NovelToon NovelToon
The Antagonist Wife : Maxime Bride

The Antagonist Wife : Maxime Bride

Status: sedang berlangsung
Genre:Cintapertama / Reinkarnasi / Time Travel / Kehidupan Manis Setelah Patah Hati / Obsesi / Transmigrasi ke Dalam Novel
Popularitas:7.5k
Nilai: 5
Nama Author: Adinda Kharisma

Mati dalam kecelakaan. Hidup kembali sebagai istri Kaisar… yang dibenci. Vanessa Caelum, seorang dokter spesialis di dunia modern, terbangun dalam tubuh wanita yang paling dibenci dalam novel yang dulu pernah ia baca—Vivienne Seraphielle d’Aurenhart, istri sah Kaisar Maxime. Masalahnya? Dalam cerita aslinya, Vivienne adalah wanita ambisius yang berakhir dieksekusi karena meracuni pelayan cantik bernama Selene—yang kemudian menggantikan posisinya di sisi Kaisar. Tapi Vanessa bukan Vivienne. Dan dia tidak berniat mati dengan cara tragis yang sama. Sayangnya… tidak ada yang percaya bahwa sang “Permaisuri Jahat” telah berubah. Bahkan Kaisar Maxime sendiri—pria yang telah menikahinya selama lima tahun namun belum pernah benar-benar melihatnya. Yang lebih mengejutkan? Selene tidak sebaik yang dikira. Di dunia yang dipenuhi permainan kekuasaan, cinta palsu, dan senyum penuh racun, Vanessa harus memilih: Bertahan sebagai tokoh antagonis… atau menghancurkan alur cerita dan menulis ulang takdirnya sendiri.

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Adinda Kharisma, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

Pengakuan

Sementara itu, di dalam kamar, Vanessa baru saja selesai membersihkan diri. Rambutnya masih sedikit basah, dan aroma sabun serta minyak herbal memenuhi udara. Sera, yang menunggu dengan sabar, kini tengah mengoleskan minyak wangi ke helaian rambut sang permaisuri—minyak lavender yang memberikan ketenangan.

“Yang Mulia…” ucap Sera pelan, nyaris berbisik. “Saya benar-benar terkejut ketika mendengar Anda diserang. Tapi… saya sangat bersyukur Anda selamat. Tanpa luka sedikit pun.”

Vanessa menatap pantulan pelayannya lewat cermin. “Aku tidak apa-apa, Sera,” ujarnya tenang. “Untungnya… Kaisar datang di waktu yang tepat.”

Sera tersenyum getir. “Jika saja saya ada di sisi Anda… saya akan siap mati untuk melindungi Anda.”

Kalimat itu membuat Vanessa spontan menoleh. Tatapannya tajam dan serius, tak seperti biasanya.

“Jangan pernah katakan itu lagi,” ucapnya tegas. “Kau tidak akan mati untukku, Sera. Itu bukan sesuatu yang kubutuhkan darimu.”

Sera tampak bingung. Tapi Vanessa melanjutkan, nadanya melembut meski masih mengandung tekanan.

“Kau sudah melakukan cukup banyak. Kau hidup—itu sudah lebih dari cukup untukku. Lagipula, kereta yang kau tumpangi dijaga ketat. Itu memang tempat terbaik untukmu.”

Sera menunduk, matanya berkaca. “Tapi… Anda tetap prioritas kami, Yang Mulia.”

Vanessa terdiam sejenak. Senyum tipis muncul di wajahnya, sedikit letih namun tulus.

“Kalau begitu… lindungi aku dengan tetap hidup, Sera. Karena aku masih membutuhkanmu.”

Dan untuk pertama kalinya hari itu, Sera mengangguk tanpa berkata apa-apa, hanya dengan air mata kecil yang menggantung di ujung matanya.

——

Hujan di luar mengguyur deras, menciptakan irama samar yang menenangkan, tapi juga memilukan. Suaranya menghantam jendela seperti bisikan masa lalu yang tak bisa dihindari.

Maxime melangkah masuk ke kamar dengan gerakan pelan. Begitu matanya menangkap sosok Vanessa yang berdiri membelakanginya di balik kaca jendela, langkahnya otomatis melambat. Gaun tidur tipis yang dikenakan sang istri jatuh lembut mengikuti garis tubuhnya, dan rambut panjangnya yang basah separuh disampirkan ke samping, memperlihatkan lengkung punggung yang membuat Maxime—untuk sesaat—lupa untuk bernapas.

Ia menelan ludah perlahan, menghalau pikiran liar yang sempat menyelinap. Bukan saatnya untuk itu.

Ia mendekat. “Kau sedang apa?” tanyanya, suaranya rendah dan pelan.

Vanessa hanya menoleh kecil, sekilas. Tapi tatapannya langsung terhenti saat melihat rambut Maxime yang lembap dan kerah bajunya yang basah. Tetes air masih mengalir dari ujung mantel ke lantai batu.

“Kau habis dari mana?” tanyanya datar.

“Berbicara dengan para ksatria,” jawab Maxime. “Aku harus memperketat keamanan di sekitar penginapan. Para pembunuh bayaran itu belum ditemukan. Aku tidak mau mereka kembali mencarimu.”

Vanessa menatap Maxime lebih serius kali ini. “Siapa sebenarnya yang menginginkan aku mati?” suaranya lebih pelan, nyaris seperti bisikan, namun penuh tekanan. “Apa ini… salah satu dari orang-orang yang membenci Aurenhart?”

Maxime diam sejenak, seolah memilih kata-katanya dengan hati-hati. Namun pada akhirnya ia menjawab, “Kemungkinan besar, ya. Orang-orang itu… mereka tak hanya membenci nama Aurenhart. Mereka ingin menghapusnya. Sampai tak tersisa. Bahkan jika itu berarti membunuhmu.”

Wajah Vanessa mengeras. Jantungnya berdegup kencang. Seketika tubuhnya bergidik, dan ia memeluk dirinya sendiri seperti ingin mengusir hawa dingin yang tiba-tiba menyusup ke dalam kulitnya.

“Mereka benar-benar ingin semua keluarga Aurenhart mati…?” bisiknya.

Maxime menatapnya tajam. “Mereka tidak akan berhenti. Tapi aku akan lebih dulu menghentikan mereka.”

Vanessa menelan ludah, lalu kembali bertanya dengan suara pelan, “Bagaimana dengan keluarga Edevane? Bukankah mereka juga membenci Aurenhart?”

Maxime menggeleng perlahan, lalu mendekat sedikit. “Tidak semua kebencian berujung pada pengkhianatan, Vivienne. Keluarga Edevane memang tidak menyukai masa lalu Aurenhart, tapi mereka memegang prinsip yang kuat. Terlalu kuat. Mereka punya harga diri. Dan mereka tak akan pernah menjatuhkan seorang ratu hanya karena dendam lama.”

Vanessa terdiam. Ia menatap wajah Maxime dalam-dalam. Hanya sebentar, tapi cukup untuk membaca ketulusan dari sorot mata itu—tanpa kepalsuan, tanpa kebohongan. Ia bisa merasakan… bahwa Maxime benar-benar ingin melindunginya. Bukan hanya sebagai kaisar, tapi sebagai seseorang yang kini mulai peduli.

Terlalu peduli.

Dengan cepat, ia mengalihkan pandangannya. Hatinya terlalu goyah untuk terus menatap mata itu.

“Bersihkan dirimu,” katanya, dengan nada yang dingin tapi bergetar pelan. “Kau bisa sakit jika dalam keadaan basah kuyup seperti ini.”

Saat ia hendak melangkah pergi. Tapi baru satu langkah, tangan Maxime telah lebih dulu mencengkeram pergelangan tangannya dengan lembut namun tegas.

Vanessa berbalik. “Apa?” gumamnya pelan.

Maxime tidak langsung menjawab. Ia hanya mengangkat tangan—pelan, sangat hati-hati—lalu menyelipkan helaian rambut Vanessa ke belakang telinganya. Sentuhan itu nyaris seperti belaian. Dan ketika jemarinya menyentuh kulit Vanessa yang hangat, ada sesuatu yang terasa bergerak di antara mereka—sesuatu yang tak bisa mereka beri nama.

Lama mereka saling menatap. Hujan menjadi latar suara yang menyelimuti dunia kecil mereka.

Maxime tersenyum kecil, lalu berbisik nyaris tak terdengar, “Bodohnya aku… baru menyadari bahwa kau memang secantik ini.”

Vanessa tak menjawab. Ia hanya berdiri mematung, bibirnya sedikit terbuka, sementara pipinya mulai merona. Tatapan Maxime yang penuh, suara hangat itu… semuanya terlalu dekat. Terlalu nyata.

Suasana kamar mendukung setiap desahan napas—tirai tipis melambai pelan ditiup angin dari jendela yang sedikit terbuka, membiarkan aroma hujan dan wangi tanah basah menyusup ke dalam ruangan. Lampu minyak di pojok ruangan berpendar redup, membalut mereka dalam cahaya hangat keemasan yang membuat segalanya terasa seperti mimpi.

Maxime mengangkat tangan, menyentuh pipi Vanessa dengan lembut. Tubuhnya mendekat perlahan. Wajah mereka tinggal sejengkal. Napas keduanya berpadu di antara celah yang semakin menyempit.

Tapi sebelum bibir mereka bersentuhan, suara Vanessa memecah keheningan.

“Bagaimana dengan Selene?”

Maxime terdiam, seketika.

Vanessa menghindari tatapannya, lalu melangkah mundur. Jarak yang tadi nyaris lenyap kini kembali tercipta, dipenuhi oleh kebimbangan dan luka yang belum sembuh.

“Kau terlalu cepat berubah, Maxime,” ucapnya pelan namun jelas. “Aku tahu, kau menyukainya. Semua orang tahu. Jadi jangan beri aku harapan… jika hatimu masih tertinggal di tempat lain.”

Matanya mulai berkaca-kaca. Namun nada suaranya tetap tegar—sebuah kekuatan yang tumbuh dari luka.

“Aku butuh waktu lama untuk melepaskan perasaanku padamu. Tapi ketika aku berhasil—kau justru datang dengan semua perhatian ini. Sikapmu, sentuhanmu… tatapanmu… seolah kau mencintaiku.” Vanessa menghela napas gemetar. “Apa kau berniat membuatku jatuh… hanya untuk kau hancurkan lagi?”

Ia sendiri tak sadar bahwa ia bukan lagi hanya Vanessa dari dunia lain, atau Vivienne dari dunia ini. Mereka sudah menyatu—jiwa dan perasaan. Rasa cinta yang tumbuh dalam tubuh ini bukan milik satu orang, melainkan dua hati yang kini berdetak dalam satu tubuh, satu luka, satu harapan.

Maxime menatapnya dengan sorot mata yang tak bisa dibaca. Lalu, dengan nada yang tak lagi main-main, ia menjawab,

“Aku tak menyukai Selene, Vivienne. Mungkin dulu, aku sempat tertarik—sejenak. Tapi sekarang… tidak lagi. Tidak sejak aku mulai melihatmu.”

Vanessa tertawa lirih, tapi tak ada kebahagiaan di sana. Senyum yang muncul di bibirnya justru terasa pahit, menyayat.

“Begitu mudah ya…?” gumamnya. “Setelah membuangku selama bertahun-tahun, kini kau datang seperti tak pernah terjadi apa-apa. Dan setelah begitu memujanya, kini kau ingin membuang dia juga? Kau berubah terlalu cepat, Maxime… terlalu mudah menukar rasa.”

Maxime menatap Vanessa dalam diam. Matanya tidak bergeming, tapi dari caranya menelan ludah perlahan, Vanessa tahu ia sedang menahan sesuatu yang berat di dadanya. Kemudian, Maxime menghela napas—dalam dan berat—sebelum akhirnya bersuara.

“Kau benar,” ucapnya. Lirih. Tapi jujur. “Aku memang membuangmu dulu. Aku memang menyukai Selene… atau setidaknya aku pikir aku menyukainya.”

Vanessa membeku. Tidak menyangka akan mendengar pengakuan seterang itu dari Maxime sendiri.

“Tapi dengar ini,” lanjut Maxime, nadanya sedikit lebih dalam. “Semua desas-desus itu… tak sepenuhnya salah. Tapi juga tak sepenuhnya benar. Aku tidak pernah tidur dengannya. Aku tidak pernah memberinya tempat khusus di hatiku. Ya, aku memang memperlakukannya berbeda. Tapi hanya karena… aku butuh seseorang yang tidak mengingatkanku padamu.”

Vanessa mengerutkan alisnya. “Apa maksudmu?”

Maxime mengangkat wajahnya, menatapnya dengan luka yang selama ini ia sembunyikan rapat.

“Waktu itu… aku membencimu, Vivienne. Bukan hanya karena kelakuanmu, tapi karena ayahmu. Alderic memasukkan ramuan terkutuk itu ke dalam minumanku. Dan kau… kau jadi alat permainan politik mereka.” Rahangnya mengencang. “Aku merasa dijebak. Dipermalukan. Lalu dijadikan suami dari wanita yang bahkan tak aku pilih.”

Ia tertawa kecil. Satu helaan napas getir keluar dari dadanya. “Setiap kali aku melihatmu waktu itu, aku tidak melihat seorang istri. Aku melihat pengkhianatan. Intrik. Dan kerakusan seorang bangsawan bernama Alderic.”

Maxime menarik napas dalam, seolah bersiap mengungkap luka yang lebih dalam lagi.

“Dan… itu juga hari terakhir aku melihat ibuku.”

Vanessa menegang.

Maxime melanjutkan pelan, nadanya seperti luka lama yang baru dikupas kembali. “Ibu meninggal tidak lama setelah pernikahan kita diumumkan. Tapi sebelum itu… malam sebelumnya… aku mendengar mereka bertengkar. Dia dan Ayah.”

Matanya menerawang ke balik jendela, menatap hujan yang jatuh seperti kenangan pahit.

“Ibu memohon pada Ayah untuk membatalkan pernikahan kita. Ia tahu ada yang tidak beres. Tapi Ayah… terlalu buta dengan politik, terlalu terobsesi menutup aib keluarga kerajaan yang dipermalukan Alderic. Mereka berteriak satu sama lain. Aku berdiri di luar pintu… dan aku tahu, aku tahu sekali… kemarahan Ayah malam itu bukan karena musuh. Tapi karena pilihan ibuku.”

Maxime menunduk sejenak, bahunya menegang. “Dan keesokan paginya… ibu ditemukan tak sadarkan diri di ruang pribadinya. Ia… tidak pernah bangun lagi.”

Vanessa terdiam, seluruh tubuhnya seolah tak sanggup bergerak. Ada getar samar di dada, seperti simpati yang tak bisa ditahan meski belum sepenuhnya mengerti segalanya.

“Jadi… saat aku membencimu, Vivienne… aku tidak hanya membenci istri yang dipaksakan padaku. Aku membenci simbol dari apa yang merenggut ibuku dariku.”

Hening panjang mengisi jarak di antara mereka. Maxime menatapnya lagi, kali ini dengan mata yang jauh lebih tenang—namun jauh lebih tulus.

“Tapi sekarang… aku sadar. Kau bukan dia. Kau bukan Alderic. Dan kau juga bukan kesalahan.”

Vanessa berdiri membeku. Kata-kata Maxime bergema dalam kepalanya, merembes ke dalam tiap sudut hatinya. Ia tidak tahu mana yang lebih menyakitkan—kesalahpahaman selama ini, atau fakta bahwa di balik tatapan dingin Maxime dulu… tersembunyi duka yang belum pernah terobati.

Kau bukan Alderic.

Kau juga bukan kesalahan.

Nafasnya tercekat. Jari-jarinya mengepal di sisi gaunnya, seolah berusaha menahan sesuatu yang sudah lama terpendam.

“Aku…” Vanessa mencoba bicara, tapi suaranya terputus.

Maxime menatapnya, dan untuk pertama kalinya, tidak ada kemarahan, tidak ada jarak. Hanya luka yang terbuka… dan dua orang yang sama-sama lelah berpura-pura saling asing.

“Aku tidak tahu…” bisik Vanessa akhirnya. “Aku tidak tahu semua itu terjadi. Aku pikir… kau membenciku karena aku sendiri. Karena aku tidak cukup baik, tidak cukup cantik, tidak cukup pantas menjadi—”

“Vivienne.” Suara Maxime memotong lembut, tegas. Ia melangkah maju.

Vanessa mendongak, dan saat itu, Maxime mengangkat tangannya, menyentuh pipi wanita itu dengan lembut. Sentuhan yang bukan sekadar belaian, tapi pengakuan. Bahwa selama ini… dia pun salah.

“Aku yang tidak cukup berani melihat lebih dalam,” ucap Maxime lirih. “Aku yang terlalu cepat menilai hanya dari luka dan warisan namamu.”

Tatapan mereka terkunci. Hujan masih deras di luar jendela, seolah menjadi latar dari segala gejolak yang selama ini mereka simpan.

Vanessa mengedip perlahan. “Kau bilang aku bukan kesalahan… tapi bagaimana jika aku juga tak yakin apa yang aku rasakan ini bukan ilusi? Kau berubah terlalu cepat. Kau bicara seolah kau jatuh cinta… tapi bagaimana aku tahu itu bukan sekadar rasa bersalah?”

Maxime mendekat. Napas mereka kini nyaris menyatu.

“Kalau ini cuma rasa bersalah,” bisiknya pelan, “kenapa rasanya seperti aku akan gila kalau kehilanganmu?”

Dan tanpa memberi ruang untuk jawaban, Maxime memiringkan wajahnya, lalu mencium bibir Vanessa—pelan, hati-hati, seperti menyentuh sesuatu yang rapuh tapi sangat berarti.

Awalnya Vanessa diam. Tapi saat bibirnya menyatu dengan bibir Maxime, seluruh kebingungan, seluruh luka, seluruh keheningan lima tahun seolah menemukan tempatnya.

Tangan Maxime melingkar di pinggangnya, sementara Vanessa, meski sempat ragu, perlahan membalas ciuman itu. Matanya terpejam, membiarkan rasa itu meresap… menghangatkan bagian dirinya yang selama ini membeku.

Ciuman mereka yang semula pelan perlahan berubah. Ada sesuatu yang tumbuh dari keheningan itu—sesuatu yang lebih dalam dari sekadar kerinduan. Ada luka yang sedang disembuhkan, dinding yang sedang runtuh, dan dua hati yang akhirnya saling membuka.

Maxime menarik wajahnya hanya beberapa senti, cukup untuk menatap mata Vanessa yang kini tampak lebih jujur daripada sebelumnya.

“Aku mencintaimu, Vivienne…” bisiknya, nyaris serupa napas.

Vanessa terdiam. Matanya berkaca-kaca—bukan karena ragu, tapi karena kalimat itu terdengar terlalu dalam untuk tak mengguncang hatinya. Tapi sebelum ia bisa berkata apa-apa, Maxime telah kembali mencium bibirnya, kali ini dengan rasa yang lebih liar.

Lengan Vanessa terangkat, melingkari leher pria itu. Langkah Maxime mundur, pelan, membimbing tubuh mereka menuju ranjang besar yang terletak di tengah kamar, masih terselimuti cahaya temaram dari lampu minyak.

Kain gaun tidur tipis yang membalut tubuh Vanessa nyaris tak memberi batas bagi kulit mereka. Begitu Maxime mendudukinya di tepi ranjang dan menarik tubuh wanita itu ke pangkuannya, kehangatan di antara mereka tak bisa lagi dibantah.

Mereka tenggelam dalam ciuman yang makin dalam, lebih dari sekadar rindu—ini adalah pelarian. Penebusan. Dan penyatuan.

Maxime merebahkan Vanessa perlahan di atas ranjang, seolah wanita itu adalah sesuatu yang harus dijaga dengan hati-hati. Jemarinya menyentuh pipi, rahang, dan bahu Vanessa, seperti sedang menghafal setiap lekuk yang selama ini ia abaikan.

“Jika kau masih ragu,” gumam Maxime di antara ciumannya, “biarkan malam ini membuktikan segalanya…”

Vanessa menggigit bibir bawahnya, matanya tertutup pelan saat Maxime menunduk, mengecup lehernya dengan ciuman yang lembut tapi penuh api.

Suara hujan di luar tetap turun, seolah alam pun menjadi saksi dari malam itu—malam di mana mereka bukan lagi dua orang yang dipaksa bersatu karena intrik, tapi dua jiwa yang akhirnya memilih satu sama lain.

Dan di atas ranjang, di tengah cahaya yang lembut dan napas yang saling menyatu, mereka menghapus batasan di antara mereka—bukan lagi sebagai Kaisar dan Permaisuri, bukan sebagai musuh dalam pernikahan yang dipaksakan, tapi sebagai pria dan wanita… yang akhirnya memilih untuk jatuh cinta.

Desahan napas mereka bercampur. Setiap sentuhan Maxime seperti api yang menjalar di bawah kulit Vanessa, membakar perlahan-lahan semua benteng yang pernah ia bangun.

Gaun tidurnya—tipis, nyaris transparan di bawah cahaya lampu minyak—terlepas dengan mudah dari bahunya. Maxime menatapnya lama, seakan tak percaya wanita yang kini terbaring di hadapannya adalah sosok yang dulu begitu jauh darinya.

Jari-jari Maxime menyusuri lekuk tubuhnya, dengan sentuhan yang tidak terburu-buru, penuh penghargaan, seolah ia sedang membelai sesuatu yang rapuh dan berharga. Vanessa menggeliat pelan saat bibir Maxime mencumbu lehernya, turun ke tulang selangkanya, lalu lebih rendah lagi.

Tubuh mereka menyatu seperti sepasang puzzle yang selama ini salah tempat. Saat Maxime akhirnya masuk ke dalam dirinya, pelan tapi penuh rasa, Vanessa mengerang tertahan, kepalanya menunduk ke lekukan lehernya. Rasanya seperti dihancurkan sekaligus dipulihkan dalam satu gerakan.

Ia tidak pernah merasa seutuh ini. Tidak pernah merasa dimiliki, dilihat… dicintai.

Maxime menggerakkan pinggulnya perlahan, menciptakan irama yang menyayat tapi manis. Ciumannya berpindah-pindah, dari kening, ke pipi, lalu ke bibirnya yang terbuka sedikit karena napas yang terputus-putus. Tangan Vanessa mencengkeram seprai, tubuhnya melengkung menyambut setiap gerakan Maxime yang semakin dalam, semakin mendalam.

“Vivienne…” gumamnya di telinganya, suaranya serak dan penuh emosi. “Biarkan aku menebus semuanya…”

Vanessa hanya bisa menjawab dengan hela napas, dengan tubuhnya yang tak lagi mampu berbohong. Ia membuka dirinya seutuhnya malam itu, untuk pertama kalinya bukan sebagai istri karena perintah, bukan karena kewajiban—tapi karena keinginan.

Karena cinta… yang akhirnya tumbuh dari luka.

Irama mereka semakin cepat, dan saat klimaks menerjang seperti gelombang besar, mereka menggenggam satu sama lain erat-erat, seperti dua jiwa yang baru saja disatukan kembali setelah bertahun-tahun saling mencari.

Malam itu, mereka bukan lagi dua orang yang terjebak dalam pernikahan. Mereka adalah dua tubuh, dua hati, dan dua luka… yang kini tak lagi saling menyakiti.

Dan ketika semuanya usai, Maxime memeluk tubuh Vanessa yang masih gemetar pelan dalam dekapannya. Ia mengecup dahinya, lalu membisikkan kata yang selama ini tak pernah benar-benar terucap:

“Mulai malam ini… aku milikmu.”

1
ririn nurima
suka banget ceritanya
Melmel
thanks thor crazy upnya. pembaca hanya baca dengan menit, sedng yg ngetik siang malam mikir setiap katanya.. kerenn 🫶
Melmel
keren thor 👍
Eka Putri Handayani
pokoknya harus bertahan jd wanita yg kuat jngn percaya muka medusa yg sok polos itu
Eka Putri Handayani
geramnya aku sm pelayan gak tau diri ini, ayo vanessa km bisa jd lebih kuat dan berani
Eka Putri Handayani
jadikan viviane gadis yg kuat yg gak takut apapun klo bisa dia jg bisa bela diri
Murni Dewita
tetap semangat dan double up thor
Murni Dewita
lanjut
Murni Dewita
💪💪💪💪
double up thor
Murni Dewita
lanjut
shaqila.A
kak, lanjut yukk. semangat up nyaaa. aku siap marathon💃💃
Murni Dewita
mexsim terlalu egois
rohmatulrohim
critanya menarik di buat pnasan dg kelanjutannya.. yg semangat up nya thor.. moga sampai tamat ya karyanya dan bisa buat karya yg lain
Murni Dewita
tetep semangat thor
Murni Dewita
ratu di lawan ya k o lah
Murni Dewita
tetap semangat jangan lupa double up thor
Murni Dewita
dasar tak tau diri
Murni Dewita
pelayanan tak tau diri
ya udah cerai aja vanesa
Murni Dewita
double up thor
Murni Dewita
apakah vanesa tidak memiliki ruang dimensi thir
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!