang mungkin... tak pernah mati.
"Apa ini hanya soal kontrak... atau ada hal lain yang belum kau katakan?"
Dark romance. Obsesif. Rahasia. Dan dua jiwa yang terikat oleh takdir yang tak pernah mereka pilih.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Just_Loa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
The Room
Bunyi halus kristal bersentuhan mengiringi langkah Nathaniel yang mendekat. Di tangannya, dua gelas tinggi berisi lemonade tampak berembun, segar, sederhana, tapi terkesan sengaja.
“Aku pikir ini lebih cocok daripada yang lain,” ucap Nathaniel sambil menyodorkan satu gelas ke arah Sara.
“Terima kasih,” balas Sara pelan, menerima dengan anggukan kecil.
Ia tahu pesta ini menyediakan alkohol dalam batas tertentu. Tapi Nathaniel tidak memilih itu, dan entah kenapa, Sara merasa, itu bukan tanpa alasan.
“Kau menikmati pestanya?” tanya Nathaniel, duduk di sampingnya, suaranya tenang tapi menyimpan nada yang tak bisa ditebak.
Sara menyesap pelan. Dingin dan sedikit terlalu manis.
"Cukup menyenangkan. Aku bahkan belum kabur dari pesta ini. Dan malam ini ternyata lebih baik dari yang kupikirkan.”
Sara menyesap lemonadenya pelan, tak menoleh, tapi sudut bibirnya tertarik samar.
Nathaniel menoleh padanya, tak yakin harus tersenyum atau justru merasa ditantang.
Sara menoleh ringan ke arah lantai dansa.
“Clara dan Vivienne, rasanya bisa menari sampai pagi.”
Nathaniel menyunggingkan senyum kecil.
“Senang mereka menikmati malam ini. Tapi sebenarnya, ada alasan lain kenapa aku memilih tempat ini.”
Tatapannya kembali jatuh ke wajah Sara. Tidak melepaskan.
Sara menahan napas sejenak sebelum bicara, “Tolong, jangan mulai lagi Nate.”
Nathaniel hanya tertawa pelan. Bukan tawa hangat. Lebih seperti suara seseorang yang tahu sesuatu yang tidak diketahui orang lain.
“Kau memang tak pernah memberi ruang,” katanya, memutar gelas di tangannya. “Tapi itu yang justru membuatku terus datang.”
Sara menoleh.
“Aku tidak pernah berniat memberi ruang, bagi harapan yang sejak awal tak pernah kujanjikan.”
“Lalu bagaimana kalau aku bersikeras?” tanyanya, setengah bercanda, tapi matanya, tidak ikut tersenyum.
Sara membalas tatapannya datar, tak gentar.
“Memaksa bukan bentuk kepedulian. Yang benar-benar peduli pasti tahu kapan harus mundur Nate.”
Ada jeda seperti keheningan yang aneh. Musik jazz masih mengalun dari pojok ruangan.
Nathaniel mengangkat alis, lalu tertawa pelan. “Kau masih sama. Tak pernah berubah.”
Suasana di antara mereka menegang sejenak. Di sekitar, denting gelas dan tawa samar para tamu terus mengalun, seolah pesta tetap berjalan seperti biasa.
Tapi Sara merasakan sesuatu mulai berubah, bukan di sekitar, melainkan dalam dirinya.
Ada rasa panas perlahan menjalar dari tengkuk hingga ke punggung. Tangannya mulai dingin, tapi dadanya terasa sesak. Ia mencoba menyesap lemonade sekali lagi, tapi kali ini cairan itu terasa lebih tajam di tenggorokannya.
Kepalanya ringan. Napasnya pendek.
Ia tak mengatakan apa pun. Tak menoleh, tak menunjukkan perubahan di wajahnya.
"Maaf,” ucapnya pelan, menghindari tatapan Nathaniel.
“Aku akan kembali sebentar lagi.”imbuhnya dengan nada datar namun cukup jelas sebelum ia berbalik dan melangkah pergi, meninggalkan Nathaniel yang masih duduk dengan gelas di tangannya.
Ia tak menoleh ke belakang.
Dan Nathaniel hanya menatap punggungnya yang menjauh, tanpa beranjak.
Sara mendorong pintu toilet dengan sedikit gemetar. Kamar kecil bergaya klasik, modern itu dihiasi marmer krem dan cermin besar berbingkai emas. Aroma mawar dan sandalwood dari diffuser menyambutnya, tapi tidak cukup menenangkan tubuhnya yang terasa semakin ringan dan panas.
Ia meraih wastafel, menggenggam pinggirannya erat. Pandangannya mulai sedikit kabur, seperti kabut tipis menyelimuti kaca di musim dingin.
Ia menatap bayangan dirinya di cermin. Wajahnya masih terlihat tenang, namun kulitnya mulai memerah. Jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya.
"Kenapa ini " gumamnya nyaris tanpa suara.
Refleks, ia merogoh gaun bagian samping, mencari ponsel yang biasa diselipkannya.
Tidak ada.
Ia menunduk, menyadari bahwa clutch kecilnya tidak bersamanya, ia menyerahkannya pada Clara sebelum masuk karena enggan repot.
Sial.
Tangannya gemetar saat menyeka kening. Dalam hati, ia ingin menghubungi seseorang, Clara , Vivienne… siapa saja. Tapi sekarang ia sendirian.
Sendirian, dan tubuhnya mulai melawan kendali.
Ia mengatupkan rahangnya.
Tidak. Ini bukan hanya efek capek atau stres.
"Aku harus keluar dari sini...". Suara batinnya terdengar pelan tapi tegas.
Sara melangkah menuju pintu, namun tubuhnya limbung, membuat bahunya membentur kusen dengan bunyi pelan. Ia mencoba menarik napas panjang, tapi dada terasa sesak.
Langkahnya terseok keluar dari kamar mandi menuju lorong hotel. Cahaya hangat menyambut, tapi tak mampu mengusir gemetar yang mulai menjalar dari tulang belakangnya.
Langkah Sara terasa berat. Lorong hotel yang sebelumnya terasa biasa, kini terlihat seperti terowongan panjang yang tak berujung. Napasnya mulai tersengal, dan pandangannya mengabur sesekali.
Suara langkah kaki lain terdengar dari ujung lorong, dan Sara mendongak pelan.
Nathaniel.
Ia berdiri di sana, tak jauh dari pintu toilet wanita, ekspresinya tampak khawatir. Satu tangan dimasukkan ke saku celananya, sementara tangan lainnya memegang gelas kosong.
“Sara?”
Suaranya rendah, lembut, tapi terasa menggaung di kepala Sara.
“Kau baik-baik saja?”
Sara mengangguk pelan, meski tubuhnya tak sejalan dengan jawabannya. Ia menggenggam tembok untuk tetap berdiri tegak.
“Kepalaku sedikit pusing”
Nathaniel segera melangkah mendekat, cepat tapi tetap tenang.
“Kau pucat.” Ia memandang leher dan wajah Sara yang mulai berkeringat. “Sepertinya kamu kena angin malam atau... kelelahan?”
Sara tak menjawab. Ia hanya menggeleng pelan, mencoba memberi isyarat bahwa ia bisa mengatasi ini sendiri. Tapi tubuhnya bicara lain. Lututnya sempat goyah, membuatnya hampir jatuh jika Nathaniel tidak segera menangkap lengannya.
“Whoa, hey... pelan-pelan.” Nathaniel menopangnya, lalu menatap ke sekeliling.
Lorong itu sepi, hanya ada suara samar musik dari ballroom yang jauh di belakang.
“Dengar, kau butuh istirahat sebentar. Kamar tamuku tidak jauh dari sini. Ada sofa, air dingin, dan lampu yang lebih tenang. Hanya sebentar.”
Sara membuka mulut, hendak menolak, tapi Nathaniel sudah mengarahkan tubuhnya perlahan. “Ayolah. Kalau kau pingsan di sini, malah bahaya.”
Bahkan dalam kondisi tubuhnya yang melemah, Sara masih sempat berpikir bahwa seharusnya ia menolak. Tapi langkahnya terlalu berat untuk berdebat, dan Nathaniel terlalu yakin, terlalu lembut, seolah ini memang keputusan paling masuk akal.
...----------------...
Nathaniel membuka pintu salah satu kamar, mempersilakan Sara masuk terlebih dahulu.
Ruangan itu remang-remang dan rapi. Aroma kayu dan parfum maskulin menyambut begitu pintu ditutup di belakang mereka.
“Duduk dulu. Aku ambilkan air,” ucap Nathaniel.
Sara mengangguk, perlahan duduk di sofa empuk dekat jendela. Tapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang menolak tenang.
Ruangan kamar hotel itu terasa lebih sunyi daripada yang seharusnya. Lampu kuning temaram hanya menyala di sudut meja, melemparkan bayangan samar ke dinding.
Nathaniel kembali dengan sebotol air mineral. Ia membuka tutupnya dan menyodorkan botol itu ke Sara.
“Minum dulu. Wajahmu pucat.”
Sara menerimanya, menyesap perlahan. Tenggorokannya masih terasa hangat, tubuhnya pun belum sepenuhnya pulih. Tapi kesadarannya mulai terkumpul, dan ia tak bisa mengabaikan ketidaknyamanan yang perlahan merayap.
Nathaniel duduk di sisi lain sofa, cukup dekat, namun tetap memberi jarak seolah menghormati batas.
Beberapa menit berlalu dalam keheningan. Hanya suara samar dari lalu lintas malam terdengar dari jendela yang sedikit terbuka, sisanya sunyi, seolah dunia mengecil jadi ruang itu saja.
Nathaniel menoleh sedikit, suaranya tenang.
"Apa kau sudah merasa enakan?"
Sara meletakkan botol air perlahan, lalu menarik napas kecil.
"Sedikit lebih baik."
Ia menatap ke depan, bukan menghindar, tapi juga belum siap menatap langsung ke matanya.
“Sejak kedatanganmu tadi…” ucapnya rendah, pandangannya tak bergeser sedikit pun dari wajah Sara.
“Aku bahkan tak benar-benar melihat siapa pun lagi. Rasanya, seperti seluruh ruangan ini menyempit hanya di sekelilingmu.”
Sara menoleh pelan, sorot matanya tajam namun tak sepenuhnya dingin.
“Nathaniel... ini bukan waktunya.”
Nathaniel menatapnya dalam-dalam, suaranya merendah, namun sarat intensitas.
“Kalau bukan malam ini... kapan aku punya ruang bicara denganmu?”
Ia menarik napas, seolah menahan sesuatu yang telah lama tertahan.
“Kau selalu menjaga jarak. Aku tahu itu. Tapi malam ini, aku cuma ingin kau mendengarku. Tanpa harus menjawab apa pun.”
Sara menahan diri sesaat sebelum menjawab. Suaranya tenang, tapi jelas, seperti ingin menyampaikan bahwa ia sudah lelah berputar di tempat yang sama.
“Nathaniel,” katanya pelan namun tegas, “aku datang malam ini sebagai tamu, bukan untuk mengulang perasaan yang sejak awal sudah kujelaskan. Tidak bisa kujalani.”
Nathaniel tertawa pelan,kering, tanpa humor.
“Aku tahu. Tapi kamu juga tidak pernah benar-benar hilang dari mataku, Sara.”
Ia menatapnya, seolah berusaha menembus lapisan pertahanan yang dibangun gadis itu.
“Kau tetap ada. Diam-diam. Dan itu cukup... untuk membuatku percaya, bahwa mungkin masih ada kemungkinan.”
Sara menarik napas dalam. Lelah, tapi tetap berdiri dengan kepala tegak.
“Kemungkinan itu hanya ada dalam pikiranmu, Nathaniel.”
Tatapannya tajam, tak lagi gentar.
“Kalau kau benar-benar peduli, kau seharusnya tahu,menyeretku ke dalam perasaanmu seperti ini bukanlah bentuk kepedulian.”
Nathaniel terdiam. Pandangannya tetap pada Sara, tak marah, tapi ada sesuatu yang jauh lebih gelap di balik sorotnya.
Bukan sekadar luka. Bukan sekadar cinta. Tapi obsesi yang tak tahu cara mengalah.
“Kau tidak mengerti,” bisiknya. “Aku... tidak tahu cara berhenti, Sara.”
Sara berdiri. Langkahnya masih sedikit limbung, tapi suaranya tenang.
“Maka belajarlah.”
Ia menatap Nathaniel dalam-dalam.
"Karena aku bukan sesuatu yang bisa kau miliki... hanya karena kau menginginkannya.”
Ia menatap Nathaniel terakhir kali, dingin, tapi menyimpan luka yang tak ingin diperlihatkan.
Nathaniel tak menyahut, hanya menatap ke arah lantai dengan rahang mengeras.
es batu ...
lama" juga mencair...
lanjut thor ceritanya
di tunggu updatenya
thor