Clara terpaksa menerima perjanjian nikah kontrak dengan Gery Rochstein, bosnya sendiri, demi membantu menyelamatkan perusahaan sang CEOyang terancam bangkrut. Semua itu berada dalam ancaman Gery yang mengetahui rahasia Clara yang divonis sulit memiliki anak.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon takiyaratayee, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Chapter 16 - Menepati Janji
Hal utama yang ingin Clara temui saat menginjakkan kaki di gedung Spark adalah Pak Arnold. Pasalnya, setelah menjadi "pendamping" Gery kala menemui mantan tunangannya, Gery berjanji akan mengembalikan Pak Arnold menjadi karyawan di Spark lagi.
Dan benar, atasannya itu sudah berada di kantor tak lama setelah Clara datang. Hati Clara membuncah, senang bukan main.
"Pak Arnold! Syukurlah, Anda tidak jadi diskors. Saya sangat senang Anda bisa bekerja seperti biasa," kata Clara menyapa atasannya.
"Ah, hai Clara. Terima kasih ya. Sorenya, Walt asisten Tuan Gery menelponku dan mencabut skors-ku. Dia meminta maaf juga padaku karena keputusannya."
"Untunglah. Janji Tuan Rochstein padaku benar-benar ditepati," kata Clara berhati-hati.
"Clara, aku minta maaf atas kejadian kemarin. Aku terlalu emosi menanggapinya karena aku cukup syok dengan perintah Tuan Gery." kata Pak Arnold menunduk penuh rasa bersalah. Clara tersenyum kecil.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya memakluminya. Saya harap hubungan kita tetap baik-baik saja ya, Pak." kata Clara sambil tersenyum lebar.
"Tentu saja!" kata Pak Arnold ramah. Sesungguhnya, atasan Clara satu itu memang ramah dan tegas kepada bawahannya. Hanya saja kejadian kemarin cukup membuat syok semua orang.
Pasca menyapa atasannya, Clara bertemu dengan Barra dan Vey yang juga baru datang. Vey mendadak memeluk Clara penuh kekhawatiran.
"Clara! Kamu ke mana saja setelah kamu mencari keberadaan Tuan Rochstein? Kamu tiba-tiba menghilang! Kukira kamu diculik!" kata Vey khawatir.
"Aku baik-baik aja, Vey. Aku... Aku tidak menghilang, kok! Kemarin siang, setelah bertemu Tuan Rochstein, aku langsung pulang karena tidak enak badan. Sepertinya aku sudah izin dengan supervisor kita," kata Clara berbohong. Dia mengingat-ingat himbauan Gery yang melarangnya mengatakan tentang kejadian kemarin.
"Hmm... Jadi begitu. Aku juga tidak menanyakan itu ke supervisor kita. Tapi, memang wajahmu terlihat pucat. Apa kamu masih sakit?"
"Aku sehat-sehat saja, Vey. Tapi memang agak sedikit kurang fit aja," kata Clara menjelaskan.
"Clara. Camkan kata-kataku baik-baik. Berjanjilah, kalau ada apa-apa, tolong telepon aku. Kamu tahu, 'kan? Jarak apartemenku dengan apartemenmu tidak begitu jauh?" kata Barra ikut khawatir. Clara tersenyum kecil.
"Iya. Aku janji," kata Clara sambil mengangguk.
"Berita pagi ini cukup menggemparkan. Aku sampai buru-buru berangkat ke kantor untuk membahas ini. Ternyata, hubungan Adelia dengan Tuan Rochstein yang kandas memengaruhi perusahaan ini. Aku berharap ga ada pemecatan karyawan karena dampak ini," kata Vey membahas terkai berita hangat di kantornya.
"Iya, aku juga cukup kaget dengan berita itu. Tapi, kalian tuh tahu darimana sih berita seperti ini?" tanya Clara penasaran.
"Dari Walt langsung. Dia meminta para atasan untuk mengurus pemutusan kontrak kerja sama dengan PT Nymte." kata Vey berbisik di telinga Clara.
"Oo... Baiklah!" kata Clara mengangguk mengerti. Lalu Vey tiba-tiba menyikut lengan Clara pelan.
"Sebenarnya, aku penasaran bagaimana bisa kamu merayu Tuan Rochstein," tanya Vey penasaran. Clara tertawa karier alias meringis sambil garuk-garuk kepala.
"Ha-ha. Itu cukup sulit, tapi..." saat Clara hendak melanjutkan kalimatnya, dia memilih bungkam. Clara berjanji tidak akan mengatakan rahasia kecilnya dengan Gery kepada siapa pun.
"... Tapi aku sudah minta maaf padanya. Sepertinya aku salah orang," kata Clara akhirnya.
"Ya! Bicara dengan Tuan Rochstein emang harus gitu. Walaupun dia yang salah, kita harus mengatakannya dengan pelan-pelan. Syukurlah kalau dia bukan orang yang melecehkanmu itu," kata Vey kemudian. Clara mengangguk pelan, masih dengan pikiran yang penuh.
Sementara Barra mengetahui keganjalan itu. Clara tampak gelisah, dan takut setiap kali membicarakan sang CEO dingin itu.
"Clara, apa kamu yakin baik-baik saja? Apa nggak ada ancaman apapun dari Tuan Rochstein?"
"Ng-nggak ada kok, Barra. Tenang aja, aku aman dan urusanku dengan bos dingin itu sudah selesai," kata Clara berbohong.
"Clara, kami semua orang lama di Spark sangat tahu karakter Tuan Rochstein. Dia sangat dingin, sangat menjaga privasinya, dan punya kekuasaan tinggi. Jadi, kalau ada ancaman atau apa pun itu. Katakan padaku," kata Barra serius. Clara menelan ludah, dan mengangguk.
"Aku benar-benar baik-baik saja. Urusanku sudah beres dengan Tuan Rochstein," kata Clara meyakinkan Barra.
"Baiklah. Aku lega kalau kamu benar-benar tidak apa-apa," kata Barra kemudian, sambil mengajak Clara duduk di meja mereka. Sementara Clara memilih untuk tetap bungkam terhadap kejadian yang sebenarnya.
*
Mobil mewah Maserati berwarna biru gelap meluncur dengan mulus di sebuah gedung universitas Gold Future. Pria yang mengemudi turun dengan perasaan penuh percaya diri. Semua mata tertuju padanya.
Bagaimana tidak, selain membawa mobil mewah, gaya Drew itu menarik perhatian. Berparas tampan, tubuh tinggi di atas 185 cm, serta pakaian yang bermerk, menebarkan pesona kepada kaum hawa yang ada di sana.
"Sayang, akhirnya kamu sampai juga!" seru seorang wanita bertubuh ramping dengan rambut panjang terurai indah sambil menggandeng tangan pria itu.
"Hai, Jenna. Sorry aku nggak ada kabar semalaman. Aku ada sedikit urusan, biasa. Bisnisku," kata Drew kepada gebetannya yang baru. Setelah putus dengan kekasihnya, Grace, tidak butuh waktu lama bagi Drew untuk mendapatkan kekasih lain.
"Oh, bisnis yang mana Drew?"
"Yang PH, aku sedang mencari talent-talent untuk TV seri," katanya bangga. Sang wanita yang tampak menganggap pria bernama Drew itu adalah pacarnya, tersenyum lebar. Ia tampak senang dengan pernyataan Drew yang sibuk di usia muda.
Padahal, bukan itu kenyataannya. Tiga jam yang lalu, Drew berada di sebuah apartemen wanitanya yang satu lagi. Ia semalaman menginap, dan mengatakan kepada kekasihnya ini jika sedang bekerja.
Bahkan, sisa rasa bermalam bersama wanita itu masih ada di otak Drew. Bukan Drew namanya jika ia tidak bisa menyembunyikan perasaan tersebut.
"Sayang, kamu pakai parfum baru ya? Kok baunya manis banget, nggak seperti biasanya," kata Jenna. Drew terkekeh, ia bisa mengatasi ini dengan kebohongan lain.
"Ini parfum Gery. Aku mencobanya tadi, karena menurutku ini wangi. Kamu suka nggak, kira-kira?"
"Lumayan suka. Karena ini seperti parfum untuk wanita," kata Jenna sambil berjalan menyeimbangi langkah panjang Drew. Pria tampan itu menyunggingkan senyum, ia tahu sebenarnya semua wanita punya insting kuat jika pasangan mereka berbuat macam-macam. Namun Drew punya cara jitunya.
Drew merangkul pundak Jenna, dan mencium ubun-ubun kepala wanita cantik itu. "Kalau kamu suka, akan aku belikan untukmu sebagai hadiah."
Mendengar suara lembut Drew, Jenna seolah terenyuh. Apalagi tatapan Drew yang seakan memperlihatkan bahwa Jenna adalah wanita paling beruntung di dunia ini.
"Tentu saja aku mau!"
"Tunggu kejutan hadiahku yang lainnya, sayang. Besok kita akan makan malam di restoran mewah. Dan aku akan menjemputmu dengan mobilku yang lain," kata Drew sambil mengedipkan mata kirinya. Giginya yang rapi dan cerah itu sangat menyegarkan mata.
"Yeay, asyik!"
Setelah berjalan menelusuri gedung kampus itu, ponsel Drew tiba-tiba berbunyi. Drew segera mengangkat telepon tersebut.
"Drew, pulanglah malam ini! Aku ingin bicara denganmu!"
"Ada apa, Dad?"
"Sebaiknya kamu menuruti perintahku. Jangan datang ke klub malam langgananmu itu. Kehidupan pribadi kakakmu sedang disorot, begitu juga dengan kehidupan kita."
Drew mengerutkan dahi, apa hubungannya dia dengan Gery? Apakah Gery melakukan kesalahan fatal?
"Dad, jangan basa-basi. Apa kaitannya denganku?"
"Sebaiknya kamu buka pesan dariku. Supaya aku tidak perlu menelponmu!" telepon dari ayahnya itu tiba-tiba terputus. Seketika Drew membuka pesan dari sang ayah, tertera sebuah link sebuah portal berita mengenai isu kebangkrutan Spark.
Drew membasahi bibirnya. Selalu seperti ini. Setiap kali kakaknya kesulitan, Phillip selalu mengaitkannya. Phillip selalu menyuruh Drew untuk diam dan tidak banyak tingkah. Padahal, itu urusan Gery, bukan urusannya. Mengapa dia selalu ikut merasakan beban dari Gery?
*
awas kau Gery... aku doain nanti kamu bucin ke Clara lhoo 😂😂