Rangga, seorang pria biasa yang berjuang dengan kemiskinan dan pekerjaan serabutan, menemukan secercah harapan di dunia virtual Zero Point Survival. Di balik kemampuannya sebagai sniper yang tak terduga, ia bercita-cita meraih hadiah fantastis dari turnamen online, sebuah kesempatan untuk mengubah nasibnya. Namun, yang paling tak terduga adalah kedekatannya dengan Teteh Bandung. Aisha, seorang selebgram dan live streamer cantik dari Bandung, yang perlahan mulai melihat lebih dari sekadar skill bermain game.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Yudhi Angga, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bab 17 : Dukungan dan Rasa Tak Percaya Diri
Hari-hari berikutnya terasa seperti simulasi tanpa henti bagi Rangga. Pagi hingga sore ia habiskan untuk mengelola endorsement yang terus berdatangan—membalas email, menyusun konten, dan mempelajari seluk-beluk branding personal. Sore hingga malam, kamarnya yang baru dan dilengkapi setup gaming canggih, berubah menjadi panggung virtual. Ia, sebagai Ren, harus tampil di depan jutaan pasang mata.
Aisha memang tak main-main dengan janjinya. Setiap malam, ia akan mengundang Ren untuk mabar dan live stream bersama. Hubungan mereka, yang awalnya didominasi oleh kecanggungan di dunia nyata, kini menemukan ritme yang berbeda di dalam dunia virtual. Aisha selalu menjadi pemandu utama stream. Ia berbicara tanpa henti, dengan penuh semangat menjelaskan strategi, membaca chat penonton, melontarkan lelucon, dan sesekali memancing Ren untuk berbicara.
"Ren, kamu lihat musuh yang di belakang pohon itu? Kira-kira berapa meter jaraknya?" Aisha bertanya, mencoba melibatkan Ren dalam obrolan stream.
Rangga, yang berada di balik helm Synapse VR-nya, memfokuskan pandangannya. Ia bisa merasakan hembusan angin virtual dan getaran halus kostumnya yang mensimulasikan medan. "Uhm... sekitar dua ratus meter, Teteh Aisha. Agak di kiri sedikit," jawab Ren, suaranya terdengar stabil dan tenang, jauh berbeda dari suaranya di warung sate malam itu.
"Bagus! Nah, kalian dengar kan? Ren ini otaknya map banget! Dia hapal semua angle dan jarak tembak!" Aisha berseru pada penonton, memuji keahlian Ren. "Ayo Ren, tunjukkan sihirmu!"
Ren mengarahkan senapan sniper-nya. Begitu ia mengunci target, kecanggungan di dunia nyata sirna. Jemarinya menekan pelatuk. DORRR!
"PLAYER DOWN! REN HAS ELIMINATED 'DESERT_HAWK'!" Notifikasi merah menyala di langit virtual, diikuti sorakan dari chat yang membakar semangat.
"Mantap, Ren! Memang sniper dewa!" teriak Aisha, tawanya renyah.
Di dalam match, Ren benar-benar menjadi bintang. Ia melancarkan headshot demi headshot, menjatuhkan musuh dari jarak tak masuk akal, dan seringkali melakukan penyelamatan krusial untuk timnya. Penonton bersorak, donation berdatangan, dan jumlah follower terus melonjak. Ren adalah seorang pro player sejati. Ia menikmati sensasi pengakuan ini, adrenalin yang memompa setiap kali ia berhasil mengeliminasi lawan.
Namun, begitu sesi live stream berakhir, dan ia melepaskan kostum Synapse VR-nya, kembali ke kamarnya yang sunyi, Rangga merasakan kesenjangan yang menyakitkan. Di dunia virtual, ia adalah Ren, sosok yang kuat, dikagumi jutaan orang, partner yang sepadan dengan Aisha. Tapi di dunia nyata, ia adalah Rangga, pria yang masih berjuang dengan rasa minder, yang merasa kecil di samping aura selebriti Aisha.
Setiap kali Aisha mencoba mengungkit kemungkinan pertemuan di dunia nyata, atau bahkan sekadar panggilan video, Rangga akan langsung mencari alasan.
"Ren, besok ada meeting sama pihak Twitch nih. Mereka mau bahas kontrak eksklusif streaming-mu. Mau aku temenin online call aja, atau mau kita ketemuan di kantor mereka biar lebih nyaman?" Aisha bertanya suatu siang, suaranya melalui chat game.
Rangga merasakan jantungnya mencelos. Pertanyaan itu selalu menjadi jebakan. "Uhm... online call aja, Teteh Aisha. Aku... masih sibuk dengan endorsement ini, harus siapkan konten," jawab Rangga, berbohong lagi. Ia membenci dirinya karena berbohong, tapi rasa takutnya terlalu besar. Ketakutannya bahwa Aisha akan melihat Rangga yang berbeda dari Ren, bahwa ia akan mengecewakan Aisha.
Aisha menghela napas. "Kamu ini ya, Ren. Sekarang sudah jadi bintang, tapi masih suka menghindar. Apa ada sesuatu yang kamu sembunyikan?" Ada nada keprihatinan dalam suaranya, seolah ia bisa merasakan sesuatu yang tidak beres.
"Tidak... tidak ada apa-apa, Teteh Aisha. Aku... aku hanya tidak terbiasa dengan hal-hal di dunia nyata. Lebih nyaman di game," Rangga mencoba beralasan, berharap Aisha akan mengerti.
Aisha tidak menanggapi lebih jauh, namun Rangga tahu ia telah menanamkan benih kecurigaan. Ia menghabiskan malam itu dengan gelisah, menatap layar ponselnya, membaca ulang pesan-pesan Aisha. Ia melihat foto-foto Aisha di Instagram, tertawa bersama teman-temannya, menghadiri acara-acara influencer. Aisha memancarkan aura glamour yang begitu jauh dari kehidupannya. Bagaimana mungkin aku bisa menyamai dia? Bagaimana mungkin dia bisa tertarik pada pria sepertiku? bisik suara keraguan dalam dirinya.
Ia sering menghabiskan waktu berjam-jam menganalisis interaksi mereka di stream. Aisha yang begitu dominan, yang selalu memimpin percakapan, yang selalu menyoroti dirinya. Aisha adalah bintangnya, dan Rangga adalah "properti" berharganya. Ia merasa nyaman dengan peran itu di dalam game, namun di dunia nyata, ia merasa kehilangan kendali atas citra dirinya. Ia adalah objek kekaguman, bukan subjek yang aktif dalam interaksi sosial.
Jumlah follower Ren di Instagram kini sudah menembus angka 5 juta. Setiap postingannya, setiap story yang ia unggah (meskipun seringkali hanya berisi screenshot gameplay), selalu mendapat jutaan likes dan ribuan komentar. Ia sudah menjadi influencer besar. Tawaran endorsement yang masuk jauh lebih banyak, tak hanya dari gaming gear, tetapi juga dari produk makanan, minuman, hingga fashion.
Rangga kini hidup dalam kelimpahan finansial yang belum pernah ia bayangkan. Ia bisa membeli apa pun yang ia inginkan. Ia bahkan bisa membantu keluarganya di kampung, mengirimkan uang yang cukup untuk memperbaiki rumah mereka dan membeli kebutuhan sehari-hari. Rasa bahagia itu nyata, namun tetap dibayangi oleh tekanan untuk mempertahankan citra "Ren" yang sempurna.
Setiap kali ia keluar kamar, bahkan untuk membeli makan atau sekadar mencari udara segar, ia merasa diawasi. Beberapa orang mengenalinya dan mencoba menyapa. Ada yang meminta foto, ada yang hanya menatap dengan takjub. Ia selalu merespons dengan senyum canggung dan tergesa-gesa. Pergi ke kafe langganannya pun kini terasa tidak nyaman. Dodi dan teman-teman kerjanya dulu kini menatapnya dengan pandangan yang berbeda—kagum, tapi juga ada jarak yang tak terlihat. Mereka tidak lagi melihat Rangga si pelayan kafe yang dulu, melainkan "Ren" yang kini sudah menjadi orang lain.
Ia merasa terisolasi, terjebak di antara dua dunia. Ia adalah "Ren" yang dikagumi, namun ia juga "Rangga" yang ketakutan dan merasa tidak pantas. Ia merindukan kesederhanaan hidupnya dulu, di mana ia bisa menjadi dirinya sendiri tanpa beban ekspektasi, tanpa harus berpura-pura. Ia mendambakan seseorang yang bisa melihatnya sebagai Rangga, bukan sekadar Ren.
Malam harinya, saat ia mempersiapkan diri untuk live stream lagi, sebuah pesan dari Aisha masuk: "Ren, aku dengar ada event besar di Jakarta bulan depan, gathering influencer dan pro player. Kamu harus datang. Ini penting banget buat exposure kamu. Aku akan bantu kamu mempersiapkan semuanya, mulai dari transportasi sampai outfit. Kamu tidak perlu khawatir."
Rangga membaca pesan itu berkali-kali. Event besar di Jakarta? Pertemuan dengan influencer lain? Berada di tengah keramaian seperti itu, dengan potensi bertemu langsung dengan ratusan orang, tanpa webcam yang bisa ia matikan? Rasa panik yang dalam mencengkeramnya. Ini adalah kesempatan besar, sebuah lompatan karir yang fantastis. Namun, ini juga adalah tantangan terbesar bagi "Rangga" untuk keluar dari bayang-bayangnya, untuk menghadapi dunia nyata yang gemerlap tanpa perisai virtual. Ia tahu, di event ini, tidak akan ada helm Synapse VR yang bisa menyembunyikan wajahnya, tidak akan ada gameplay yang bisa mengalihkan perhatian dari kecanggungannya.
Ia menatap webcam di depannya. Di layar kecil itu, ia melihat bayangan dirinya. Rambutnya sudah lebih rapi, pakaiannya lebih modis, namun di matanya, ia masih melihat keraguan dan ketakutan yang mendalam. Pertarungan terbesarnya bukan lagi di medan perang virtual, melainkan di dalam dirinya sendiri, antara dua identitas yang saling menarik, yang satu menuju gemerlap popularitas, yang lain menuju keamanan anonimitas. Ia tahu, cepat atau lambat, ia harus memilih, atau kedua dunianya akan runtuh. Ia harus memutuskan apakah ia siap menerima Ren sepenuhnya, baik di dunia virtual maupun nyata, dengan segala konsekuensi dan ketidaknyamanan yang mungkin datang. Atau ia akan selamanya terjebak dalam bayangan identitasnya sendiri.